Kokohkan Dinasti, Cacat Negarawan MK

Selasa, 14 Juli 2015 - 10:44 WIB
Kokohkan Dinasti, Cacat...
Kokohkan Dinasti, Cacat Negarawan MK
A A A
Laode Ida
Sosiolog, Pengajar di Jurusan Sosiologi UNJ, Wakil Ketua DPD RI 2004-2014, Anggota Komisi Konstitusi 2003-2004

Tulisan Prof Mahfud MD yang berjudul “Politik DinastiKotor, tapi MK benar“ (KORANSINDO, 11/7/2015, hal. 1) sangat merangsang untuk didiskusikan. Alur pikir dalam deskripsi-analitisnya terkonstruksi secara tajam dan runtun, sebuah elaborasi yang clear berdasarkan perspektif hukum.

Sebagai ahli hukum tata negara, apalagi mantan ketua MK, tentu beliau sudah melumat seluruh isi konstitusi dengan berbagai problematika implementasinya, sehingga argumen pembenarannya terhadap putusan yang membatalkan Pasal 7 huruf r UU No 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) seperti tanpa cacat saja.

Menariknya, menurut keyakinan Mahfud MD, ketika memproses dan selanjutnya mengabulkan gugatan Siti Saleha Duka, warga Provinsi Sulawesi Barat yang merupakan kakak kandung Bupati Mamuju Suhardi Duka yang akan maju pilkada (Desember nanti) dengan harapan bisa menggantikan saudara kandungnya, seperti berada dalam situasi dilematis. Mereka bukan tidak menyadari bahwa politik dinasti itu merusak, namun karena anjuran UUD 1945 yang menjamin hak “setiap orang” warga negara untuk menjadi calon kepala daerah, maka MK tak boleh melarangnya.

Dalam kaitan itu, Mahfud MD memberikan penegasan: “Akan berbahayalah bagi perlindungan konstitusional Akan berbahayalah bagi perlindungan konstitusional setiap orangsetiap orang warga negara jika MK membiarkan pelarangan pencalonan hanya karena warga negara jika MK membiarkan pelarangan pencalonan hanya karena seseorang seseorang itu adalah keluarga petahana“.

Pernyataan ini mengandung makna bahwa jika penyelenggaraan pemerintahan daerah kotor dan rusak akibat praktik politik dinasti di mana sejumlah kasusnya juga sudah kerap di bawah di MK, ternyata merupakan “kesalahan UUD 1945”. Nurani dari kalbu terdalam pribadi-pribadi para hakim konstitusi itu “terkalahkan demi penegakan konstitusi”.

Jika para hakim MK hanya berdasarkan argumen normatif seperti itu, sungguh sangat disayangkan. Setiap orang yang sudah pernah membaca teks konstitusi pun “bisa layak jadi hakim di MK”. Karena sudah ditahu oleh seluruh warga bangsa yang membaca konstitusi bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih, atau untuk menjadi pejabat politik.

Dan Pasal 7 huruf r UU tentang Pilkada itu sudah sangat jelas melanggar hak keluarga petahana yang berkeinginan mengambil alih kepemimpinan di daerah di mana keluarganya itu menjabat. Tetapi apakah para hakim MK hanya melakukan verifikasi teks-teks baku yang ada dalam suatu UU bertentangan atau tidak dengan teks-teks baku nan kaku yang ada dalam UUD 1945? Sejatinya tidak.

Putusan mereka harus berdasarkan pertimbangan yang mendalam, kalbu dan pikiran yang jernih dan matang, serta harus mempertimbangkan implikasinya yang jauh ke depan bagi kepentingan masyarakat luas dan perbaikan penyelenggaraan negara. Maka itulah untuk jadi anggota MK tidak mudah, bukan sekadar bermodalkan ijazah sarjana hukum, melainkan juga sebagai figur yang berwawasan kenegaraan yang luas.

Sembilan hakim MK itu dipilih melalui seleksi dalam persaingan yang ketat. Yang harus dicamkan adalah bahwa para hakim MK itu telah secara tertulis dalam UUD 1945 (hasil amandemen) memenuhi syarat sebagai “negarawan”, kecuali dua syarat lainnya, yakni bersikap adil dan memiliki integritas.

Istilah negarawan berarti orang yang ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan (KBBI). Tidak ada posisi pejabat negara di negeri ini yang resmi disyaratkan oleh konstitusi seperti para hakim MK itu.

Maka oleh karena itu, pikiran, tindakan dan kebijakan atau keputusan yang mereka ambil harus memenuhi syarat sebagai negarawan dan berkeadilan itu. Namun, apa yang terjadi pada putusan “penghapusan Pasal 7 huruf r UU No 8/2015” itu, justru menunjukkan derajat posisi “kenegarawanan” para hakim MK berada di bawah para politisi. Ini memang aneh.

