Puasa, Penyelenggara Negara, dan Revolusi Mental
A
A
A
LAODE IDA
Sosiolog, Pengajar di Jurusan Sosiologi UNJ,
Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
Ibadah selama bulan Ramadan (puasa) pada 2015 ini (dan tentu saja selama kepemimpinan Presiden Jokowi) khususnya bagi para pejabat, aparat negara, dan politisi sejatinya memiliki makna yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pasalnya, ada janji kampanye tentang perlunya ”revolusi mental” yang harusnya dianggap sebagai kewajiban oleh setiap penyelenggara untuk mengubah diri dari berbagai prilaku buruk seperti korupsi, sewenang-wenang, menyalahgunakan jabatan, bersikap tidak adil, dan hanya mementingkan diri sendiri.
Bulan Ramadan, di mana mayoritas warga bangsa ini umat Islam termasuk jajaran penyelenggara negaranya, adalah momentum menjalankan kewajiban agama yang sekaligus melatih diri untuk mengubah kebiasaan buruk yang selama ini (sadar atau tidak, sengaja ataupun tidak) kerap dilakukan dalam menjalankan tugas sehari-hari.
Apalagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui acara Ijtima Komisi Fatwa MUI V di Tegal, Jateng (7-10/6/ 2015) secara resmi mengeluarkan fatwa haram bagi pejabat yang mengingkari janjinya saat berkampanye. Sekali lagi, ”revolusi mental” merupakan bagian dari janji kampanye Jokowi yang terdokumentasi dalam agenda Nawacitanya.
Tidak mudah memang untuk mengubah kebiasaan yang sudah mendarah daging (internalized ) dalam diri seseorang, apalagi yang terkait kenikmatan duniawi. Justru yang kerap dilakukan para pejabat dan politisi atau penyelenggara negara seperti itu berupaya selalu mencari dalil-dalil pembenaran dan atau permaafan, terlebih mereka yang luput dari jeratan hukum positif negara.
Malahan figur-figur seperti itu dijadikan panutan, dijadikan contoh oleh generasi muda untuk juga hidup bermewahmewah, dan lihai mencari serta menemukan cara-cara canggih untuk bisa memperoleh status sosial, politik, dan ekonomi yang (dalam kacamata duniawi) dianggap terhormat. Termasuk di dalamnya dengan membiasakan diri untuk mengelabui banyak orang atau berbohong dengan tak menepati janji.
Mengapa kecenderungan seperti itu terjadi? Pertama , masyarakat kita sudah dilabeli sebagai pelupa dan sekaligus pemaaf, serta sangat menghargai figur yang berkepemilikan materi pemosisian kemewahan dalam strata nilai tertinggi dalam persepsi sosial, sehingga tak lagi mempersoalkan janjijanji yang pernah diucapkan oleh figur-figur yang masuk dalam kategori ”sudah ditokohkan” itu.
Masyarakat pun sudah menyadari bahwa yang namanya politik ”sarat dengan kebohongan” sehingga kalau berbohong atau dibohongi sudah dianggap biasa-biasa saja. Apalagi kalau saat-saat tertentu, utamanya melalui para tokoh informal di tingkat lokal sekali- sekali dan terutama menghadapi ajang pertarungan politik ”diservis” denganmateri (danbiasanya sang figur panutan informalpun umumnya juga ”haus materi”), segalanya akan terlupakan.
Maka, tidak heran kalau istilah ”lanjutkan” kemudian menggema dimana-mana untuk memberikan dukungan pada politisi atau pejabat penyelenggara negara untuk kembali menjabat. Dalam konteks ini, saran Wapres M Jusuf Kalla di dalam acara MUI di Tegal belum lama ini ”untuk memberi sanksi bagi para pejabat yang ingkar janji kampanye dengan tidak lagi memilihnya” tampaknya akan diabaikan atau akan dianggap sebagai ”angin lalu” saja olehumumnya masyarakat bangsa ini.
