Kebinekaan di Persimpangan Jalan?
A
A
A
Ahmad Fuad Fanani
Direktur Riset MAARIF Institute for Culture and Humanity, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam perjalanan Indonesia pasca-Reformasi selama lebih dari 17 tahun, ada beberapa capaian positif yang sudah dicapai oleh bangsa ini.
Di antaranya stabilitas keamanan nasional dan ekonomi yang terjaga, pendidikan yang semakin berkembang, dan kenaikan prestasi bangsa ini di dunia internasional. Namun, banyak pekerjaan rumah yang ditinggalkan dan belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah.
Persoalan itudiantaranya pemerataanhasil pembangunan yang sering menjadi problem serius antara pusat dan daerah, tingginya angka kemiskinan, belummeratanya pendidikan, dan konflik horizontal yang terjadi di beberapa daerah.
Sektarianisme yang Menguat
Dalam komitmen terhadap kebinekaan, pluralisme, toleransi, dan perlindungan terhadap minoritas, beberapa persoalan serius hingga hari ini juga masih terjadi. Penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, pengusiran terhadap jamaah Syiah, dan diskriminasi terhadap agama-agama lokal adalah di antara persoalan- persoalan krusial itu.
Banyak kelompok dan orang yang menganut paham keagamaan di luar mainstream dipinggirkan dan dikucilkandari masyarakat. Mereka dianggap sebagai bagian dari orang yang keluar dari agama resmi yang diakui negara dan pantas untuk mendapatkan hukuman yang setimpal.
Pelabelan sebagai yang sesat dan menyesatkan ini kadang dijustifikasi dengan fatwa yangkurangsensitifterhadapfakta historis, sosiologis, dan politik yang membentuk bangsa ini. Pengusiran dan tindakan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten adalah bukti bagaimana diskriminasi terhadap kaum minoritas masih terjadi.
Jamaah Ahmadiyah yang tinggal di asrama Transito di Nusa Tenggara Barat (NTB) juga difatwakan untuk tidak bisa mendapatkan zakat karena dianggap keluar dari Islam. Padahal, jamaah Ahmadiyah menyatakan bahwa mereka bagian resmi dari Islam dan Indonesia. Pengusiran komunitas Syiah di Sampangjugamenambahpotret buramnya toleransi pada sebagian masyarakat.
Syiah dianggap keluar dari Islam dan bukan bagian dari Islam. Banyak ulama ortodoks yang mengatakan bahwa lebih baik menerima kelompok Islam yang sering melalukan kekerasan dibandingkan menerima Syiah. Sebagian aparat kepolisian dan negara pun, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Sidney Jones (2013), tampak lebih senang bekerja sama dengan organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI) dibandingkan berdiri di atas semua golongan dan melindungi semua warga.
Hal ini tampak ketika ada pimpinan dari Polri yang mendatangi acara FPI dan ada juga aparat negara yang menyatakan bahwaFPIbagiandari civilsociety yang patut diajak bekerja sama. Sektarianisme yang jauh dari semangat kebinekaan ini juga terjadi dalam pendefinisian agama ”resmi” di Indonesia.
Banyak agama-agama lokal yang tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah dan dipaksa untuk menyatakan memeluk agama lain ketika mereka mengisi kolom agama di KTP-nya. Agama yang di luar enam yang diakui (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu) dianggap sebagai agama di luar mainstream .
Dampak politiknya adalah mereka yang menganut agama di luar agama ”resmi” negara, kesusahan untuk mendapat hak-hak sosial, politik, dan ekonominya secara penuh. Mereka pun tidak bisa mendapatkan libur resmi negara ketika memperingati hari rayanya, padahal mereka samasama warga negara Indonesia.
