Wajah Islam Dua Muktamar
A
A
A
M alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional Jakarta
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin belum lama ini mengatakan bahwa tema “Islam Berkemajuan” Muktamar Ke-47 Muhammadiyah yang dibukahari iniadalahelaborasidari visi Muhammadiyah.
Ia juga menegaskan bahwa tema itu melengkapitemayangdiangkatoleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam muktamarnya di Jombang dalam waktu yang berimpitan itu yakni “Islam Nusantara”. Keterangan Din tersebut melegakan. Sudah selazimnya Muhammadiyah dan NU saling melengkapi dan berbagai tugas dalam merespons soal-soal keumatan dan kebangsaan yang dinamis dan kompleks.
Dalam Pembukaan Munas Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal, pertengahan Juni lalu, Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Said Aqil Siradj menjelaskan bahwa model Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara, yang dilakukan dengan pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. NU menegaskan Islam Nusantara ialah Islam yang berperadaban, bermartabat, disiplin, dan bersih penampilannya (Detik. com, 29/7/2015).
Mengemukanya dua tema yang saling melengkapi tersebut bisa dipahami, mengingat Muhammadiyah dan NU adalah sesama gerakan Islam yang perlu elaborasivisimasing-masing. Dalam pemahaman inilah, baik Islam Berkemajuan maupun Islam Nusantara tentu tidak dimaksudkan untuk mereduksi makna Islam yang lebih luas, melainkan bentuk ikhtiar dua organisasi dalam mensyiarkan dakwahmasing- masingsesuaitradisi pemikiran dan gerakannya.
Kita tahu Muhammadiyah (lahir pada 1912) dan NU (lahir tahun 1926) merupakan dua organisasi sosial kemasyarakatan Islam yang sudah cukup tua. Keberadaan mereka jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka pun telah memberi warna bagi dinamika kehidupan umat dan bangsa Indonesia hingga dewasa ini.
Mereka, yang sering disebut sebagai “Islam mapan” atau “Islam arus utama” (mainstream Islam) diIndonesiaini, kini telah mencapai titik kesetimbangan penting dalam menggerakkan energi umat untuk kemajuan bangsa. Titik kesetimbangan ini, selaras dengan pandangan Din Syamsuddin, menegaskan bahwa antara Muhammadiyah dan NU tidak lagi disibukkan pada perseteruan yang bersifat “khilafiah”.
Perbedaan-perbedaan “kecil” dalam peribadatan (fikih) seperti soal jumlah rakaat salat tarawih atau perlu-tidak doa qunut dalam salat subuh telah terlampaui sedemikian rupa. Kalangan Muhammadiyah dan NU pun sudah saling memahami tradisi dan pendekatan masing-masing. Karena itu, tidak ada lagi gerak mundur karena kesadaran bersama itu mengarah ke depan, ke ihwal yang tidak saja bersifat saling memahami (mutual understanding), tetapi juga terus bergerak dalam menggarap sektor-sektor penting kehidupan umat. Kendati demikian, masalah persatuan umat tetap harus selalu menjadi fokus perhatian.
*** Pada momentum muktamar dua ormas Islam raksasa di Indonesia ini, wajah Islam Indonesia telah jauh berbeda dengan masamasaketikaihwal“ khilafiah” masih menjadi soal yang menyedot cukup banyak energi umat. Kini keduanya tampak sama-sama menyadari bahwa semakin banyak tantangan yang sama, dan karenanya mereka harus bisa saling melengkapi dan berbagi tugas.
Tantangan itu merentang dari realitas internal keumatan yang terkait dengan dinamika lokal, nasional, regional, dan transnasional. Masalah radikalisme dan terorisme misalnya merupakan masalah bersama. Baik Muhammadiyah maupun NU semakin dituntut untuk mampu mencegah kekerasan-kekerasan atas nama agama.
Kendatipun punya modal sejarah dan sumberdaya yangbesar dalam perspektif Islam di Indonesia, baik Muhammadiyah maupun NU tidak boleh terjebak pada pendekatan-pendekatan yang eksklusif dan menutup diri. Keduanya harus inklusif, terbuka bagi ragam persoalan umat untuk direspons dan disikapi dengan sebaik-baiknya.
Ke depan keduanya harus lebih proaktif dan lebih konstruktif lagi dalam mengambil peran dalam menggairahkan dinamika kehidupan umat, mengangkat derajat mereka terutama dari sisi kesejahteraan melalui pemberdayaan. Bagaimanapun, masalah penting umat Islam hingga dewasa ini relatif masih tetap sama, bahkan ketika Muhammadiyah didirikan, yakni kemiskinan. Kemiskinan bisa menjadi akar “segala kejahatan”, demikian pun radikalisme dan terorisme.
Karena itu, muktamar dua organisasi itu juga sebagai momentum untuk mempertegas mereka sebagai kekuatan sosio-kultural yang lebih luas ketimbang “kekuatan politik”. Terkait dengan yang terakhir ini, kita tahu bahwa ia bisa menjadi sumber konflik. Tren konflik yang melanda kelompok- kelompok umat Islam di mana pun, termasuk di Indonesia, salah satunya karena faktor politik.
