Muhammadiyah dan Pesantren

Sabtu, 08 Agustus 2015 - 10:17 WIB
Muhammadiyah dan Pesantren
Muhammadiyah dan Pesantren
A A A
Perhelatan akbar lima tahunan Muktamar Ke- 47 Makasar sudah selesai kemarin. Pada muktamar kali ini Muhammadiyah membawa ide “Islam Berkemajuan” dan tegaskan dirinya sebagai “Gerakan Pencerahan”.

Artinya, jati diri Muhammadiyah lekat sekali antara “Islam” dan “kemajuan”. Tema ini begitu berat, sangat relevan dengan kondisi bangsa, bahkan dunia saat ini. Untuk mematangkan gagasan tersebut, Prof Din Syamsuddin mengadakan “Silatul Fikri” di Puncak Bogor, 24-26Juli2015. Kegiatandiikuti 60 intelektual Muhammadiyah dari berbagai bidang keilmuan.

Dalam pembahasan “Islam Berkemajuan”, yang menjadi tolok ukur utama adalah penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Tetapi, berbasis pada pemahaman Islam. Pertanyaannya, mampukah pendidikan Muhammadiyah menjawab tantangan tersebut? Tampaknya, gerakan dari warga dan aktivis Muhammadiyah pada Muktamar Makasar ingin menyukseskan Majelis Pesantren.

Padahal, kita tahu semua selama ini Muhammadiyah bergelut di dunia pendidikan, terutama sekolah dan universitas. Hal ini disinyalir gejala krisis ulama ditubuh Muhammadiyah. Makanya, Muhammadiyah mulai melirik pesantren dan perlu penguatan kaderisasi ulama.

Ijtihad Pesantren Muhammadiyah

Sudah menjadi ciri khas Muhammadiyah yang fokus di dunia pendidikan, terutama sekolah. Selama ini pesantren Muhammadiyah yang terkenal adalah Madrasah Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta. Pesantren ini merupakan pesantren awal yang dimiliki Muhammadiyah.

Dalam kaderisasi ulama, Muhammadiyah memiliki Pondok Hj Nuriyah Shabran di Surakarta, Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah di Yogyakarta dan Malang. Seabad berselang, Muhammadiyah berijtihad kembali di dunia pesantren. Jelang seabad, Muhammadiyah berijtihad mendirikan Muhammadiyah Boarding School (MBS) di Prambanan, Sleman.

Memasuki abad kedua, Muhammadiyah kini melahirkan Trensains sebagai revolusi pesantren berkemajuan. Trensains adalah kependekan dari “Pesantren Sains” yang merupakan sintetis dari pesantren dan sekolah umum. Trensains merupakan lembaga pendidikan setingkat SMA. Proyek baru di Indonesia, bahkan mungkin di dunia Islam. Pesantren yang fokus mengkaji dan meneliti ayat-ayat semesta Alquran.

Kata Trensains bermakna mengetren kan pesantren ke masyarakat, juga berarti sains menjadi tren masyarakat hari ini. Kreator lahirnya Trensains adalah Agus Purwanto D Sc (Saintis Fisika Teori alumnus Universitas Hirosima Jepang). Program Trensains pertama telah berdiri di Sragen, Jawa Tengah dengan nama SMA Trensains DIMSA (Darul Ihsan Muhammadiyah Sragen) yang di-launching pada 1 Muharam 1435 H/ 5 November 2013 oleh PP Muhammadiyah.

Kini Trensains menjadi megaproyek Muhammadiyah abad kedua. Uniknya, program ini juga dibuka di Pesantren Tebuireng Jombang yang notabene milik NU atas pemintaan Sholahuddin Wahid (Gus Sholah). Ini menandakan bahwa Muhammadiyah sangat terbuka melakukan kerja sama dengan pihak mana pun, dan pengembangan pendidikan bersifat rahmatan lil `alamin.

Trensains hadir di tengah keadaan umat dan para ulama yang terlalu banyak menyita waktu untuk membahas persoalan fikih. Umat lalai atas fenomena alam. Abai terhadap ayat kauniah yang jumlahnya lima kali lipat dari ayat kauliah. Sains seolah-olah tidak terkait dan tidak mengantar orang Islam ke surga.

