Trisula Abad Kedua
A
A
A
Abad kedua penuh tantangan. Tantangan itu masih terkait dengan etos pembaruan yang telah lama menjadi ciri Persyarikatan yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada 1912 ini.
Pembaruan Muhammadiyah abad pertama melalui pembangunan basis kesadaran dan kecerdasan melalui sekolah, penyantunan yang lemah melalui Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dan Roemah Miskin, telah menjadi milik bangsa. Bangsa dan gerakan lain telah meniru langkah pembaruan Muhammadiyah itu melalui pembangun sekolah dengan berbagai model, lembaga penyantunan yatim piatu, dan gerakan-gerakan pendampingan terhadap kaum mustadh’afin (miskin).
Karena telah menjadi milik bangsa, seakan gelombang ijtihad Muhammadiyah telah terhenti. Hampir seluruh yang telah diusahakan oleh Persyarikatan yang kini dipimpin oleh Profesor Din Syamsuddin ini telah ditiru dan dikembangkan oleh orang lain, baik secara individu maupun kelompok. Karena itu, kini Muhammadiyah dituntut untuk menemukan model baru.
Model baru ini wilayah Muhammadiyah untuk tetap mempertahankan diri sebagai ikon gerakan pembaruan di Indonesia maupun di dunia. Ide meneguhkan gerakan pembaruan Muhammadiyah itu setidaknya muncul dalam grup diskusi WA (WhatApp) “Islam Berkemajuan”.
Adalah Hajriyanto Y Thohari memantik diskusi dengan menyebut perlunya gerak bersama tiga lembaga yaitu Muhammadiyah Disaster Management Center (Lembaga Penanggulangan Bencana), Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), dan Lembaga Amal Zakat, Infak, dan Sedekah (Lazis).
Melalui hal tersebut, Muhammadiyah akan bergerak dan menjadi pilar dalam penanggulangan bencana dan resolusi konflik, pemberdayaan masyarakat, dan pengumpulan dana umat.
Manajemen Keuangan Masjid
Trisula tersebut saling menopang satu sama lain. Lazismu bergerak dalam bidang pengumpulan dana umat, penyaluran dan pengembangan masyarakat dilakukan oleh MPM, serta penanggulan bencana dan resolusi konflik oleh MDMC. Pengumpulan dana umat itu bisa dimulai dari perumusan kajian dan aksi penyertaan pendapatan bersama.
Hal itu dimulai dari manajemen keuangan masjid satu atap. Infak masjid dapat dikelola dan dikembangkan menjadi dana untuk kesejahteraan umat. Misalnya, dalam satu desa, terdapat 20 masjid. dalam satu bulan pendapatan infak salat Jumat setiap masjid Rp500.000. Jika dikumpulkan, ada dana segar Rp10.000.000 per bulan.
Dana itu akan dapat menggerakkan sektor produktif setiap desa. Desa pun akan menjadi mandiri dengan dana yang terkumpul dari infak masjid kampung. Masyarakat desa tidak perlu berebut Dana Desa yang hingga kini belum jelas realisasinya. Lazismu juga dapat mengumpulkan dana dari para guru, karyawan, dosen yang bekerja di Persyarikatan Muhammadiyah.
Pengumpulan dana itu dimulai dari menghimpun dana pensiun. Iuran bulanan dana pensiun dapat menjadi penggerak sektor riil Persyarikatan. Jika kini Persyarikatan mempekerjakan 30 juta orang, akan mendapat dana segar minimal Rp300 miliar jika mereka membayar Rp10.000 per bulan. Dana Rp300 miliar bila dikelola dengan baik akan mampu menggerakkan sektor publik secara lebih baik. Bangsa Indonesia pun akan terbebas dari krisis melalui dana ketahanan umat tersebut.
Pemihakan Kaum Lemah
Lebih lanjut, saat dana sudah memadai, tugas MPM untuk menjadi penggerak sektor produktif. Gerakan MPM hasil rintisan Said Tuhuleley (wafat, Selasa, 9 Juni 2015) telah menorehkan prestasi luar biasa. Banyak daerah telah berhasil dibina dalam bingkai pengangkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Gerakan MPM ala Said terus menjadi bukti bahwa Muhammadiyah terus bergerak bersama kaum lemah (mustadh’afin).
Pak Said melalui MPM pun mengubur anggapan Muhammadiyah elitis dan tak pernah berbicara pada ranah pemihakan terhadap kaum miskin. Muhammadiyah selalu berada di tengah pemberdayaan dan pemandirian kaum miskin. Berbekal Teologi al-Ashr dan al-Ma’un, Muhammadiyah telah membuktikan diri sebagai gerakan sosial keagamaan yang paling fokus mengurusi masalah itu.
