Mengembalikan Wibawa Peradilan Indonesia

Kamis, 06 Agustus 2015 - 08:15 WIB
Mengembalikan Wibawa Peradilan Indonesia
Mengembalikan Wibawa Peradilan Indonesia
A A A
Para pendiri bangsa (founding fathers) pastilah akan kecewa melihat situasi peradilan di Indonesia saat ini. Di mana ihwal yang tidak seharusnya dilakukan serta ihwal yang seharusnya dihindari malah dibenarkan dan semakin dilegitimasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Sampai 2015 sudah ada belasan advokat yang ditangkap serta divonis oleh pengadilan akibat suap. Hal ini juga mempermalukan citra profesi advokat sebagai profesi yang seharusnya terhormat (officium nobile). Lembaga peradilan Indonesia saat ini diibaratkan seperti benang ruwet.

Korupsi yudisial terjadi dari pusat pemerintahan Jakarta hingga pelosok daerah. Dari pejabat tinggi negara hingga petugas administrasi di kelurahan. Dari pengusaha kelas kakap hingga pengendara bermotor yang kena tilang di jalan. Yang menyedihkan adalah bentuk-bentuk korupsi tersebut seolah dibenarkan karena telah terbiasa. Sistem yang bobrok menjadi terbentuk karena kesalahkaprahan tersebut.

Bagaimanapun permasalahan yang ada harus dengan sabar diurai meski membutuhkan waktu yang lama. Siapa yang salah bukanlah yang terpenting, melainkan bagaimana solusinya agar ke depan ini bisa diberantas melalui program revolusi mental pemerintah saat ini.

Kemajuan Pemberantasan Korupsi

Melihat pada apa yang terjadi dalam perkara suap di PTUN Medan, di mana pihak yang beperkara diduga melakukan korupsiyudisialjugaditangkapoleh KPK, merupakan sebuah kemajuan besar dalam proses pemberantasan korupsi saat ini.

Biasanya hanya hakim, jaksa, advokat yang ditangkap, namun tidak untuk pencipta skenario (doen pleger) yang berada di belakang layar. Pemberantasan korupsi hingga ke akarnya inilah yang diperlukan bagi penegakan hukum dan reformasi hukum di Indonesia.

Sungguh ironis, sebagai negara yang begitu religius, Indonesia malahan menjadi salah satu negara paling korup di antara 174 negara lain menurut survei Lembaga Transparency International (TI) 2014. Indonesia mendapatkan skor 34 di mana skor 100 dianggap negara paling bersih dan skor paling rendah berarti negara paling korup.

Jauh tertinggal dari skor negara Denmark (92) dan Singapura (84). Sangat disayangkan wibawa peradilan Indonesia masih rendah, padahalpengadilanmerupakan masa depan Indonesia, di mana putusan-putusan pengadilanharusdibuatseadil- adilnya dengan kebijaksanaan (wisdom) hakim sebagai ruhnya.

Sebagai hakim, polisi, jaksa, advokat, janganlah menerima suap meski lembaran-lembaran berwarna hijau itu terlihat begitu menggiurkan. Tidak dipungkiri bahwa kesejahteraan keluarga mungkin merupakan salah satu pertimbangandilakukannya korupsiyudisial tersebut.

Namun, perlu diingat kembali bahwa bangsa ini tidak akan menjadi bangsa yang besar jika keserakahan telah merasuki para wakil Tuhan ini, bukan moral dan integritas. Bukan keadilan dan kebenaran yang diberikan hakim kepada pencari keadilan (justitiabelen), namun sebaliknya, ketidakpastian hukum.

Moral dan integritas haruslah dipupuk sedini mungkin, sekaligus rasa malu dan gengsi untuk melakukan tindakan korupsi yudisial. Pendidikan di Indonesia tidaklah kalah saing dengan negara-negara lainnya.

Yang terpenting sumber daya manusia kita haruslah unggul sehingga pola pikir dan mental yang dibentuk tidaklah tertinggal dengan sumber daya manusia di negara-negara maju.

Revolusi mental harus dimulai dari penegak hukum Indonesia. Hukum adalah sumber dari segala keteraturan dan ketertiban sosial. Jika hukum berhasil ditegakkan tanpa pandang bulu, keteraturan dan ketertiban sosial akan tercapai.

Seperti yang dikemukakanRoscoePound, fungsi hukum adalah sebagai rekayasa sosial. Hukum janganlah berada di belakang mengikuti perkembangan masyarakat. Hukum harus berada di depan dan menjadi pionir bagi masyarakat, membentuk kebiasaan dalam masyarakat, serta mengubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat yang tunduk dan menghormati hukum (law as a tool of social engineering).

Lembaga peradilan dapat berperan besar dalam membentuk suatu masyarakat adil dan makmur melalui putusan-putusannya yang memengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara. Singapura merupakan negara yang berhasil mempraktikkan hukum sebagai rekayasa sosial.

Awal 1950-an hukum belum ditegakkan di Singapura sehingga narkoba, prostitusi, dan kejahatan merajalela. Namun, lihatlah negara Singapura saat ini, menjadi salah satu negara yang disegani di Asia, bahkan dunia karena keteraturan dan ketertibannya serta penegakan hukum yang konsisten.

Pembangunan mereka dimulai dari pembangunan hukum, disusul pembangunan ekonomi, keuangan, industri, dan teknologi tinggi. Ini berbanding terbalik dengan pembangunan kita.

Tindakan konkret harus dilakukan Presiden RI bersamasama dengan Mahkamah Agung RI, KPK, Polri, KY, serta organisasi advokat secara bersinergi untuk memahami dengan benar visi revolusi mental yang dicanangkan oleh pemerintah. Dengan begitu, semangat revolusi mental yang merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap masa depan bangsa dapat tercapai.

Pemerintah dan lembaga peradilan dipisah untuk tujuan checks and balances antara eksekutif dan yudikatif dengan tujuan saling mengawasi satu sama lain, namun tetap selaras dalam satu tujuan politik hukum yaitu memberantas korupsi melalui revolusi mental para penegak hukum dan hakim.

Perlu dilakukan gerakan radikal antikorupsi yang tidak hanya sebagai jargon. Di negeri makmur yang berasaskan Pancasila iniperluditingkatkankampanye antikorupsi dan suap. Sementara perlu direnungkan kembali apa yang Soekarno sekali waktu pernah ucapkan dalam pidatonyadulu,“ Perjuangankulebihmudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.

Semoga revolusi mental dan gerakan anti korupsi ini tidak menjadi jargon kosong belaka tetapi direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Frans H Winarta
Ketua Umum PERADIN dan Guru Besar FH Universitas Pelita Harapan
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3475 seconds (0.1#10.140)