Ini sesungguhnya sudah sangat disadari oleh masing-masing pendiri organisasi, KH Ahmad Dahlan maupun KH Hasyim Asyari. Makanya, sejak awal mereka berkhidmat lebih ke dunia dakwah sosial dan kultural yang lebih luas. Kendati demikian, keduanya punya kaitan sejarah denganpolitik, terutamapada masa pascakemerdekaan, bahkan hingga dewasa ini di mana politik dilakukan secara tidak langsung.
Politik Muhammadiyah dan NU tentu bukanlah ihwal yang merentang di ranah politik praktis, melainkan levelnya ialah ranah keumatan dan kebangsaan yang lebih luas. Mereka harus memosisikan sebagai “pemandu moral” umat, termasuk dalam bidang politik. Karena itu, lazim manakala banyak yang berharap dua organisasi ini juga harus gencar mengampanyekan antipragmatisme transaksional dalam politik di era demokrasi ini.
Keduanya juga bertanggung jawab dalam menumbuhkan budaya demokrasi di tengah-tengah umat. Singkat kata, keduanya sudah semestinya bisa menjadi “kekuatan penentu” dalam dinamika kehidupan umat dan bangsa. Untuk menjadi kekuatan penentu, kata kuncinya ialah kemandirian.
Apabila dua organisasi ini pun mampu tampil sebagai “kekuatan ekonomi” di mana mereka ditopang oleh konstituen yang berdaya dan mandiri secara ekonomi, dalamkonteks politik mereka “tidak dapat dibeli” oleh kekuatan-kekuatan ekonomi yang bertendensi politik. Daya pengaruh dua organisasi akan menanjak, manakala kemandirian itu mampu dibuktikan.
Ke depan, ditengah era pasar bebas regional dan internasional, mereka semakin dituntut untuk mampu menyemaikan kebangkitan kelas menengah muslim yang efektif. Dalam hal yang terakhir itu, perlulah kita berkaca dari pengalaman Turki. Terakhir, tentu saja umat senantiasa menunggu ikhtiar-ikhtiar kreatif dua organisasi.
Kemampuan menggerakkan dinamika umat itulah yang penting sehingga keberadaan Muhammadiyah dan NU tidak sekadar formalitas di panggung kehidupan Islam di Indonesia. Selamat bermuktamar!
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional Jakarta
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin belum lama ini mengatakan bahwa tema “Islam Berkemajuan” Muktamar Ke-47 Muhammadiyah yang dibukahari iniadalahelaborasidari visi Muhammadiyah.
Ia juga menegaskan bahwa tema itu melengkapitemayangdiangkatoleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam muktamarnya di Jombang dalam waktu yang berimpitan itu yakni “Islam Nusantara”. Keterangan Din tersebut melegakan. Sudah selazimnya Muhammadiyah dan NU saling melengkapi dan berbagai tugas dalam merespons soal-soal keumatan dan kebangsaan yang dinamis dan kompleks.
Dalam Pembukaan Munas Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal, pertengahan Juni lalu, Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Said Aqil Siradj menjelaskan bahwa model Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara, yang dilakukan dengan pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. NU menegaskan Islam Nusantara ialah Islam yang berperadaban, bermartabat, disiplin, dan bersih penampilannya (Detik. com, 29/7/2015).
Mengemukanya dua tema yang saling melengkapi tersebut bisa dipahami, mengingat Muhammadiyah dan NU adalah sesama gerakan Islam yang perlu elaborasivisimasing-masing. Dalam pemahaman inilah, baik Islam Berkemajuan maupun Islam Nusantara tentu tidak dimaksudkan untuk mereduksi makna Islam yang lebih luas, melainkan bentuk ikhtiar dua organisasi dalam mensyiarkan dakwahmasing- masingsesuaitradisi pemikiran dan gerakannya.
Kita tahu Muhammadiyah (lahir pada 1912) dan NU (lahir tahun 1926) merupakan dua organisasi sosial kemasyarakatan Islam yang sudah cukup tua. Keberadaan mereka jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka pun telah memberi warna bagi dinamika kehidupan umat dan bangsa Indonesia hingga dewasa ini.
Mereka, yang sering disebut sebagai “Islam mapan” atau “Islam arus utama” (mainstream Islam) diIndonesiaini, kini telah mencapai titik kesetimbangan penting dalam menggerakkan energi umat untuk kemajuan bangsa. Titik kesetimbangan ini, selaras dengan pandangan Din Syamsuddin, menegaskan bahwa antara Muhammadiyah dan NU tidak lagi disibukkan pada perseteruan yang bersifat “khilafiah”.