Isu sektarianisme ini juga tampak dari fenomena penolakan sekelompok umat Islam dan FPI di Jakarta yang menolak pelantikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta. Mereka menyatakan bahwa Ahok tidak berhak menjadi gubernur karena ia China dan nonmuslim. Padahal, secara konstitusional Ahok berhak dilantikmenjadigubernurkarenaia pasangan yang memenangkan pilkada langsung.
Berbagai fenomena sektarianisme dan intoleransi di atas tentu bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang digagas dan dipraktikkan oleh the founding fathers and mothers bangsa ini. Mereka bisa membuktikan bahwa keberagaman adalah fakta sejarah yang justru bisa dimanfaatkan untuk membangun kerja sama dan saling mengisi kekurangan masingmasing.
Sayangnya, prinsip dan nilai-nilai itu sekarang ini telah banyak dilupakan dan hanya dijadikan pajangan oleh masyarakat Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi slogan politik yang miskin internalisasi dan implementasi dalam kehidupan keseharian.
Harapan Baru
Persoalan sektarianisme dan praktik intoleransi yang masih jauh dari prinsip kebinekaan itu adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dalam beberapa pernyataan dan visi misinya sebelum terpilih, Jokowi tampaknya mempunyaikomitmenyangkuat terhadap persoalan kebinekaan dan toleransi. Jokowi menyatakanbahwaIslamnya adalahIslam yang rahmatan lil rahmatan lil alamin yaitu Islam yang memberi rahmat dan kemanfaatan pada semuanya, jadi tidak eksklusif pada kelompok tertentu.
Komitmen Jokowi terhadap kebinekaan dan toleransi ini, tentu akan berhadapan dengan kenyataan politik ketika dia menentukan arah kebijakan pemerintahan. Kita berharap Jokowi tetap memegang teguh komitmennya dan berjuang serius untuk membumikannya dalam kebijakan- kebijakan pemerintahannya.
Dengan modal komitmen yang dimiliki oleh Jokowi terhadap kebinekaan dan janjinya untuk membuat perubahan mendasar di negeri ini, kebijakan politik prokebinekaan dan toleransi seyogianya dijadikan kebijakan mendasar pemerintah Jokowi-JK. Berkaitan dengan itu, pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin yang berusaha memberi tempat yang sama pada semua agama menarik untuk dicatat.
Menteri agama mengatakan bahwa dia menteri dari semua agama, termasuk kelompok minoritas, bukan hanya menteri untuk agama tertentu (Antaranews, 16/09/2014). Pernyataan itu tentu seyogianya harus diapresiasi secara positif. Pernyataan itu hendaknya tidak berhenti sebagai pernyataan politik saja, namun ditindaklanjuti menjadi kebijakan yang bisa mengayomi semua umat beragama.
Kementrian Agama saat ini juga menyiapkan undang-undang tentang perlindungan umat beragama. Undang-undang itu bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan pada umat beragama, terutama pada dua hal: memeluk agama dan kemerdekaan untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Undang-undang itu sangat penting diwujudkan karena semua warga negara Indonesia punya hak yang sama untuk hidup aman dan dilindungi negara. Konstitusi Indonesia pun menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Maka itu, RUU PUB ini diharapkan bukan menjadi barang baru dengan kemasan lama. Namun, harus benarbenar mencerminkan kebinekaan di Indonesia.
Kebinekaan dan toleransi adalah modal besar bangsa ini yang selama ini tertutupi dan sengaja dipinggirkan oleh kepentingan- kepentingan elite yang hanya mengejar kekuasaan. Kebinekaan pada dasarnya bisa menjadi kekuatan untuk menghadapi berbagai krisis dan persoalan yang mengancam persatuan bangsa (Ahmad Syafii Maarif, 2013). Alquran pun telah menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya satu. Kita semua semestinya menangkal segala bentuk sektarianisme dan segala macam kezaliman atas nama apa pun.
Sudah saatnya para pemimpin di negeri ini membuat kebijakan dan program yang prokebinekaan dan toleransi, juga memilih para pejabat publik yang mempunyai komitmen terhadap Bhinneka Tunggal Ika.
