Mereduksi Politik Dinasti
A
A
A
PROF AMZULIAN RIFAI, PHD
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya Palembang
Perdebatan dan persoalan di daerah pada setiap pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah keterlibatan petahana dalam pilkada berikutnya. Keterlibatan sosok petahana baik secara langsung maupun tidak langsung masih sangat diperhitungkan.
Kenyataannya, seorang kepala daerah incumbent sering dengan mudah menggunakan kekuasaan dan fasilitas yang ada padanya untuk mempengaruhi proses pilkada di daerahnya. Kekhawatiran terhadap petahana bukan tanpa alasan. Pertama, umumnya petahana telah menjabat selama dua periode.
Agak jarang terjadi seorang kepala daerah dengan sengaja hanya menjabat untuk masa jabatan satu periode saja. Kebanyakan kepala daerah mencalonkan diri untuk kedua kalinya dan umumnya terpilih kembali karena berbagai pengaruh yang berhasil ditanamkan selama masa jabatan periode pertama.
Alasan kedua mengapa petahana memiliki pengaruh yang kuat karena seorang kepala daerah memiliki akses anggaran yang luas dan berpengaruh terhadap pembentukan opini publik yang secara bertahap merajut kekuasaannya. Hanya dari anggaran kehumasan saja seorang kepala daerah memiliki dana yang besar untuk publikasi.
Jangan heran apabila di banyak daerah aktivitas-aktivitas kepala daerah yang diliput media dalam bentuk advertorial. Belum lagi kegiatan-kegiatan yang bersifat massal, itu mampu menjangkau lapisan masyarakat luas. Ada di antara kepala daerah yang memanfaatkan dana bantuan sosial untuk tujuan-tujuan politik, walaupun mungkin secara terselubung dan terkadang luput dari perhatian publik. Kepala daerah mampu menciptakan simpul- simpul masyarakat menjadi bergantung kepadanya.
Larangan Politik Dinasti
Muncul istilah politik dinasti untuk menggambarkan kecenderungan kepala daerah petahana menjadikan keluarga terdekatnya sebagai kepala daerah berikutnya. Terkadang kepala daerah pengganti adalah anak/istri/menantu atau keluarga terdekat lainnya. Terkadang bukan karena kandidat pengganti adalah orang-orang yang mumpuni, tetapi karena keikutsertaan kepala daerah petahana dalam proses pencalonan untuk menyukseskan jagonya.
Para pembuat undang-undang menyadari benar kemungkinan terbentuknya politik dinasti dengan alasan sebagaimana diuraikan sebelumnya. Pada saat itu ada fakta bahwa kecenderungan pembangunan politik dinasti semakin menguat di berbagai daerah di Indonesia.
Bahkan ada kepala daerah mencalonkan istri keduanya sebagai kandidat berikut dan itu sangat tidak sehat dalam negara yang tengah gencarnya memberantas KKN dalam berbagai bentuknya. Itu sebabnya lahir Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Pasal 7 (r) undang-undang tersebut menegaskan bahwa warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Ketentuan ini menjadi rancu ketika KPU mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 302/ KPU/VI/2015 tentang penjelasan beberapa aturan dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2015 tertanggal 12 Juni.
Kehadiran surat edaran ini telah membuka peluang bagi keluarga petahana maju pada pilkada serentak, 9 Desember nanti. Syaratnya, harus mengundurkan diri sebelum pendaftaran pasangan calon, 26-28 Juli nanti. Akibatnya ”ramai-ramailah” kepala daerah mengundurkan diri untuk memuluskan kerabatnya mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Peta politik di daerah terkait politik dinasti ”berubah total” setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menerbitkan putusannya terkait dengan perdebatan larangan keluarga petahana ikut maju dalam pilkada. MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang- Undang Nomor 8/2015.
Mahkamah menilai, aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana telah melanggar konstitusi. Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa idealnya suatu demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik.
Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara. Hakim menilai, Pasal 7 (r) UU Pilkada mengandung muatan diskriminasi. Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undangundang, di mana pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana.
