Jalan Tengah Konflik Golkar
A
A
A
Dr Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Dualisme kepengurusan di Partai Golkar masih belum berakhir. Kedua kubu yang berseteru, yakni kepengurusan versi Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie dan versi Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono masih bertarung habis-habisan di pengadilan.
Proses hukumnya sudah di tahap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang memenangkan kubu Munas Jakarta. Para hakim PTTUN mengadili dan membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 62/G/2015/ PTUN-JKT tanggal 18 Mei 2015, yang meminta pembatalan SK Kemenkumham atas kepengurusan Agung Laksono.
Putusan itu diambil dalam rapat permusyawaratan majelis hakim PTTUN Jakarta, Senin 6 Juli 2015, dan dibacakan pada Jumat 10 Juli 2015. Selesaikah masalah? Tidak tentunya, karena kubu ARB menempuh kasasi ke Mahkamah Agung. Artinya, masih butuh waktu cukup panjang untuk menunggu keputusan berkekuatan hukum tetap agar ada kepastian kepengurusan versi siapa yang menurut hukum sah.
Kuadran Kolaborasi
Di tengah konflik, Golkar tetaplah Golkar. Mereka memiliki banyak politisi yang terbiasa dalam situasi konflik. Salah satunya adalah Jusuf Kalla yang “turun gunung” menjadi mediator sekaligus rekonsiliator para elite Golkar kedua kubu. JK mendorong dua kubu untuk mengubah kuadran negosiasi dari dominasi ke kolaborasi dan akomodasi.
Proses bermula pada 30 Mei lalu, JK memfasilitasi penjajakan adanya kesepakatan kedua kubu. Kedua pihak bersepakat persoalan hukum tetap berjalan sementara guna menghadapi pilkada, ditempuh jalan tengah yakni islah terbatas dalam penjaringan dan pencalonan kandidat Golkar di pilkada serentak. Adaempat butirislahterbatas yangditandatanganikedua kubu pada Sabtu (11/7).
Pertama, tim penjaringan yang dibentuk bekerja sama menetapkan caloncalon kepala daerah. Kedua, jika kedua kubu memiliki calon yang berbeda dan tidak bisa disatukan secara musyawarah, dilaksanakan survei atau cara demokratis lain yang disetujui bersama. Yang paling tinggi suaranya kemudian ditetapkan sebagai calon yang disetujui.
Ketiga, pengurus mulai DPP hingga DPD II mengajukan surat pendaftaran secara terpisah dengan satu pasang calon yang sama. Tim bersama akan ke KPU atau KPUD setelah mendapatkan penetapan dari tim penjaringan tingkat pusat. Keempat, menyepakati status kedua pengurus akan tetap berjalan hingga adanya keputusan pengadilan bersifat tetap atau dicapai islah penuh. Jika kita maknai dalam perspektif komunikasi politik, JK dan elite Golkar sedang menempuh jalan tengah, yakni menunda penggunaan kuadran dominasi (menang-kalah) ke kuadran kolaborasi (menangmenang).
Kesepakatan dan pembentukan tim bersama juga bisa menjadi prakondisi jika ada situasi tak mengenakan di salah satu kubu akibat kalah di pengadilan dengan putusan berkekuatan hukum tetap. Kuadran akomodasi (kalahmenang) bisa berjalan dengan harapan ada upaya merangkul pihak yang kalah untuk tetap berada di Golkar. Risiko parpol yang berkonflik, berpeluang adanya kelompok penyimpang karena kecewa tak lagi terakomodir.
Problematis
Anthony Giddens pernah mencetuskan Adaptive Structuration Theory (1970), yang mendeskripsikan bahwa organisasi sesungguhnya diproduksi, direproduksi dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan sosial.
Aturan dibuat dan berfungsi sebagai perilaku anggotanya. Para pengurus Golkar sebagai agen atau pelaku dalam krisis internal, butuh refleksivitas atau semacam kemampuan memonitor perilaku politiknya dalam butir-butir kesepakatan yang menjadi jalan tengah konflik di antara mereka. Kesepakatan politik kedua kubu ini masih problematis dalam konteks implementasinya.
Pertama, masalah saat melakukan penjaringan kandidat kepala daerah. Jika kebetulan calon yang diajukan sama dari kedua kubu, mungkin tak lahir masalah. Terbayang, jika kandidat yang mau diusung berbeda, pengondisian suasana psikopolitik tentu sangat tidak mudah. Iya memang bisa diatasi dengan melakukan survei, siapa kandidat yang lebih bagus. Sangat mungkin muncul kecemburuan salah satu kubu jika deretan nama kandidat jagoannya sedikit yang menang.
Kedua, selaras dengan cara pandang Giddens tadi soal aturan dibuat dan berfungsi sebagai perilaku anggotanya, mampukah Golkar menjadikan kesepakatan jalan tengah ini dalam prilaku para elite terutama untuk mengurai konflik. Suasana tak kondusif karena konflik internal berlarutlarut menyebabkan Golkar terbelah hingga daerah.