Jika masih ada sebagian kecil pengamat mengatakan Muhammadiyah jauh dari kaum miskin, dapat dikatakan mereka tidak mengenal gerakan ini. Said pun dengan falsafah “Selama Rakyat Menderita, Tidak Ada Kata Istirahat” telah menjadi penerjemah gagasan Kiai Dahlan dan Kiai Sudja’ dalam proses kreatif menebarkan benih kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memberi untuk Negeri
Pilar ketiga adalah MDMC. MDMC merupakan lembaga baru hasil Muktamar Ke-46 di Yogyakarta. Kiprah MDMC tidak hanya bergerak dalam negeri, namun juga sampai pendampingan korban bencana di Asia Tenggara. Barori Budi Aji, seorang teman dari MDMC, pernah bercerita tentang kiprah lembaga ini di Papua.
Saat terjadi bencana Wasior, tidak ada satu pun lembaga keagamaan bisa masuk ke sana. Karena MDMC mengusung tema kemanusiaan, ia satu-satunya lembaga berbasis agama yang dapat masuk membantu korban bencana Wasior. Karena kiprah yang luar biasa dan tak pernah membawa “embel-embel” agama, pascabencana, Muhammadiyah mendapat tanah wakaf dari warga beberapa hektare.
Wakaf tanah itu pun dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh Muhammadiyah. Gerakan MDMC dengan tema “Memberi untuk Negeri” telah membuktikan bahwa kiprah Muhammadiyah sampai saat ini terus menginspirasi dan memberikan yang terbaik untuk negeri. Muhammadiyah tidak pernah minta jabatan politik.
Bagi Muhammadiyah, memberi yang terbaik untuk negeri merupakan ”jihad akbar”. Jihad akbar inilah yang terus menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan tersubur dan terbesar dalam hal aset. Muhammadiyah pun menjadi the largest Islamic organization on the world. Muhammadiyah pun tidak sekadar organisasi nasional Indonesia.
Kiprah Muhammadiyah melalui tokoh-tokohnya dan kerja nyata MDMC telah mengantarkan Persyarikatan menapaki jejaring internasional. Internasionalisasi pemikiran dan gerak Muhammadiyah pun tinggal menunggu hasil dari kerja peradaban selama seabad silam. Akhirnya Lazizmu, MPM, dan MDMC merupakan trisula abad ini.
Trisula inilah yang akan mewarnai perjalanan Muhammadiyah abad kedua. Abad kedua yang terus menuntut Muhammadiyah sebagai pilar pembaruan Islam.
BENNI SETIAWAN
Dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
Pembaruan Muhammadiyah abad pertama melalui pembangunan basis kesadaran dan kecerdasan melalui sekolah, penyantunan yang lemah melalui Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dan Roemah Miskin, telah menjadi milik bangsa. Bangsa dan gerakan lain telah meniru langkah pembaruan Muhammadiyah itu melalui pembangun sekolah dengan berbagai model, lembaga penyantunan yatim piatu, dan gerakan-gerakan pendampingan terhadap kaum mustadh’afin (miskin).
Karena telah menjadi milik bangsa, seakan gelombang ijtihad Muhammadiyah telah terhenti. Hampir seluruh yang telah diusahakan oleh Persyarikatan yang kini dipimpin oleh Profesor Din Syamsuddin ini telah ditiru dan dikembangkan oleh orang lain, baik secara individu maupun kelompok. Karena itu, kini Muhammadiyah dituntut untuk menemukan model baru.
Model baru ini wilayah Muhammadiyah untuk tetap mempertahankan diri sebagai ikon gerakan pembaruan di Indonesia maupun di dunia. Ide meneguhkan gerakan pembaruan Muhammadiyah itu setidaknya muncul dalam grup diskusi WA (WhatApp) “Islam Berkemajuan”.
Adalah Hajriyanto Y Thohari memantik diskusi dengan menyebut perlunya gerak bersama tiga lembaga yaitu Muhammadiyah Disaster Management Center (Lembaga Penanggulangan Bencana), Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), dan Lembaga Amal Zakat, Infak, dan Sedekah (Lazis).
Melalui hal tersebut, Muhammadiyah akan bergerak dan menjadi pilar dalam penanggulangan bencana dan resolusi konflik, pemberdayaan masyarakat, dan pengumpulan dana umat.
Manajemen Keuangan Masjid
Trisula tersebut saling menopang satu sama lain. Lazismu bergerak dalam bidang pengumpulan dana umat, penyaluran dan pengembangan masyarakat dilakukan oleh MPM, serta penanggulan bencana dan resolusi konflik oleh MDMC. Pengumpulan dana umat itu bisa dimulai dari perumusan kajian dan aksi penyertaan pendapatan bersama.