Mereduksi Politik Dinasti
Dalam tataran praktik, tidak ada mekanisme untuk melakukan perlawanan terhadap putusan MK. Semua lembaga terkait tidak memiliki pilihan lain kecuali melaksanakan putusan MK tersebut. KPU dan Bawaslu harus melakukan berbagai penyesuaian dalam rangka melaksanakan putusan MK ini.
Perdebatan soal pro dan kontra terhadap isu larangan keluarga petahana mencalonkan diri ini mestinya juga berakhir. Namun, harus juga dimengerti bahwa hakikat dari pelarangan politik dinasti itu agar demokrasi di negeri ini ”sehat walafiat”, bukan demokrasi yang bersifat formal semata.
Jika alasan diperbolehkannya keluarga petahana maju dalam pilkada dengan meniru negara semacam Amerika Serikat yang juga melakoninya, tentu agak kurang pas cara membandingkannya. Demokrasi di AS dan latar belakang masyarakatnya tentu sangat berbeda dengan realitas yang ada pada praktik demokrasi dan realitas masyarakat Indonesia.
Karena itu, harus dicarikan upaya untuk mereduksi politik dinasti dalam pilkada setelah diterbitkannya putusan MK yang membatalkan Pasal 7 (r) Undang-Undang Nomor 8/ 2015. Di antara upaya tersebut dengan menerbitkan berbagai ketentuan baik oleh KPU maupun Bawaslu ataupun lembaga-lembaga berkompeten lain untuk menahan keterlibatan petahana dalam tahapan-tahapan pilkada.
Harus ada ketentuan yang membatasi petahana menggunakan berbagai jalur birokrasi untuk membantu kerabatnya memenangkan pemilihan. Memang kesulitannya karena secara formal sang petahana mungkin tidak menjabat lagi saat pemilihan dilangsungkan, namun faktanya masih sangat rentan penggunaan jalur birokrasi dalam proses pilkada tersebut.
Tidak kalah pentingnya adalah penggunaan dana oleh petahana untuk memenangkan kerabatnya. Banyak yang meyakini bahwa pilkada bukan soal kualitas kandidat, tetapi terkait erat dengan kemampuan finansial. Semakin besar dana yang dimiliki semakin tinggi kemungkinan untuk terpilih. Memang ada di antara kandidat yang bermodalkan semangat dan kredibilitas semata, namun itu golongan minoritas.
Faktanya, mayoritas pemenang adalah mereka yang memiliki dana sangat besar yang terkadang di luar nalar manusia biasa. Politik dinasti di daerah tidak selalu menjelma dalam bentuk pencalonan kerabat yang memiliki hubungan darah/kekerabatan dengan petahana.
Ada juga petahana yang mencalonkan ”orangnya” yang sama sekali bukan kerabatnya, sebagai pengganti dan bersedia mengeluarkan semua daya/dana yang ada padanya. Secara yuridis sulit menjangkau dan mencegah praktik seperti ini yang mungkin tidak banyak terjadi di negara lain.
Banyak yang berharap bahwa kontrol terhadap mengguritanya politik dinasti di daerah itu dilakukan oleh partai politik. Parpol diharapkan tidak mengusung calon yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana. Persoalannya justru di banyak daerah pimpinan partai politik itu dirangkap oleh kepala daerah. Biasanya justru pemimpin parpol memberikan prioritas terhadap kerabatnya untuk mencalonkan diri.
Ada benarnya bahwa jangan pula seseorang ”menjadi bersalah” karena ada hubungan kekerabatan dengan petahana. Dengan status itu seolah-olah hakhak mereka menjadi dibatasi. Mencalonkan diri dalam pilkada itu hak asasi setiap orang yang dilindungi oleh konstitusi negara demokrasi.
Namun, realitasnya demokrasi kita yang masih seumur jagung dengan berbagai kompleksitas masyarakatnya tidak bisa dipaksa melompat setara dengan demokrasi di Amerika Serikat. Demokrasi kita masih kental dengan praktik politik uang baik oleh para kandidat maupun oleh para pemilih yang pamrih. Agaknya benteng terakhir kini tinggal KPU dan Bawaslu dengan kewenangan yang ada pada mereka untuk mereduksi politik dinasti.