Pekerjaan rumahnya setelah ada kesepakatan adalah konsolidasi internal partai dari struktur partai pa-ling atas hingga paling daerah. Pilkada serentak sudah dekat, kepengurusan di daerah pun memandang aspek kejelasan untuk mengurangi ketidakpastian.
Bukan sematamata bersepakat, melainkan ada pola bersama untuk mengatasi kekecewaan pengurus di daerah dan basis pemilih yang selama ini menjadi kantongkantong kemenangan Golkar. Ketiga, islah di tubuh Golkar baru sebatas islah terbatas.
Diasumsikan tim bersama penjaringan kandidat sudah bekerja optimaldanbisasaja Golkarlolos dari lubang jarum tahap pendaftaran pilkada serentak. Namun demikian, konstelasi bisa saja berubah saat putusan kasasi MA nanti. Diprediksi vonis putusan tingkat kasasi kalau normal kemungkinan September atau Oktober.
Artinya, sudah dekat dengan masa penyelenggaraan pilkada. Masalah akan muncul jika terjadi relasi antagonistis yang memercik di antara kedua kubu. Akankah mereka bisa kompak dalam menghadapi persaingan antarpartai. Salah satu kekuatan Golkar sesungguhnya ada pada pengalaman dan penguasaan teritorial.
Secara kelembagaan maupunperseorangan, Golkarsangat berpengalaman memenangi sejumlah pilkada di banyak daerah. Masalah besar jika Golkar gagal ikut pilkada serentak. Jikapun ikut pilkada serentak, para elite Golkar berpotensi menjadi pelengkap penderita.
Idealnya semua pihak yang beperkara di PTUN, PTTUN hingga MA, harus berjiwa besar untuk menerima apa pun hasil pengadilan. Komunika s i politik sangat berperan penting dalam islah terbatas Golkar. Harus ada kesepahaman, persetujuan, dan menghormati pihaklawan. KesepakatanGolkar untuk menempuh jalan tengah seperti ini bagaimanapun lebih bagus dibandingkan PPP.
Hingga sekarang, PPP belum menempuh mekanisme islah yang serius dengan melibatkan sosok dihormati sebagai mediator atau rekonsiliator. Masing-masing pihak saling menegasikan dan lebih fokus pada hasil peng-adilan. Saatnya Golkar menunjukkan kapasitasnya dalam penyelesaian konflik internal yang mendera mereka.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Dualisme kepengurusan di Partai Golkar masih belum berakhir. Kedua kubu yang berseteru, yakni kepengurusan versi Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie dan versi Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono masih bertarung habis-habisan di pengadilan.
Proses hukumnya sudah di tahap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang memenangkan kubu Munas Jakarta. Para hakim PTTUN mengadili dan membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 62/G/2015/ PTUN-JKT tanggal 18 Mei 2015, yang meminta pembatalan SK Kemenkumham atas kepengurusan Agung Laksono.
Putusan itu diambil dalam rapat permusyawaratan majelis hakim PTTUN Jakarta, Senin 6 Juli 2015, dan dibacakan pada Jumat 10 Juli 2015. Selesaikah masalah? Tidak tentunya, karena kubu ARB menempuh kasasi ke Mahkamah Agung. Artinya, masih butuh waktu cukup panjang untuk menunggu keputusan berkekuatan hukum tetap agar ada kepastian kepengurusan versi siapa yang menurut hukum sah.
Kuadran Kolaborasi
Di tengah konflik, Golkar tetaplah Golkar. Mereka memiliki banyak politisi yang terbiasa dalam situasi konflik. Salah satunya adalah Jusuf Kalla yang “turun gunung” menjadi mediator sekaligus rekonsiliator para elite Golkar kedua kubu. JK mendorong dua kubu untuk mengubah kuadran negosiasi dari dominasi ke kolaborasi dan akomodasi.
Proses bermula pada 30 Mei lalu, JK memfasilitasi penjajakan adanya kesepakatan kedua kubu. Kedua pihak bersepakat persoalan hukum tetap berjalan sementara guna menghadapi pilkada, ditempuh jalan tengah yakni islah terbatas dalam penjaringan dan pencalonan kandidat Golkar di pilkada serentak. Adaempat butirislahterbatas yangditandatanganikedua kubu pada Sabtu (11/7).
Pertama, tim penjaringan yang dibentuk bekerja sama menetapkan caloncalon kepala daerah. Kedua, jika kedua kubu memiliki calon yang berbeda dan tidak bisa disatukan secara musyawarah, dilaksanakan survei atau cara demokratis lain yang disetujui bersama. Yang paling tinggi suaranya kemudian ditetapkan sebagai calon yang disetujui.