Kedua, pesan atau ajaran agama termasuk fatwa MUI itu, oleh banyak pejabat, politisi, atau penyelenggara negara, cenderung dipandang terlalu abstrak dan masuknya pada ranah privasi individu. Terlebih lagi yang berlaku di negara ini bukanlah hukum Islam. Dengan begitu, kalaupun disadari bahwa perbuatan mereka sudah melanggar ajaran agama dan itu bahkan sudah diketahui oleh banyak orang atau rahasia umum, tidak ada sanksi apa pun yang diberlakukan.
Semua itu diperkuat dengan keyakinan berdasarkan ajaran bahwa hanya dosa-dosa besar tertentu yang tak bisa diampuni Allah SWT, sementara perilaku buruk mereka dianggap masih terbuka maghfiroh-Nya sehingga kebiasaan buruk itu pun terus saja dilakukan. Bagi para pejabat di negeri ini memang, jika jujur diakui, terkadang hanya menjadikan agama sebagai simbol untuk kepentingan politik pribadi.
Simbol- simbol agama itulah yang kerap jadi jualan politik untuk memperoleh dukungan masyarakat luas, di samping berbagai manuver dan atau pernyataan yang (seolah-olah) berorientasi kerakyatan. Padahal, sebenarnya semua itu merupakan kamuflase saja, bagian dari penipuan terbuka.
Maka tak jarang, ketika berkampanye mengangkat ”ayat-ayat Allah dan atau pesan-pesan Nabi”, menghadiri berbagai pengajian (yang terkadang juga sengaja diselenggarakan untuk suatu misi politik, atau mengunjungi tokoh-tokoh berbasis Islam yang kuat hanya untuk memperoleh dukungan suara atau simpati dari warga mayoritas.
Karakter atau perilaku buruk yang dibungkus oleh formalisme agama seperti itulah yang banyak kita temukan di barisan penyelenggara negara hari-hari ini. Kita masih beruntung ada fatwa pengingat dari MUI dengan harapan pejabat atau politisi menepati janji.
Kita pun seharusnya masih berharap agar para ulama atau tokoh-tokoh organisasi Islam (atau juga sekaligus tokoh-tokoh lintas agama) secara rajin dan konsisten mencermati dan sekaligus membeberkan deretan pejabat politik yang ingkar janji, lalu menyatakannya ”oh ..., inilah pejabat haram di negeri ini yang jangankan untuk dipilih lagi, dipatuhi pun sudah tidak boleh”.
Peran penting ulama memang diharapkan menjadi pengingat atau pengontrol bagi umara (pemerintah, yang mengurus rakyat). Bahkan ada pandangan yang menyatakan: ”Seburuk- buruknya ulama adalah orang yang mendekati umara, dan sebaik-baik umara adalah orang yang mendekati ulama”.
Yang tersirat dalam pandangan ini adalah bahwa para ulama harus menjaga diri agar jangan sampai terkontaminasi oleh siasat pejabat atau pimpinan politik. Pada saat yang sama, pihak pemerintah harus patuh pada anjuran moral-religius dari para ulama (seperti fatwa MUI itu) dalam rangka mengarahkan kebijakan, roda pemerintahan, dansekaligus masyarakat luas pada nilai-nilai agama yang mengandung kebenaran hakiki serta universal.
Bila dibawa ke ranah pengelolaan pemerintahan, arahan moral religius itu sebenarnya termaktub dalam konsep pemerintahan yang baik (good governance ) dan aparat penyelenggara negara yang bersih (clean government apparatus) yang semuanya bermuara pada terwujudnya rakyat yang sejahtera.
Dalam konteks itulah gerakan- gerakan revolusi mental diharapkan menjadi titik awalnya dan Presiden Jokowi yang berjanji untuk melakukan itulah sebagai komandan tertinggi yang harus memaksa seluruh jajarannya untuk menjalankan dua prinsip yang saling terkait itu (good governance and clean government).
Namun, di sini pulalah tantangan terberatnya. Jangan sampai jika itu dilakukan, harus terlebih dahulu melakukan revolusi jajaran pejabat penyelenggara negara di bawahnya termasuk pimpinan dan aparat partai politik di negeri ini. Karena jika jujur diakui, sangat jarang pejabat, aparat, dan politisi yang terkategori sebagai ”pulau integritas” (islands of integrity ).