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya Palembang
Perdebatan dan persoalan di daerah pada setiap pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah keterlibatan petahana dalam pilkada berikutnya. Keterlibatan sosok petahana baik secara langsung maupun tidak langsung masih sangat diperhitungkan.
Kenyataannya, seorang kepala daerah incumbent sering dengan mudah menggunakan kekuasaan dan fasilitas yang ada padanya untuk mempengaruhi proses pilkada di daerahnya. Kekhawatiran terhadap petahana bukan tanpa alasan. Pertama, umumnya petahana telah menjabat selama dua periode.
Agak jarang terjadi seorang kepala daerah dengan sengaja hanya menjabat untuk masa jabatan satu periode saja. Kebanyakan kepala daerah mencalonkan diri untuk kedua kalinya dan umumnya terpilih kembali karena berbagai pengaruh yang berhasil ditanamkan selama masa jabatan periode pertama.
Alasan kedua mengapa petahana memiliki pengaruh yang kuat karena seorang kepala daerah memiliki akses anggaran yang luas dan berpengaruh terhadap pembentukan opini publik yang secara bertahap merajut kekuasaannya. Hanya dari anggaran kehumasan saja seorang kepala daerah memiliki dana yang besar untuk publikasi.
Jangan heran apabila di banyak daerah aktivitas-aktivitas kepala daerah yang diliput media dalam bentuk advertorial. Belum lagi kegiatan-kegiatan yang bersifat massal, itu mampu menjangkau lapisan masyarakat luas. Ada di antara kepala daerah yang memanfaatkan dana bantuan sosial untuk tujuan-tujuan politik, walaupun mungkin secara terselubung dan terkadang luput dari perhatian publik. Kepala daerah mampu menciptakan simpul- simpul masyarakat menjadi bergantung kepadanya.
Larangan Politik Dinasti
Muncul istilah politik dinasti untuk menggambarkan kecenderungan kepala daerah petahana menjadikan keluarga terdekatnya sebagai kepala daerah berikutnya. Terkadang kepala daerah pengganti adalah anak/istri/menantu atau keluarga terdekat lainnya. Terkadang bukan karena kandidat pengganti adalah orang-orang yang mumpuni, tetapi karena keikutsertaan kepala daerah petahana dalam proses pencalonan untuk menyukseskan jagonya.
Para pembuat undang-undang menyadari benar kemungkinan terbentuknya politik dinasti dengan alasan sebagaimana diuraikan sebelumnya. Pada saat itu ada fakta bahwa kecenderungan pembangunan politik dinasti semakin menguat di berbagai daerah di Indonesia.
Bahkan ada kepala daerah mencalonkan istri keduanya sebagai kandidat berikut dan itu sangat tidak sehat dalam negara yang tengah gencarnya memberantas KKN dalam berbagai bentuknya. Itu sebabnya lahir Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Pasal 7 (r) undang-undang tersebut menegaskan bahwa warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Ketentuan ini menjadi rancu ketika KPU mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 302/ KPU/VI/2015 tentang penjelasan beberapa aturan dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2015 tertanggal 12 Juni.
Kehadiran surat edaran ini telah membuka peluang bagi keluarga petahana maju pada pilkada serentak, 9 Desember nanti. Syaratnya, harus mengundurkan diri sebelum pendaftaran pasangan calon, 26-28 Juli nanti. Akibatnya ”ramai-ramailah” kepala daerah mengundurkan diri untuk memuluskan kerabatnya mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Peta politik di daerah terkait politik dinasti ”berubah total” setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menerbitkan putusannya terkait dengan perdebatan larangan keluarga petahana ikut maju dalam pilkada. MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang- Undang Nomor 8/2015.
Mahkamah menilai, aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana telah melanggar konstitusi. Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa idealnya suatu demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik.
Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara. Hakim menilai, Pasal 7 (r) UU Pilkada mengandung muatan diskriminasi. Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undangundang, di mana pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana.