Tanpa sains dan teknologi umat Islam akan jatuh dan tersungkur ke buritan peradaban. Trensains berbeda dengan “pondok pesantren modern”. Trensains tidak menggabungkan materi pesantren dan ilmu umum sebagaimana “ponpes modern”. Materi khas Trensains dan tidak ada dalam ponpes modern.

Trensains memiliki visi, “Lahirnya generasi yang memegang teguh Alquran dan Sunah, mencintai dan mengembangkan sains, dan mempunyai kedalaman filosofis serta keluhuran akhlak.” Di sini pula spirit Islam berkemajuan abad kedua dan pentingnya pesantren ala Muhammadiyah.

Urgensi Majelis Pesantren

Setelah sukses dengan pembukaan di Lapangan Karebosi, yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Muktamar dilanjutkan dengan laporan pertanggungjawaban kepemimpinan selama satu periode (2010- 2015) dan dilanjutkan sidang komisi.

Dalam sidang komisi inilah mulai dibahas pemikiranpemikiran besar dan programprogram Muhammadiyah ke depan. Setiap ide dan gagasan, tanpa lembaga, tak akan bisa direalisasikan dengan baik. Perlahan akan menguap, dan hilang ditelan zaman. Begitupula pelbagai model pesantren Muhammadiyah.

Perkembangan model-model pesantren Muhammadiyah harus diatur dalam lembaga khusus. Karena mengurus sekolah, perguruan tinggi itu, berbeda dengan mengurus pesantren. Pondok pesantren Muhammadiyah menjamur di seluruh Nusantara mendorong solidaritas terbentuknya Perhimpunan Pondok Pesantren Muhammadiyah (Ittihadul MaIttihadul Maahid al-Muhammadiyah ) disingkat dengan ITMAM.

Muhammadiyah harus turut ikut memikirkan nasib pesantren Nusantara serta bagaimana cara pesantren yang melahirkan ulama berkemajuan. Merujuk pada Karel A Steembrink bahwa sistem pesantren tradisional selama ini terdiri lima elemen pokok yaitu kiai, santri, masjid, pondok, dan kitab-kitab klasik.

Akan tetapi, kelemahan pesantren hari ini terletak pada segi metodologi tradisional, terlalu menekankan fikih, dan minim ilmu umum. Dari segi manajemen pesantren banyak kelemahan. Zamahkhsyari Dhofier menyebut pesantren seperti kerajaan kecil. Kiai merupakan sumber mutlak, kekuasaan dan kewenangan kehidupan pesantren, termasuk ke mana arah, visi, dan tujuan.

Padahal, kiai memiliki keterbatasan dan kekurangan. Metode yang digunakan pesantren yang digunakan kiai telah abai pada aspek kognitif. Selain itu, aspek kurikulum pesantren juga mengalami penyempitan, pelajaran agama masih dominan di lingkungan pesantren. Tasawuf sebagai inti keagamaan terabaikan. Padahal, di era masyarakat modern, religiusitas sangat dibutuhkan.

Di sinilah Muhammadiyah harus ambil bagian. Atas dasar itu, dalam Silaturahim Nasional (Silatnas ITMAM), 8-10 Mei 2015 di PondokPesantrenImamSuhodo, ternyata Muhammadiyah memiliki 180 pondok pesantren. Silatnas ITMAM merekomendasikan agar Muktamar Ke-47 di Makassar dapat memutuskan berdirinya Majelis Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Dikdintren).

Tampaknya persiapan pendirian Majelis Pesantren semakin matang pada muktamar kali ini. Sebagai ormas dakwah, pendidikan Muhammadiyah harus kembangkan pondok pesantren. Jika tidak, Muhammadiyah akan kehilangan elan vital-nya sebagai gerakan Islam, dakwah, dan tajdid.

Dengan kata lain, lembaga pendidikan pondok pesantren bisa diandalkan untuk memecahkan masalah krisis ulama dan ilmuwan Muhammadiyah. Maka, pendirian Majelis Pesantren adalah sebuah keniscayaan sejarah.

AZAKI KHOIRUDIN
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat IPM, Alumni Pendidikan Kader Ulama Pondok PESANTREN Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran UMS
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8931 seconds (0.1#10.140)