Bahaya Kesenjangan Pembangunan
A
A
A
ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM dan
Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi,
UNAND
Film dokumenter RossKemp dengan konteks sebelum Piala Dunia 2014 telah memperlihatkan bagaimana bahayanya ketimpangan hasil pembangunan di negara sekelas Brasil satu dari tujuh negara terkaya di dunia.
Persoalan yang menyelimuti Brasil adalah ketimpangan hasil-hasil pembangunan. Kelompok rumah tangga miskin telah menyisakan fenomena sosial yang bertolak belakang dengan kelompok kaya jetset, mereka samasama berasal dari negara bola gaya Samba itu. Di Kota Rio de Janeiro saja telah ditemukan persoalan sosial yang sangat kompleks. Munculnya kawasan perkampungan kumuh didiami oleh jaringan kejahatan gengster.
Peredaran obat bius, bahkan konsumsi obat bius tertinggi di daerah-daerah perkampungan kumuh pinggiran, yang di sebelahnya berdiri gedung- gedung mewah pencakar langit yang indah. Ini memberi isyarat kepada kita begitu bahayanya ketimpangan pembangunan bila dibiarkan. Dampak sosialnya semakin meruyak dan menimbulkan biaya tinggi. Sulit untuk memperbaiki ketika masalah ketimpangan pembangunan ini tidak dijadikan sebagai salah satu target untuk diperbaiki.
Kontroversi Ketimpangan
Itu pula yang kita khawatirkan, ketika Indonesia pada tahun 1996 dengan angka rasio gini pada kisaran 0,35. Tahun 2013 ini angka rasio gini sudah mencapai lebih dari 0,41. Berarti, selama 17 tahun pembangunan indeks ketimpangan pembangunan meningkat sebesar 0,6 poin. Tentunya tahun 2030, tanpa adanya pencegahan ketimpangan pembangunan, bisa jadi kondisi ketimpangan di Indonesia akan lebih buruk dibandingkan yang terjadi di Brasil.
Tidak saja pada tingkatan Indonesia secara menyeluruh, tanda-tanda ketimpangan pembangunan yang cukup tinggi telah terjadi di provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Papua. Daerah-daerah tujuan wisata seperti Bali, Yogyakarta, DKI, Jawa Barat, Sulawesi Utara, angka indeks gini-nya sudah di atas rata-rata nasional.
Di Bangka Belitung dan Maluku Utara ketimpangan pendapatan masih dapat dipertahankan lebih baik dibandingkan provinsi- provinsi lain. Dulu, pada awal tahun 1960- an, Mahbul Ul-Haq mempertanyakan bahaya pertumbuhan ekonomi karena capaian pertumbuhan ekonomi tidak diiringi perbaikan distribusi pendapatan. Dengan kenyataan yang ada pada pola pembangunan Indonesia, bukan pertumbuhan ekonomi saja yang menyebabkan ketimpangan.
Pembangunan manusia pun tidak mengurangi ketimpangan pembangunan, namun sebaliknya. Kita mengetahui bahwa provinsi-provinsi seperti DKI, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara adalah provinsi dengan capaian Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) termasuk lima terbaik di Indonesia dibandingkan capaian IPM daerah lain. Secara singkat, temuan ini memperlihatkan bahwa capaian pembangunan manusia tidak selalu dapat memperbaiki ketimpangan penghasilan.
Bisa dimengerti mengingat komponen pembangunan manusia dengan IPM sebagai salah satu capaian pembangunan hanya memenuhi target minimum, baik dalam capaian indikator kesehatan, indikator pendidikan, dan daya beli masyarakat. Program-program “buatan” pemerintah pusat yang dapat memperbaiki capaian pembangunan manusia, tidak menjamin capaian itu membuat terangkatnya kelompok rumah tangga 40% termiskin.
Data pertumbuhan konsumsi yang cukup menarik ditemukan bahwa hampir tidak terdapat peningkatan konsumsi pada kelompok penduduk 40% terendah karena laju pertumbuhan konsumsi mereka pada kisaran 1-2% rata-rata per tahun. Sebaliknya, pada kelompok 80% penghasilan tertinggi atau lebih, laju pertumbuhan konsumsi mereka mencapai 8-11%.
Sebuah pendekatan life cycle yang diajukan oleh Luiz Fernandez dari Bank Dunia, mencobamenghitungadaapadengan kelompok termiskin (kelompok penghasilan 20% terendah). Mereka dilihat dalam hal capaian akses pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Khusus untuk capaian akses pendidikan, hanya 2% dari anak-anak yang berasal dari keluarga miskin yang sampai pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi.
