Mahar dalam Pilkada

Kamis, 06 Agustus 2015 - 08:15 WIB
Mahar dalam Pilkada
Mahar dalam Pilkada
A A A
Selalu saja ada aspek menarik sekitar pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia. Salah satu isu yang masih hangat diperbincangkan adalah soal uang mahar.

Sebetulnya persoalan sekitar mahar politik bukanlah hal baru. Sudah santer sejak pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan keharusan diusung oleh partai politik dengan sarat ketat. Mahar politik dimaksudkan ada sejumlah dana yang harus dikeluarkan oleh bakal calon untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik pengusung.

Sudah santer diperbincangkan bahwa kebanyakan rekomendasi itu tidaklah gratis. Sudah pasti semua partai tidak akan mengakui ada mahar ini. Memang hakikatnya partai pasti menolak keras ada praktik semacam itu. Namun, bagi partai tertentu dilematis juga. Ada kebutuhan operasional partai yang tidak kecil.

Aktivitas pilkada dapat menjadi sumber pemasukan potensial untuk kelangsungan hidup partai. Kita mempercayai di antara partai sungguh tidak memungut uang mahar untuk mengusung kandidat dalam pilkada. Elektabilitas dan kapabilitas kandidat yang dikedepankan.

Namun, realitanya uang mahar ini bukan saja santer dibicarakan, melainkan juga tetap saja menjadi momok banyak orang untuk maju dalam pilkada. Sebagai contoh saja adalah Asmadi dan Jisman yang batal maju sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Toba Samosir 2015.

Melalui jumpa pers di Jakarta (3/8) mereka mengeluarkan unek-unek bahwa terganjal pencalonannya karena dimintai upeti oleh partai pengusungnya. Pengakuannya, dua di antara partai pendukung meminta dana Rp1,6 miliar dan Rp2,5 miliar. Keduanya tidak sanggup dengan permintaan mahar sebesar itu.

Keharusan Diusung Parpol

Peraturan perundang-undangan mewajibkan seorang calon kepala daerah untuk diusung oleh partai politik. Memang ada kesempatan untuk maju sebagai calon kepala daerah tanpa diusung oleh partai sebagai calon perseorangan (independen). Namun, kesempatan untuk maju dari jalur perseorangan tergolong sulit dan hampir mustahil bagi banyak orang.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2015, untuk menjadi calon perseorangan gubernur, mengacu kepada Pasal 9 yang menentukan bahwa persyaratan pencalonan berupa jumlah dukungan bagi calon perseorangan untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur berdasarkan persentase dari jumlah penduduk.

Dimulai dengan provinsi dengan jumlah penduduk sampai 2 juta jiwa harus didukung paling sedikit 10%, sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta jiwa harus didukung paling sedikit 6,5%. Sedangkan persyaratan pencalonan berupa dukungan bagi calon perseorangan untuk pemilihan bupati atau wali kota ditentukan untuk kabupaten/ kota dengan jumlah penduduk sampai 250.000 jiwa harus didukung paling sedikit 10%.

Sedangkan kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa harus didukung paling sedikit 6,5%. Akibatnya, tidak banyak kandidat potensial bernyali maju sebagai calon kepala daerah jalur perseorangan. Memang jika nanti pemilih dengan fotokopi identitas diri itu pasti memilih kandidat perseorangan itu, ada potensi untuk menang. Tapi, dalam praktik seringkali kumpulan identitas diri itu didapat tidak atas dasar suka dan rela.

Modus Operandi

Memang sulit mendapatkan data pasti soal besaran uang mahar ini. Sulit menemukan data akurat karena memang “jikapun ada”, pastilah sangat tertutup praktiknya. Jika mahar politik itu diartikan secara lebih luas terkait dengan semua pengeluaran yang diperlukan untuk dapat diusung oleh suatu parpol, ada berbagai modus yang menarik.

Modus pertama, atas nama dana survei. Memang pada era pilkada modern, survei menjadi senjata pamungkas sebelum mengusung kandidat. Tapi, terkadang atas nama survei juga digunakan untuk menjustifikasi kandidat tertentu. Di antara kandidat diminta dana survei dalam jumlah besar. Menjadi sangat besar apabila dikalikan beberapa kandidat.

Idealnya, survei itu urusan internal partai saja, tanpa melibatkan kandidat. Ada juga oknum pengurus partai yang bolak-balik memanggil kandidat “seolah-olah” resmi kebijakan partai. Padahal, di antara mereka bergerak secara pribadi. Dalam pertemuan itu ada saja melibatkan sejumlah dana perkenalan.

Pemberian dana awal ini juga bertujuan menunjukkan bonafitas kandidat, terkadang berpengaruh pada langkah selanjutnya. Tingkat kemampuan dana kandidat ini penting karena di banyak daerah, kemenangan dalam pilkada sangat ditentukan seberapa dana yang dimiliki, bukan soal kapabilitas dan kapasitas.

Partai tentu “waswas” juga jika mengusung kandidat yang tidak memiliki cukup dana dalam berbagai kebutuhan nyata selama tahapan pilkada. Banyak indikator yang menunjukkan partai itu tidak mau mengusung kandidat yang besar potensi kalahnya.

Selain itu, uang mahar dapat juga menjelma dalam bentuk atas nama kontribusi untuk partai. Oknum yang mengatasnamakan partai secara terang-terangan meminta kepada kandidat soal berapa kesanggupannya untuk berkontribusi apabila dicalonkan oleh partai.