Mereduksi Politik Dinasti
Dalam tataran praktik, tidak ada mekanisme untuk melakukan perlawanan terhadap putusan MK. Semua lembaga terkait tidak memiliki pilihan lain kecuali melaksanakan putusan MK tersebut. KPU dan Bawaslu harus melakukan berbagai penyesuaian dalam rangka melaksanakan putusan MK ini.
Perdebatan soal pro dan kontra terhadap isu larangan keluarga petahana mencalonkan diri ini mestinya juga berakhir. Namun, harus juga dimengerti bahwa hakikat dari pelarangan politik dinasti itu agar demokrasi di negeri ini ”sehat walafiat”, bukan demokrasi yang bersifat formal semata.
Jika alasan diperbolehkannya keluarga petahana maju dalam pilkada dengan meniru negara semacam Amerika Serikat yang juga melakoninya, tentu agak kurang pas cara membandingkannya. Demokrasi di AS dan latar belakang masyarakatnya tentu sangat berbeda dengan realitas yang ada pada praktik demokrasi dan realitas masyarakat Indonesia.
Karena itu, harus dicarikan upaya untuk mereduksi politik dinasti dalam pilkada setelah diterbitkannya putusan MK yang membatalkan Pasal 7 (r) Undang-Undang Nomor 8/ 2015. Di antara upaya tersebut dengan menerbitkan berbagai ketentuan baik oleh KPU maupun Bawaslu ataupun lembaga-lembaga berkompeten lain untuk menahan keterlibatan petahana dalam tahapan-tahapan pilkada.
Harus ada ketentuan yang membatasi petahana menggunakan berbagai jalur birokrasi untuk membantu kerabatnya memenangkan pemilihan. Memang kesulitannya karena secara formal sang petahana mungkin tidak menjabat lagi saat pemilihan dilangsungkan, namun faktanya masih sangat rentan penggunaan jalur birokrasi dalam proses pilkada tersebut.
Tidak kalah pentingnya adalah penggunaan dana oleh petahana untuk memenangkan kerabatnya. Banyak yang meyakini bahwa pilkada bukan soal kualitas kandidat, tetapi terkait erat dengan kemampuan finansial. Semakin besar dana yang dimiliki semakin tinggi kemungkinan untuk terpilih. Memang ada di antara kandidat yang bermodalkan semangat dan kredibilitas semata, namun itu golongan minoritas.
Faktanya, mayoritas pemenang adalah mereka yang memiliki dana sangat besar yang terkadang di luar nalar manusia biasa. Politik dinasti di daerah tidak selalu menjelma dalam bentuk pencalonan kerabat yang memiliki hubungan darah/kekerabatan dengan petahana.
Ada juga petahana yang mencalonkan ”orangnya” yang sama sekali bukan kerabatnya, sebagai pengganti dan bersedia mengeluarkan semua daya/dana yang ada padanya. Secara yuridis sulit menjangkau dan mencegah praktik seperti ini yang mungkin tidak banyak terjadi di negara lain.
Banyak yang berharap bahwa kontrol terhadap mengguritanya politik dinasti di daerah itu dilakukan oleh partai politik. Parpol diharapkan tidak mengusung calon yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana. Persoalannya justru di banyak daerah pimpinan partai politik itu dirangkap oleh kepala daerah. Biasanya justru pemimpin parpol memberikan prioritas terhadap kerabatnya untuk mencalonkan diri.
Ada benarnya bahwa jangan pula seseorang ”menjadi bersalah” karena ada hubungan kekerabatan dengan petahana. Dengan status itu seolah-olah hakhak mereka menjadi dibatasi. Mencalonkan diri dalam pilkada itu hak asasi setiap orang yang dilindungi oleh konstitusi negara demokrasi.
Namun, realitasnya demokrasi kita yang masih seumur jagung dengan berbagai kompleksitas masyarakatnya tidak bisa dipaksa melompat setara dengan demokrasi di Amerika Serikat. Demokrasi kita masih kental dengan praktik politik uang baik oleh para kandidat maupun oleh para pemilih yang pamrih. Agaknya benteng terakhir kini tinggal KPU dan Bawaslu dengan kewenangan yang ada pada mereka untuk mereduksi politik dinasti.
(bbg)