Padahal biasanya para politisi itulah yang sulit diyakinkan, apalagi umumnya kepala daerah terkait langsung dengan parpol asal mereka masing-masing, sehingga seharusnya merekalah yang akan jadi penghambat utama ketika agenda pelarangan politik dinasti itu dimasukkan dalam undang-undang.

Perjuangan untuk memasukkan pasal itu tidak mudah dan sangat lama melalui perdebatan yang alot di mana substansi yang jadi pertimbangan putusan MK itu juga sudah dibahas panjang lebar dengan berbagai pakar yang berkompeten baik di DPR, DPD maupun di pihak pemerintah.

Pertimbangan utamanya adalah bagaimana agar demokrasi melalui pilkada berlangsung secara fair, berkeadilan, dan secara bertahap menjadikan pemerintahan baik dan bersih. Bahkan lebih dari itu, sebenarnya masih juga diperlukan bentuk operasional kebijakan pengelolaan pemerintahan di daerah yang terbebas dari unsur nepotisme. Tetapi begitulah faktanya.

“Para negarawan” justru menjadi pelanggeng (potensi) kejahatan dalam pengelolaan negara di tingkat daerah. Ini sungguh-sungguh di luar nalar sehat-normal, utamanya bagi pihak-pihak yang ingin melihat negara ini dikelola lebih baik. Ada dua catatan penting yang seharusnya dipertimbangkan oleh para hakim MK.

Pertama, berangkat dari keberadaan “negara” yang dianalogikan sebagai “tubuh manusia” yang harus hidup sehat. Misalnya saja, ada bagian tubuh dalam diri seorang manusia yang mengalami penyakit atau kerusakan organ, di mana dokter telah mendeteksi penyakitnya dan rekomendasikan agar segera diamputasi. Karena jika tidak maka akan merambah atau melumpuhkan bagian-bagian tubuh yang lain, bahkan mungkin sambil membawanya pada kematian (ajal).

Pembiaran bagian tubuh yang sudah mulai membusuk itulah sebagai analogi dari putusan pengukuhan politik dinasti oleh MK. Maka tidak heran kalau sebagian anggota Komisi II DPR bernada kesal terhadap putusan “para negarawan” itu, dengan menyatakan antara lain, “MK harus bertanggung jawab kalau praktik politik dinasti akan kian tumbuh subur di negeri ini“.

Maklum mereka yang terlibat dalam pergulatan panjang pembahasan RUU Pilkada, di mana berdasarkan fakta lapangan sudah mengarah pada kecenderungan bahwa pengelolaan daerah sudah makin terkonsentrasi pada kelompok-kelompok keluarga tertentu saja. Kita pun, dengan fenomena itu, membayangkan demikian set back -nya pengelolaan negara ini,dengan fenomena munculnya sistem feodalisme baru berwatak monarkis di tingkat lokal.

Konsentrasi kekuasaan di tingkat lokal yang hanya akan secara bergantian dijabat oleh keluarga dekat, ditambah dengan akumulasi materi yang terus akan berlimpah. Fakta lapangan yang bukan rahasia umum lagi memang menunjukkan pejabat kepala daerah yang terus saja memberi ruang besar pada barisan keluarganya dalam birokrasi, jabatan politik, maupun proyekproyek atau bisnis; yang semuanya bisa digunakan untuk membeli suara rakyat banyak agar bisa terpilih kembali (atau keluarganya terpilih) baik pada jabatan kepala daerah maupun jabatan-jabatan politik lain seperti anggota DPRD, DPD, atau DPR.

Pilkada serentak yang akan berlangsung pada Desember 2015 dan 2017 serta pileg dan pilpres 2019 nanti, akan bagian dari momentum pemapanan politik dinasti itu. Kedua, putusan para hakim MK sebenarnya juga bertentangan dengan hakikat keberadaannya yang harusnya “bersikap adil” (sebagai syarat konstitusi untuk jadi anggota MK). Dapat dipastikan bahwa putusan MK itu “tidak adil”.

Soalnya, hanya mempertimbangkan hak keluarga pejabat yang jika dihitung berdasarkan hubungan setingkat ke atas, ke bawah, dan kesamping, maka paling banyak jumlah mereka 50 orang dalam satu daerah. Sementara jumlah masyarakat di suatu daerah bisa ratusan ribu, jutaan, bahkan sampai puluhan juta orang, yang semuanya sudah pasti sangat sulit bersaing dengan keluarga petahana yang memiliki dukungan segalanya dari pejabat petahana.

Namun, itulah putusan yang dianggap bersifat final dan mengikat. Ini sekaligus merupakan tantangan jika ingin mewujudkan agenda perbaikan pemerintahan yang baik dan bersih. Mungkin juga perlu segera untuk lakukan amendemen UUD 1945 untuk bisa memastikan terhentinya praktik politik dinasti.

Padahal jika para hakim di MK menghayati posisinya sebagai negarawan yang adil, sebenarnya merekalah yang memberi semangat konstitusi yang hidup tanpa perlu melakukan amendemen.

(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0575 seconds (0.1#10.140)