Direktur Riset MAARIF Institute for Culture and Humanity, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam perjalanan Indonesia pasca-Reformasi selama lebih dari 17 tahun, ada beberapa capaian positif yang sudah dicapai oleh bangsa ini.
Di antaranya stabilitas keamanan nasional dan ekonomi yang terjaga, pendidikan yang semakin berkembang, dan kenaikan prestasi bangsa ini di dunia internasional. Namun, banyak pekerjaan rumah yang ditinggalkan dan belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah.
Persoalan itudiantaranya pemerataanhasil pembangunan yang sering menjadi problem serius antara pusat dan daerah, tingginya angka kemiskinan, belummeratanya pendidikan, dan konflik horizontal yang terjadi di beberapa daerah.
Sektarianisme yang Menguat
Dalam komitmen terhadap kebinekaan, pluralisme, toleransi, dan perlindungan terhadap minoritas, beberapa persoalan serius hingga hari ini juga masih terjadi. Penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, pengusiran terhadap jamaah Syiah, dan diskriminasi terhadap agama-agama lokal adalah di antara persoalan- persoalan krusial itu.
Banyak kelompok dan orang yang menganut paham keagamaan di luar mainstream dipinggirkan dan dikucilkandari masyarakat. Mereka dianggap sebagai bagian dari orang yang keluar dari agama resmi yang diakui negara dan pantas untuk mendapatkan hukuman yang setimpal.
Pelabelan sebagai yang sesat dan menyesatkan ini kadang dijustifikasi dengan fatwa yangkurangsensitifterhadapfakta historis, sosiologis, dan politik yang membentuk bangsa ini. Pengusiran dan tindakan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten adalah bukti bagaimana diskriminasi terhadap kaum minoritas masih terjadi.
Jamaah Ahmadiyah yang tinggal di asrama Transito di Nusa Tenggara Barat (NTB) juga difatwakan untuk tidak bisa mendapatkan zakat karena dianggap keluar dari Islam. Padahal, jamaah Ahmadiyah menyatakan bahwa mereka bagian resmi dari Islam dan Indonesia. Pengusiran komunitas Syiah di Sampangjugamenambahpotret buramnya toleransi pada sebagian masyarakat.
Syiah dianggap keluar dari Islam dan bukan bagian dari Islam. Banyak ulama ortodoks yang mengatakan bahwa lebih baik menerima kelompok Islam yang sering melalukan kekerasan dibandingkan menerima Syiah. Sebagian aparat kepolisian dan negara pun, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Sidney Jones (2013), tampak lebih senang bekerja sama dengan organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI) dibandingkan berdiri di atas semua golongan dan melindungi semua warga.
Hal ini tampak ketika ada pimpinan dari Polri yang mendatangi acara FPI dan ada juga aparat negara yang menyatakan bahwaFPIbagiandari civilsociety yang patut diajak bekerja sama. Sektarianisme yang jauh dari semangat kebinekaan ini juga terjadi dalam pendefinisian agama ”resmi” di Indonesia.
Banyak agama-agama lokal yang tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah dan dipaksa untuk menyatakan memeluk agama lain ketika mereka mengisi kolom agama di KTP-nya. Agama yang di luar enam yang diakui (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu) dianggap sebagai agama di luar mainstream .
Dampak politiknya adalah mereka yang menganut agama di luar agama ”resmi” negara, kesusahan untuk mendapat hak-hak sosial, politik, dan ekonominya secara penuh. Mereka pun tidak bisa mendapatkan libur resmi negara ketika memperingati hari rayanya, padahal mereka samasama warga negara Indonesia.
Isu sektarianisme ini juga tampak dari fenomena penolakan sekelompok umat Islam dan FPI di Jakarta yang menolak pelantikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta. Mereka menyatakan bahwa Ahok tidak berhak menjadi gubernur karena ia China dan nonmuslim. Padahal, secara konstitusional Ahok berhak dilantikmenjadigubernurkarenaia pasangan yang memenangkan pilkada langsung.