Ketiga, pengurus mulai DPP hingga DPD II mengajukan surat pendaftaran secara terpisah dengan satu pasang calon yang sama. Tim bersama akan ke KPU atau KPUD setelah mendapatkan penetapan dari tim penjaringan tingkat pusat. Keempat, menyepakati status kedua pengurus akan tetap berjalan hingga adanya keputusan pengadilan bersifat tetap atau dicapai islah penuh. Jika kita maknai dalam perspektif komunikasi politik, JK dan elite Golkar sedang menempuh jalan tengah, yakni menunda penggunaan kuadran dominasi (menang-kalah) ke kuadran kolaborasi (menangmenang).
Kesepakatan dan pembentukan tim bersama juga bisa menjadi prakondisi jika ada situasi tak mengenakan di salah satu kubu akibat kalah di pengadilan dengan putusan berkekuatan hukum tetap. Kuadran akomodasi (kalahmenang) bisa berjalan dengan harapan ada upaya merangkul pihak yang kalah untuk tetap berada di Golkar. Risiko parpol yang berkonflik, berpeluang adanya kelompok penyimpang karena kecewa tak lagi terakomodir.
Problematis
Anthony Giddens pernah mencetuskan Adaptive Structuration Theory (1970), yang mendeskripsikan bahwa organisasi sesungguhnya diproduksi, direproduksi dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan sosial.
Aturan dibuat dan berfungsi sebagai perilaku anggotanya. Para pengurus Golkar sebagai agen atau pelaku dalam krisis internal, butuh refleksivitas atau semacam kemampuan memonitor perilaku politiknya dalam butir-butir kesepakatan yang menjadi jalan tengah konflik di antara mereka. Kesepakatan politik kedua kubu ini masih problematis dalam konteks implementasinya.
Pertama, masalah saat melakukan penjaringan kandidat kepala daerah. Jika kebetulan calon yang diajukan sama dari kedua kubu, mungkin tak lahir masalah. Terbayang, jika kandidat yang mau diusung berbeda, pengondisian suasana psikopolitik tentu sangat tidak mudah. Iya memang bisa diatasi dengan melakukan survei, siapa kandidat yang lebih bagus. Sangat mungkin muncul kecemburuan salah satu kubu jika deretan nama kandidat jagoannya sedikit yang menang.
Kedua, selaras dengan cara pandang Giddens tadi soal aturan dibuat dan berfungsi sebagai perilaku anggotanya, mampukah Golkar menjadikan kesepakatan jalan tengah ini dalam prilaku para elite terutama untuk mengurai konflik. Suasana tak kondusif karena konflik internal berlarutlarut menyebabkan Golkar terbelah hingga daerah.
Pekerjaan rumahnya setelah ada kesepakatan adalah konsolidasi internal partai dari struktur partai pa-ling atas hingga paling daerah. Pilkada serentak sudah dekat, kepengurusan di daerah pun memandang aspek kejelasan untuk mengurangi ketidakpastian.
Bukan sematamata bersepakat, melainkan ada pola bersama untuk mengatasi kekecewaan pengurus di daerah dan basis pemilih yang selama ini menjadi kantongkantong kemenangan Golkar. Ketiga, islah di tubuh Golkar baru sebatas islah terbatas.
Diasumsikan tim bersama penjaringan kandidat sudah bekerja optimaldanbisasaja Golkarlolos dari lubang jarum tahap pendaftaran pilkada serentak. Namun demikian, konstelasi bisa saja berubah saat putusan kasasi MA nanti. Diprediksi vonis putusan tingkat kasasi kalau normal kemungkinan September atau Oktober.
Artinya, sudah dekat dengan masa penyelenggaraan pilkada. Masalah akan muncul jika terjadi relasi antagonistis yang memercik di antara kedua kubu. Akankah mereka bisa kompak dalam menghadapi persaingan antarpartai. Salah satu kekuatan Golkar sesungguhnya ada pada pengalaman dan penguasaan teritorial.
Secara kelembagaan maupunperseorangan, Golkarsangat berpengalaman memenangi sejumlah pilkada di banyak daerah. Masalah besar jika Golkar gagal ikut pilkada serentak. Jikapun ikut pilkada serentak, para elite Golkar berpotensi menjadi pelengkap penderita.
Idealnya semua pihak yang beperkara di PTUN, PTTUN hingga MA, harus berjiwa besar untuk menerima apa pun hasil pengadilan. Komunika s i politik sangat berperan penting dalam islah terbatas Golkar. Harus ada kesepahaman, persetujuan, dan menghormati pihaklawan. KesepakatanGolkar untuk menempuh jalan tengah seperti ini bagaimanapun lebih bagus dibandingkan PPP.
Hingga sekarang, PPP belum menempuh mekanisme islah yang serius dengan melibatkan sosok dihormati sebagai mediator atau rekonsiliator. Masing-masing pihak saling menegasikan dan lebih fokus pada hasil peng-adilan. Saatnya Golkar menunjukkan kapasitasnya dalam penyelesaian konflik internal yang mendera mereka.
(ars)