Padahal, dari barisan politisilah, sebagaimana dijamin oleh undang-undang di negeri ini, yang jadi sumber pemimpin bangsa atau penyelenggara negara. Pada faktor seperti dijelaskan itu pulalah tantangan puasa Ramadan kali ini khususnya bagi Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahannya. Jika saja dicamkan benar makna puasa, bagi muslim yang yakin, ujungnya adalah meraih kemenangan dalam bayangan ”diri yang bersih dari dosa”, kembali fitrah bagaikan kertas putih bersih yang kosong.
Puasa juga merupakan latihan pengendalian diri untuk patuh pada semua yang dilarang atau diharamkan, dan hanya boleh melakukan yang diperbolehkan. Dalam konsep psikologis, keadaan seperti inilah yang disebut dengan unlearned mengosongkan diri dari pengetahuan dan atau kebiasaan yang selama ini menginternalisasi; dan setelah itu memasukkan ihwal baru yang bersifat positif.
Maka, jika itu dilakukan, setelah puasa pikiran serta perbuatan para pejabat politik dan penyelenggara negara akan terbebas dari bau busuk, korup, dan sejenisnya. Pada saat itulah konsep revolusi mental Jokowi diharapkan akan terwujud. Jika tidak, puasa hanya akan sia-sia seperti apa yang dikatakan oleh Imal Al Ghazali, para pejabat dan politisi atau penyelenggara negara itu hanya akan menjalankan ”puasa awam” alias ikut-ikutan saja,
hanya dengan menahan lapar, dahaga, dan syahwat, menjaga mulut dan alat kelamin dari ihwal yang membatalkan puasa. Setelah itu akan kembali berpikir dan berperilaku seperti biasanya: korup. Kita pun harus terus menjaga Presiden Jokowi, mengingatkannya tanpa lelah, karena sudah berjanji untuk ”revolusi mental” sehingga perlu menghindarkannya, jangan sampai tergolong seperti fatwa MUI itu.
Sosiolog, Pengajar di Jurusan Sosiologi UNJ,
Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
Ibadah selama bulan Ramadan (puasa) pada 2015 ini (dan tentu saja selama kepemimpinan Presiden Jokowi) khususnya bagi para pejabat, aparat negara, dan politisi sejatinya memiliki makna yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pasalnya, ada janji kampanye tentang perlunya ”revolusi mental” yang harusnya dianggap sebagai kewajiban oleh setiap penyelenggara untuk mengubah diri dari berbagai prilaku buruk seperti korupsi, sewenang-wenang, menyalahgunakan jabatan, bersikap tidak adil, dan hanya mementingkan diri sendiri.
Bulan Ramadan, di mana mayoritas warga bangsa ini umat Islam termasuk jajaran penyelenggara negaranya, adalah momentum menjalankan kewajiban agama yang sekaligus melatih diri untuk mengubah kebiasaan buruk yang selama ini (sadar atau tidak, sengaja ataupun tidak) kerap dilakukan dalam menjalankan tugas sehari-hari.
Apalagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui acara Ijtima Komisi Fatwa MUI V di Tegal, Jateng (7-10/6/ 2015) secara resmi mengeluarkan fatwa haram bagi pejabat yang mengingkari janjinya saat berkampanye. Sekali lagi, ”revolusi mental” merupakan bagian dari janji kampanye Jokowi yang terdokumentasi dalam agenda Nawacitanya.
Tidak mudah memang untuk mengubah kebiasaan yang sudah mendarah daging (internalized ) dalam diri seseorang, apalagi yang terkait kenikmatan duniawi. Justru yang kerap dilakukan para pejabat dan politisi atau penyelenggara negara seperti itu berupaya selalu mencari dalil-dalil pembenaran dan atau permaafan, terlebih mereka yang luput dari jeratan hukum positif negara.