Tersedia pun beasiswa miskin untuk mereka tidak akan terpakai, karena mereka sudah lebih dulu berhenti pada jenjang pendidikan menengah. Pada kelompok termiskin anak-anak berusia sekolah cepat ke luar sistem pendidikan, kemudian mereka menjadi idle, atau menganggur, atau masuk ke pasar kerja dengan upah rendah. Kalaupun mereka bertahan di sekolah, kemajuan membaca, reading skills, kemajuan capaian matematika, serta penguasaan sains dasar, jauh tertinggal dari anak-anak yang berasal dari kelompok terkaya.
Memastikan Terjangkau
Ke depan akan semakin banyak keluhan ketimpangan pembangunan. Maka kesadaran akan pembangunan diwujudkan dengan membangun dari pinggir. Katakan apa yang terjadi pada Indonesia bagian timur, yang angka kemiskinannya masih tinggi, justru pengalaman pembangunan telah membuat celah antara kaya dan miskin tetap semakin tinggi. Efek ikutannya jelas, kelompok anak-anak miskin cepat keluar dalam sistem pendidikan.
Mereka ini akan cepat dikawinkan oleh orang tua mereka, serta kawin sesama dengan keluarga miskin pula. Mereka berpenghasilan rendah, menganggur, atau menjadi pemuda yang idle. Bayangkan jika mereka yang menganggur dan idle dibiarkan, maka mereka justru menjadi beban pembangunan. Efek sosial lain adalah kelompok ini lebih mudah untuk membuat keresahan, kejahatan, begal, dan bentuk kejahatan lain di tengah masyarakat.
Apalagi kalau dilihat ancaman yang mengkhawatirkan akan peredaran narkoba, serta efek ikutan dari peredaran narkoba itu. Bukan tidak mungkin kantong-kantong permukiman kumuh tidak saja di Ibu Kota, namun daerah-daerah di mana ketimpangan pembangunan yang tinggi juga akan diikuti oleh ilustrasi yang terjadi di Brasil.
Yang bisa dilakukan adalah menjamin kelompok termiskin untuk tidak saja capaian investasi minimum untuk mereka, namun investasi agar mereka memperoleh layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang semakin bermutu. Kelak, dengan begitu, mereka akan semakin memiliki daya saing yang semakin baik untuk hidup dan berjuang.
Profesor Ekonomi SDM dan
Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi,
UNAND
Film dokumenter RossKemp dengan konteks sebelum Piala Dunia 2014 telah memperlihatkan bagaimana bahayanya ketimpangan hasil pembangunan di negara sekelas Brasil satu dari tujuh negara terkaya di dunia.
Persoalan yang menyelimuti Brasil adalah ketimpangan hasil-hasil pembangunan. Kelompok rumah tangga miskin telah menyisakan fenomena sosial yang bertolak belakang dengan kelompok kaya jetset, mereka samasama berasal dari negara bola gaya Samba itu. Di Kota Rio de Janeiro saja telah ditemukan persoalan sosial yang sangat kompleks. Munculnya kawasan perkampungan kumuh didiami oleh jaringan kejahatan gengster.
Peredaran obat bius, bahkan konsumsi obat bius tertinggi di daerah-daerah perkampungan kumuh pinggiran, yang di sebelahnya berdiri gedung- gedung mewah pencakar langit yang indah. Ini memberi isyarat kepada kita begitu bahayanya ketimpangan pembangunan bila dibiarkan. Dampak sosialnya semakin meruyak dan menimbulkan biaya tinggi. Sulit untuk memperbaiki ketika masalah ketimpangan pembangunan ini tidak dijadikan sebagai salah satu target untuk diperbaiki.
Kontroversi Ketimpangan
Itu pula yang kita khawatirkan, ketika Indonesia pada tahun 1996 dengan angka rasio gini pada kisaran 0,35. Tahun 2013 ini angka rasio gini sudah mencapai lebih dari 0,41. Berarti, selama 17 tahun pembangunan indeks ketimpangan pembangunan meningkat sebesar 0,6 poin. Tentunya tahun 2030, tanpa adanya pencegahan ketimpangan pembangunan, bisa jadi kondisi ketimpangan di Indonesia akan lebih buruk dibandingkan yang terjadi di Brasil.
Tidak saja pada tingkatan Indonesia secara menyeluruh, tanda-tanda ketimpangan pembangunan yang cukup tinggi telah terjadi di provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Papua. Daerah-daerah tujuan wisata seperti Bali, Yogyakarta, DKI, Jawa Barat, Sulawesi Utara, angka indeks gini-nya sudah di atas rata-rata nasional.