Saya tidak menemukan unsur paksaan dalam soal kontribusi ini, namun dapat menjadi penghalang bagi kandidat untuk diusung oleh partai tersebut. Ada juga oknum pengurus partai yang menawarkan diri “dapat mengurus” surat dukungan hingga ke pengurus pusat. Ia mengaku memerlukan dana yang harus dibayarkan secara berjenjang dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga ke pengurus pusat.

Menurut pengakuannya, kandidat tinggal duduk manis saja, semuanya bisa diurus dan rekomendasi partai dijamin didapat sepanjang ada uang mahar secara berjenjang tadi. Uang mahar dapat pula menjelma berupa uang saksi.

Partai menentukan kandidat harus membayar sejumlah uang untuk para saksi di lapangan dalam jumlah tidak sedikit. Jika saksi itu benar-benar ada dan bekerja, mungkin ini menjadi ongkos politik seharusnya.

Adanya uang mahar memunculkan akibat. Pertama, memungkinkan kandidat yang memiliki kemampuan dana besar untuk “memborong” banyak partai. Tapi, bukan berarti partai yang ramai-ramai mendukung satu kandidat sematamata didasarkan uang mahar.

Apabila kandidat di suatu daerah secara kasatmata sangat kuat, biasanya partai juga cenderung secara beramai-ramai akan mengusungnya. Hakikatnya tidak ada partai yang ingin menyongsong kekalahan yang sudah pasti.

Selain itu, tindakan memborong partai ini juga mempersempit munculnya kandidat- kandidat potensial, tetapi tidak memiliki dana. Kemampuan lobi kandidat yang memiliki dana besar antara lain bertujuan untuk menutup peluang lawannya dapat mencalonkan diri. Mereka paham benar bahwa maju melalui jalur perseorangan bukanlah soal gampang.

Alternatif Solusi

Saya ingin menekankan dua hal. Pertama, harapan kita tetap ada partai yang benar-benar tidak memberlakukan uang mahar atau minimal tidak menjadikannya sebagai kebijakan formal partai.

Namun, indikasi uang mahar itu sangat kuat yang menjelma dalam berbagai rupa sebagaimana diuraikan sebelumnya. Kedua, uang mahar yang ada mungkin saja hanya tindakan oknum-oknum tertentu yang mengaku sebagai utusan partai. Partai sesungguhnya tidak pernah memiliki kebijakan untuk meminta uang mahar.

Namun, bagi kandidat ada kekhawatiran apabila tidak mengikuti kehendak oknum yang mengatasnamakan partai demi mendapatkan rekomendasi. Sungguh tidak sehat demokrasi di negeri ini apabila kandidat kepala daerah ditekan dari “atas dan bawah”. Dari atas harus membayar uang mahar dan di bawah nanti harus membayar pemilih berupa uang transpor.

Di sebagian daerah besaran uang transpor pemilih itu sudah berkisar Rp100.000 sampai Rp250.000 untuk setiap pemilih, bahkan dalam pemilihan umum anggota legislatif sekalipun tetap perlu dana bagi pemilih. Harus ada langkah tegas penyelenggara negara agar demokrasi Indonesia tidak berubah rupa menjadi democrazy, termasuk soal uang mahar ini.

Alternatif langkah pertama mungkin dengan mempermudah persyaratan bagi kandidat perseorangan. Cara paling mudah adalah dengan menurunkan persentase dan sebaran dukungan menjadi separuh saja dari ketentuan yang berlaku saat ini.

Alternatif solusi kedua adalah dengan mendiskualifikasi kandidat yang terbukti diusung karena faktor uang mahar. Memang dalam hal ini diperlukan kerja keras Bawaslu/Panwaslu untuk juga secara proaktif memonitor potensi ini.

Sayangnya, kadangkala soal politik uang yang sudah nyata saja masih tidak mampu ditindak, apalagi untuk urusan uang mahar yang menggunakan cara-cara terselubung ini. Mungkin akan lebih mudah kalau saja Bawaslu/Panwaslu memiliki kemampuan operasi tangkap tangan (OTT).

Infonya, Bawaslu akan menggunakan PPATK untuk mengecek kemungkinan ada transaksi mahar ini. Padahal, gerakan uang mahar menggunakan uang kontan, tidak melalui perbankan yang menjadi dasar pelacakan PPATK. Cara lain mungkin dengan mengubah undang-undang yang mengharuskan ada ketentuan perolehan kursi 20% bagi partai atau gabungan partai yang akan mengusung kandidat.

Permudah saja partai untuk mengajukan kandidat. Jika mungkin setiap partai politik yang memiliki kursi di parlemen dapat mengusung kandidat kepala daerah, tanpa mensyaratkan persentase tertentu.

Mudahnya memperoleh dukungan partai pasti akan menurunkan jika tidak menghilangkan praktik uang mahar yang marak sekarang ini. Pilkada yang berkualitas mestinya menjadi fokus kita semua, penyelenggara negara, partai politik, dan para pemilih.

Tentu para penyelenggara negara yang paling berperan karena mereka berwenang menerbitkan regulasi. Pemilih adalah rakyat kebanyakan yang hidup dengan rutinitas keseharian dan seringkali berbentuk kesulitan ekonomi. Pilkada mestinya menghasilkan pimpinan daerah yang menyejahterakan warganya, bukan kepala daerah yang menggadaikan daerahnya.

Agaknya, selama ini uang mahar sebagai salah satu biang keladi gagalnya banyak daerah mendapatkan pimpinan berkualitas.

Prof Amzulian Rifai Phd
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0647 seconds (0.1#10.140)