Berbagai fenomena sektarianisme dan intoleransi di atas tentu bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang digagas dan dipraktikkan oleh the founding fathers and mothers bangsa ini. Mereka bisa membuktikan bahwa keberagaman adalah fakta sejarah yang justru bisa dimanfaatkan untuk membangun kerja sama dan saling mengisi kekurangan masingmasing.
Sayangnya, prinsip dan nilai-nilai itu sekarang ini telah banyak dilupakan dan hanya dijadikan pajangan oleh masyarakat Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi slogan politik yang miskin internalisasi dan implementasi dalam kehidupan keseharian.
Harapan Baru
Persoalan sektarianisme dan praktik intoleransi yang masih jauh dari prinsip kebinekaan itu adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dalam beberapa pernyataan dan visi misinya sebelum terpilih, Jokowi tampaknya mempunyaikomitmenyangkuat terhadap persoalan kebinekaan dan toleransi. Jokowi menyatakanbahwaIslamnya adalahIslam yang rahmatan lil rahmatan lil alamin yaitu Islam yang memberi rahmat dan kemanfaatan pada semuanya, jadi tidak eksklusif pada kelompok tertentu.
Komitmen Jokowi terhadap kebinekaan dan toleransi ini, tentu akan berhadapan dengan kenyataan politik ketika dia menentukan arah kebijakan pemerintahan. Kita berharap Jokowi tetap memegang teguh komitmennya dan berjuang serius untuk membumikannya dalam kebijakan- kebijakan pemerintahannya.
Dengan modal komitmen yang dimiliki oleh Jokowi terhadap kebinekaan dan janjinya untuk membuat perubahan mendasar di negeri ini, kebijakan politik prokebinekaan dan toleransi seyogianya dijadikan kebijakan mendasar pemerintah Jokowi-JK. Berkaitan dengan itu, pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin yang berusaha memberi tempat yang sama pada semua agama menarik untuk dicatat.
Menteri agama mengatakan bahwa dia menteri dari semua agama, termasuk kelompok minoritas, bukan hanya menteri untuk agama tertentu (Antaranews, 16/09/2014). Pernyataan itu tentu seyogianya harus diapresiasi secara positif. Pernyataan itu hendaknya tidak berhenti sebagai pernyataan politik saja, namun ditindaklanjuti menjadi kebijakan yang bisa mengayomi semua umat beragama.
Kementrian Agama saat ini juga menyiapkan undang-undang tentang perlindungan umat beragama. Undang-undang itu bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan pada umat beragama, terutama pada dua hal: memeluk agama dan kemerdekaan untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Undang-undang itu sangat penting diwujudkan karena semua warga negara Indonesia punya hak yang sama untuk hidup aman dan dilindungi negara. Konstitusi Indonesia pun menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Maka itu, RUU PUB ini diharapkan bukan menjadi barang baru dengan kemasan lama. Namun, harus benarbenar mencerminkan kebinekaan di Indonesia.
Kebinekaan dan toleransi adalah modal besar bangsa ini yang selama ini tertutupi dan sengaja dipinggirkan oleh kepentingan- kepentingan elite yang hanya mengejar kekuasaan. Kebinekaan pada dasarnya bisa menjadi kekuatan untuk menghadapi berbagai krisis dan persoalan yang mengancam persatuan bangsa (Ahmad Syafii Maarif, 2013). Alquran pun telah menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya satu. Kita semua semestinya menangkal segala bentuk sektarianisme dan segala macam kezaliman atas nama apa pun.
Sudah saatnya para pemimpin di negeri ini membuat kebijakan dan program yang prokebinekaan dan toleransi, juga memilih para pejabat publik yang mempunyai komitmen terhadap Bhinneka Tunggal Ika.
(ars)