Perbedaan-perbedaan “kecil” dalam peribadatan (fikih) seperti soal jumlah rakaat salat tarawih atau perlu-tidak doa qunut dalam salat subuh telah terlampaui sedemikian rupa. Kalangan Muhammadiyah dan NU pun sudah saling memahami tradisi dan pendekatan masing-masing. Karena itu, tidak ada lagi gerak mundur karena kesadaran bersama itu mengarah ke depan, ke ihwal yang tidak saja bersifat saling memahami (mutual understanding), tetapi juga terus bergerak dalam menggarap sektor-sektor penting kehidupan umat. Kendati demikian, masalah persatuan umat tetap harus selalu menjadi fokus perhatian.
*** Pada momentum muktamar dua ormas Islam raksasa di Indonesia ini, wajah Islam Indonesia telah jauh berbeda dengan masamasaketikaihwal“ khilafiah” masih menjadi soal yang menyedot cukup banyak energi umat. Kini keduanya tampak sama-sama menyadari bahwa semakin banyak tantangan yang sama, dan karenanya mereka harus bisa saling melengkapi dan berbagi tugas.
Tantangan itu merentang dari realitas internal keumatan yang terkait dengan dinamika lokal, nasional, regional, dan transnasional. Masalah radikalisme dan terorisme misalnya merupakan masalah bersama. Baik Muhammadiyah maupun NU semakin dituntut untuk mampu mencegah kekerasan-kekerasan atas nama agama.
Kendatipun punya modal sejarah dan sumberdaya yangbesar dalam perspektif Islam di Indonesia, baik Muhammadiyah maupun NU tidak boleh terjebak pada pendekatan-pendekatan yang eksklusif dan menutup diri. Keduanya harus inklusif, terbuka bagi ragam persoalan umat untuk direspons dan disikapi dengan sebaik-baiknya.
Ke depan keduanya harus lebih proaktif dan lebih konstruktif lagi dalam mengambil peran dalam menggairahkan dinamika kehidupan umat, mengangkat derajat mereka terutama dari sisi kesejahteraan melalui pemberdayaan. Bagaimanapun, masalah penting umat Islam hingga dewasa ini relatif masih tetap sama, bahkan ketika Muhammadiyah didirikan, yakni kemiskinan. Kemiskinan bisa menjadi akar “segala kejahatan”, demikian pun radikalisme dan terorisme.
Karena itu, muktamar dua organisasi itu juga sebagai momentum untuk mempertegas mereka sebagai kekuatan sosio-kultural yang lebih luas ketimbang “kekuatan politik”. Terkait dengan yang terakhir ini, kita tahu bahwa ia bisa menjadi sumber konflik. Tren konflik yang melanda kelompok- kelompok umat Islam di mana pun, termasuk di Indonesia, salah satunya karena faktor politik.
Ini sesungguhnya sudah sangat disadari oleh masing-masing pendiri organisasi, KH Ahmad Dahlan maupun KH Hasyim Asyari. Makanya, sejak awal mereka berkhidmat lebih ke dunia dakwah sosial dan kultural yang lebih luas. Kendati demikian, keduanya punya kaitan sejarah denganpolitik, terutamapada masa pascakemerdekaan, bahkan hingga dewasa ini di mana politik dilakukan secara tidak langsung.
Politik Muhammadiyah dan NU tentu bukanlah ihwal yang merentang di ranah politik praktis, melainkan levelnya ialah ranah keumatan dan kebangsaan yang lebih luas. Mereka harus memosisikan sebagai “pemandu moral” umat, termasuk dalam bidang politik. Karena itu, lazim manakala banyak yang berharap dua organisasi ini juga harus gencar mengampanyekan antipragmatisme transaksional dalam politik di era demokrasi ini.
Keduanya juga bertanggung jawab dalam menumbuhkan budaya demokrasi di tengah-tengah umat. Singkat kata, keduanya sudah semestinya bisa menjadi “kekuatan penentu” dalam dinamika kehidupan umat dan bangsa. Untuk menjadi kekuatan penentu, kata kuncinya ialah kemandirian.
Apabila dua organisasi ini pun mampu tampil sebagai “kekuatan ekonomi” di mana mereka ditopang oleh konstituen yang berdaya dan mandiri secara ekonomi, dalamkonteks politik mereka “tidak dapat dibeli” oleh kekuatan-kekuatan ekonomi yang bertendensi politik. Daya pengaruh dua organisasi akan menanjak, manakala kemandirian itu mampu dibuktikan.
Ke depan, ditengah era pasar bebas regional dan internasional, mereka semakin dituntut untuk mampu menyemaikan kebangkitan kelas menengah muslim yang efektif. Dalam hal yang terakhir itu, perlulah kita berkaca dari pengalaman Turki. Terakhir, tentu saja umat senantiasa menunggu ikhtiar-ikhtiar kreatif dua organisasi.
Kemampuan menggerakkan dinamika umat itulah yang penting sehingga keberadaan Muhammadiyah dan NU tidak sekadar formalitas di panggung kehidupan Islam di Indonesia. Selamat bermuktamar!
(ars)