Hal itu dimulai dari manajemen keuangan masjid satu atap. Infak masjid dapat dikelola dan dikembangkan menjadi dana untuk kesejahteraan umat. Misalnya, dalam satu desa, terdapat 20 masjid. dalam satu bulan pendapatan infak salat Jumat setiap masjid Rp500.000. Jika dikumpulkan, ada dana segar Rp10.000.000 per bulan.
Dana itu akan dapat menggerakkan sektor produktif setiap desa. Desa pun akan menjadi mandiri dengan dana yang terkumpul dari infak masjid kampung. Masyarakat desa tidak perlu berebut Dana Desa yang hingga kini belum jelas realisasinya. Lazismu juga dapat mengumpulkan dana dari para guru, karyawan, dosen yang bekerja di Persyarikatan Muhammadiyah.
Pengumpulan dana itu dimulai dari menghimpun dana pensiun. Iuran bulanan dana pensiun dapat menjadi penggerak sektor riil Persyarikatan. Jika kini Persyarikatan mempekerjakan 30 juta orang, akan mendapat dana segar minimal Rp300 miliar jika mereka membayar Rp10.000 per bulan. Dana Rp300 miliar bila dikelola dengan baik akan mampu menggerakkan sektor publik secara lebih baik. Bangsa Indonesia pun akan terbebas dari krisis melalui dana ketahanan umat tersebut.
Pemihakan Kaum Lemah
Lebih lanjut, saat dana sudah memadai, tugas MPM untuk menjadi penggerak sektor produktif. Gerakan MPM hasil rintisan Said Tuhuleley (wafat, Selasa, 9 Juni 2015) telah menorehkan prestasi luar biasa. Banyak daerah telah berhasil dibina dalam bingkai pengangkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Gerakan MPM ala Said terus menjadi bukti bahwa Muhammadiyah terus bergerak bersama kaum lemah (mustadh’afin).
Pak Said melalui MPM pun mengubur anggapan Muhammadiyah elitis dan tak pernah berbicara pada ranah pemihakan terhadap kaum miskin. Muhammadiyah selalu berada di tengah pemberdayaan dan pemandirian kaum miskin. Berbekal Teologi al-Ashr dan al-Ma’un, Muhammadiyah telah membuktikan diri sebagai gerakan sosial keagamaan yang paling fokus mengurusi masalah itu.
Jika masih ada sebagian kecil pengamat mengatakan Muhammadiyah jauh dari kaum miskin, dapat dikatakan mereka tidak mengenal gerakan ini. Said pun dengan falsafah “Selama Rakyat Menderita, Tidak Ada Kata Istirahat” telah menjadi penerjemah gagasan Kiai Dahlan dan Kiai Sudja’ dalam proses kreatif menebarkan benih kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memberi untuk Negeri
Pilar ketiga adalah MDMC. MDMC merupakan lembaga baru hasil Muktamar Ke-46 di Yogyakarta. Kiprah MDMC tidak hanya bergerak dalam negeri, namun juga sampai pendampingan korban bencana di Asia Tenggara. Barori Budi Aji, seorang teman dari MDMC, pernah bercerita tentang kiprah lembaga ini di Papua.
Saat terjadi bencana Wasior, tidak ada satu pun lembaga keagamaan bisa masuk ke sana. Karena MDMC mengusung tema kemanusiaan, ia satu-satunya lembaga berbasis agama yang dapat masuk membantu korban bencana Wasior. Karena kiprah yang luar biasa dan tak pernah membawa “embel-embel” agama, pascabencana, Muhammadiyah mendapat tanah wakaf dari warga beberapa hektare.
Wakaf tanah itu pun dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh Muhammadiyah. Gerakan MDMC dengan tema “Memberi untuk Negeri” telah membuktikan bahwa kiprah Muhammadiyah sampai saat ini terus menginspirasi dan memberikan yang terbaik untuk negeri. Muhammadiyah tidak pernah minta jabatan politik.
Bagi Muhammadiyah, memberi yang terbaik untuk negeri merupakan ”jihad akbar”. Jihad akbar inilah yang terus menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan tersubur dan terbesar dalam hal aset. Muhammadiyah pun menjadi the largest Islamic organization on the world. Muhammadiyah pun tidak sekadar organisasi nasional Indonesia.
Kiprah Muhammadiyah melalui tokoh-tokohnya dan kerja nyata MDMC telah mengantarkan Persyarikatan menapaki jejaring internasional. Internasionalisasi pemikiran dan gerak Muhammadiyah pun tinggal menunggu hasil dari kerja peradaban selama seabad silam. Akhirnya Lazizmu, MPM, dan MDMC merupakan trisula abad ini.
Trisula inilah yang akan mewarnai perjalanan Muhammadiyah abad kedua. Abad kedua yang terus menuntut Muhammadiyah sebagai pilar pembaruan Islam.
BENNI SETIAWAN
Dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
(ftr)