Runaway Candidate

Sabtu, 08 Agustus 2015 - 10:18 WIB
Runaway Candidate
Runaway Candidate
A A A
Selasa (4/8), masyarakat Indonesia mendapat suguhan drama politik yang sangat mengejutkan sekaligus menggelikan.

Calonyang diusung PAN-Demokrat gagal melakukan pendaftaran calon wali kota-calon wakil wali Kota Surabaya pada detik-detik akhir. Penyebabnya, Haris Purwoko, pasangan yang digandeng Dhimam Abror, menghilang tanpa diketahui keberadaannya. Saat akan mendaftar ke KPU Surabaya, Haris pamit ke toilet dan setelah itu tidak kembali lagi.

Dengan demikian, pasangan ini gagal ikut Pilkada Surabaya untuk menantang pasangan Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana karena sampai batas akhir pendaftaran belum tanda tangan kesediaan mengikuti pilkada. Inilah untuk kali pertama dalam sejarah demokrasi di Indonesia ada calon yang melarikan diri saat mendaftar.

Kisah ini mengingatkan kita pada sebuah film komedi romantis garapan Garry Marshall yang dirilis 30 Juli 1999. Tontonan yang dibintangi Ricard Gere-Julia Roberts tersebut bahkan menjadi film terlaris di zamannya, bahkan melegenda. Sang pengantin selalu lari ketika sedang menuju altar. Mungkin, sekali lagi mungkin, Haris terinspirasi dengan kisah Runaway Bride itu.

Entah karena gugup, takut, khawatir, atau emoh dicap sebagai calon boneka. Atau, karena patuhnya pada orang tua (ibu) sehingga dia memilih menata diri untuk maju pada 2017 (masa habisnya penundaan Pilkada Surabaya karena akhirnya hanya ada satu calon, sang petahana atau incumbent Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana). ***

Fenomena ini menunjukkan betapa lemahnya kaderisasi partai politik. Juga menunjukkan bagaimana parpol tidak mendesain pemimpin-pemimpin baru sejak dini. Cenderung pragmatis mengikuti arus siapa yang menang. Ada kecenderungan parpol lebih baik menerima calon dari luar dibanding kader sendiri karena alasan ketokohan dan ketersediaan dana.

Masyarakat sudah telanjur maklum bahwa kegiatan pilkada adalah kegiatan yang mahal. Hanya mereka yang punya banyak uang yang bisa mengikutinya. Namun, dalam konteks ini saya tidak mencap bahwa PAN-Demokrat sebagai partai pengusung tak siap dengan kadernya karena kasus ini juga dialami partai lain di tempat berbeda.

Pada hari yang sama, Senin (3/8), ada beberapa daerah yang juga menyajikan pemandangan sama. Pacitan misalnya calon penantang petahana terpaksa ditolak KPU karena berkas tak memenuhi syarat. Sang calon itu adalah pasangan Suyatno-Effendi Budi Wirawan yang diusung Koalisi Pacitan Bersatu (PDI Perjuangan, PAN, Hanura, Gerindra, dan Partai Golkar).

Begitu juga dengan Kabupaten Tasikmalaya. Bahkan ini lebih menggelikan karena Partai Demokrat datang ke KPU hanya membawa sang calon wakil bupati. Sementara calon bupati tidak ikut dalam rombongan. Tentu saja langkah itu dipersoalkan KPU karena aturannya harus datang satu paket (calon bupati dan wakilnya).

Finalnya, ada tujuh daerah yang kemungkinan besar proses pilkadanya ditunda hingga dua tahun mendatang. Angka itu bahkan berpotensi bertambah setelah ada verifikasi administratif karena hanya ada pasangan tunggal atau ada calon yang berkasnya tak lengkap. Kondisi ini menunjukkan ketidaksiapan partai dalam pelaksanaan pilkada serentak yang sebenarnya aturannya dibuat oleh para kader partai di parlemen.

Sebenarnya kondisi itu tidak perlu terjadi saat pemerintah tengah mengawali sebuah langkah besar; pilkada serentak. Karena persoalan seperti ini bisa diantisipasi jauh-jauh hari. Dengan apa? Tentu saja lewat komunikasi politik yang bagus. Seharusnya partai mengomunikasikan masalah ini ke semua kadernya di daerah agar mereka bersiap diri.

Terutama partai-partai yang jago-jagonya berada di posisi incumbent. Bisa saja larinya para calon penantang itu tidak hanya karena keder melihat kekuatan incumbent, tapi ada unsur balas dendam atas buruknya hubungan ketika sang incumbent menjabat. Tapi, apa pun itu, tetap tidak bisa dibenarkan.

Karena sebenarnya pilkada adalah pertarungan antarpartai sekaligus pembelajaran politik kepada masyarakat. Jangan karena merasa digdaya, dengan calon kuat (biasanya petahana), lalu emoh merangkul partai-partai lain karena “over-PD” tidak akan ada perlawanan akibat tiada kompetitor.

Sayangnya, selamainiparpolparpol raksasa yang memenuhi syarat, berdasar jumlah kursi atau suara, mereka tidak mau melebarkan jumlah pengusung yang tentunya berbuntut pada tawar-menawar politik. Bahkan bisa jadi mahar politik pula. ***

Masalah yang tak kalah besar adalah terjadi kevakuman pemerintahan daerah sampai 2017, terutama pada tujuh daerah yang tidak memiliki kepala daerah definitif. Rakyatlah yang akan dirugikan karena penjabat tugas kepala daerah tidak bisa menjalankan fungsi pemerintahan daerah secara maksimal.

Melihat kondisi tersebut, beberapa pihak meminta Presiden Jokowi untuk menerbitkan perppu dengan pasal khusus yang mengatur masalah di daerah yang hanya punya satu calon. Mengacu pada pengalaman di berbagai negara, kalau hanya ada satu calon, setelah hak politiknya dijalankan secara fair, sertamerta dinyatakan sebagai pemenang.

Di AS ada istilah walkover, sedangkan di Kanada ada istilah acclamation. Di Filipina, meskipun ada calon tunggal, tapi harus ada formalitas satu suara untuk pasangan tunggal sebagai simbol sebagai kontestan pemilu. Belajar dari peristiwa tersebut, sangat penting bagi partai politik melakukan kaderisasi sejak awal.

Ketika masa pertarungan tiba, kader-kader yang dijagokan sudah matang, tidak lemah dan menyerah sebelum berperang. Apalagi kabur. Finally, semua kembali pada partai politik. Bagaimana mereka menyiapkan semua kadernya agar pada masa datang masyarakat tidak lagi disuguhi politik dagelan.

YA’QUD ANANDA GUDBAN
Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia Malang, Wasekjen Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi)
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8178 seconds (0.1#10.140)
pixels