Di Bangka Belitung dan Maluku Utara ketimpangan pendapatan masih dapat dipertahankan lebih baik dibandingkan provinsi- provinsi lain. Dulu, pada awal tahun 1960- an, Mahbul Ul-Haq mempertanyakan bahaya pertumbuhan ekonomi karena capaian pertumbuhan ekonomi tidak diiringi perbaikan distribusi pendapatan. Dengan kenyataan yang ada pada pola pembangunan Indonesia, bukan pertumbuhan ekonomi saja yang menyebabkan ketimpangan.
Pembangunan manusia pun tidak mengurangi ketimpangan pembangunan, namun sebaliknya. Kita mengetahui bahwa provinsi-provinsi seperti DKI, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara adalah provinsi dengan capaian Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) termasuk lima terbaik di Indonesia dibandingkan capaian IPM daerah lain. Secara singkat, temuan ini memperlihatkan bahwa capaian pembangunan manusia tidak selalu dapat memperbaiki ketimpangan penghasilan.
Bisa dimengerti mengingat komponen pembangunan manusia dengan IPM sebagai salah satu capaian pembangunan hanya memenuhi target minimum, baik dalam capaian indikator kesehatan, indikator pendidikan, dan daya beli masyarakat. Program-program “buatan” pemerintah pusat yang dapat memperbaiki capaian pembangunan manusia, tidak menjamin capaian itu membuat terangkatnya kelompok rumah tangga 40% termiskin.
Data pertumbuhan konsumsi yang cukup menarik ditemukan bahwa hampir tidak terdapat peningkatan konsumsi pada kelompok penduduk 40% terendah karena laju pertumbuhan konsumsi mereka pada kisaran 1-2% rata-rata per tahun. Sebaliknya, pada kelompok 80% penghasilan tertinggi atau lebih, laju pertumbuhan konsumsi mereka mencapai 8-11%.
Sebuah pendekatan life cycle yang diajukan oleh Luiz Fernandez dari Bank Dunia, mencobamenghitungadaapadengan kelompok termiskin (kelompok penghasilan 20% terendah). Mereka dilihat dalam hal capaian akses pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Khusus untuk capaian akses pendidikan, hanya 2% dari anak-anak yang berasal dari keluarga miskin yang sampai pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi.
Tersedia pun beasiswa miskin untuk mereka tidak akan terpakai, karena mereka sudah lebih dulu berhenti pada jenjang pendidikan menengah. Pada kelompok termiskin anak-anak berusia sekolah cepat ke luar sistem pendidikan, kemudian mereka menjadi idle, atau menganggur, atau masuk ke pasar kerja dengan upah rendah. Kalaupun mereka bertahan di sekolah, kemajuan membaca, reading skills, kemajuan capaian matematika, serta penguasaan sains dasar, jauh tertinggal dari anak-anak yang berasal dari kelompok terkaya.
Memastikan Terjangkau
Ke depan akan semakin banyak keluhan ketimpangan pembangunan. Maka kesadaran akan pembangunan diwujudkan dengan membangun dari pinggir. Katakan apa yang terjadi pada Indonesia bagian timur, yang angka kemiskinannya masih tinggi, justru pengalaman pembangunan telah membuat celah antara kaya dan miskin tetap semakin tinggi. Efek ikutannya jelas, kelompok anak-anak miskin cepat keluar dalam sistem pendidikan.
Mereka ini akan cepat dikawinkan oleh orang tua mereka, serta kawin sesama dengan keluarga miskin pula. Mereka berpenghasilan rendah, menganggur, atau menjadi pemuda yang idle. Bayangkan jika mereka yang menganggur dan idle dibiarkan, maka mereka justru menjadi beban pembangunan. Efek sosial lain adalah kelompok ini lebih mudah untuk membuat keresahan, kejahatan, begal, dan bentuk kejahatan lain di tengah masyarakat.
Apalagi kalau dilihat ancaman yang mengkhawatirkan akan peredaran narkoba, serta efek ikutan dari peredaran narkoba itu. Bukan tidak mungkin kantong-kantong permukiman kumuh tidak saja di Ibu Kota, namun daerah-daerah di mana ketimpangan pembangunan yang tinggi juga akan diikuti oleh ilustrasi yang terjadi di Brasil.
Yang bisa dilakukan adalah menjamin kelompok termiskin untuk tidak saja capaian investasi minimum untuk mereka, namun investasi agar mereka memperoleh layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang semakin bermutu. Kelak, dengan begitu, mereka akan semakin memiliki daya saing yang semakin baik untuk hidup dan berjuang.
(bbg)