Malahan figur-figur seperti itu dijadikan panutan, dijadikan contoh oleh generasi muda untuk juga hidup bermewahmewah, dan lihai mencari serta menemukan cara-cara canggih untuk bisa memperoleh status sosial, politik, dan ekonomi yang (dalam kacamata duniawi) dianggap terhormat. Termasuk di dalamnya dengan membiasakan diri untuk mengelabui banyak orang atau berbohong dengan tak menepati janji.
Mengapa kecenderungan seperti itu terjadi? Pertama , masyarakat kita sudah dilabeli sebagai pelupa dan sekaligus pemaaf, serta sangat menghargai figur yang berkepemilikan materi pemosisian kemewahan dalam strata nilai tertinggi dalam persepsi sosial, sehingga tak lagi mempersoalkan janjijanji yang pernah diucapkan oleh figur-figur yang masuk dalam kategori ”sudah ditokohkan” itu.
Masyarakat pun sudah menyadari bahwa yang namanya politik ”sarat dengan kebohongan” sehingga kalau berbohong atau dibohongi sudah dianggap biasa-biasa saja. Apalagi kalau saat-saat tertentu, utamanya melalui para tokoh informal di tingkat lokal sekali- sekali dan terutama menghadapi ajang pertarungan politik ”diservis” denganmateri (danbiasanya sang figur panutan informalpun umumnya juga ”haus materi”), segalanya akan terlupakan.
Maka, tidak heran kalau istilah ”lanjutkan” kemudian menggema dimana-mana untuk memberikan dukungan pada politisi atau pejabat penyelenggara negara untuk kembali menjabat. Dalam konteks ini, saran Wapres M Jusuf Kalla di dalam acara MUI di Tegal belum lama ini ”untuk memberi sanksi bagi para pejabat yang ingkar janji kampanye dengan tidak lagi memilihnya” tampaknya akan diabaikan atau akan dianggap sebagai ”angin lalu” saja olehumumnya masyarakat bangsa ini.
Kedua, pesan atau ajaran agama termasuk fatwa MUI itu, oleh banyak pejabat, politisi, atau penyelenggara negara, cenderung dipandang terlalu abstrak dan masuknya pada ranah privasi individu. Terlebih lagi yang berlaku di negara ini bukanlah hukum Islam. Dengan begitu, kalaupun disadari bahwa perbuatan mereka sudah melanggar ajaran agama dan itu bahkan sudah diketahui oleh banyak orang atau rahasia umum, tidak ada sanksi apa pun yang diberlakukan.
Semua itu diperkuat dengan keyakinan berdasarkan ajaran bahwa hanya dosa-dosa besar tertentu yang tak bisa diampuni Allah SWT, sementara perilaku buruk mereka dianggap masih terbuka maghfiroh-Nya sehingga kebiasaan buruk itu pun terus saja dilakukan. Bagi para pejabat di negeri ini memang, jika jujur diakui, terkadang hanya menjadikan agama sebagai simbol untuk kepentingan politik pribadi.
Simbol- simbol agama itulah yang kerap jadi jualan politik untuk memperoleh dukungan masyarakat luas, di samping berbagai manuver dan atau pernyataan yang (seolah-olah) berorientasi kerakyatan. Padahal, sebenarnya semua itu merupakan kamuflase saja, bagian dari penipuan terbuka.
Maka tak jarang, ketika berkampanye mengangkat ”ayat-ayat Allah dan atau pesan-pesan Nabi”, menghadiri berbagai pengajian (yang terkadang juga sengaja diselenggarakan untuk suatu misi politik, atau mengunjungi tokoh-tokoh berbasis Islam yang kuat hanya untuk memperoleh dukungan suara atau simpati dari warga mayoritas.
Karakter atau perilaku buruk yang dibungkus oleh formalisme agama seperti itulah yang banyak kita temukan di barisan penyelenggara negara hari-hari ini. Kita masih beruntung ada fatwa pengingat dari MUI dengan harapan pejabat atau politisi menepati janji.
Kita pun seharusnya masih berharap agar para ulama atau tokoh-tokoh organisasi Islam (atau juga sekaligus tokoh-tokoh lintas agama) secara rajin dan konsisten mencermati dan sekaligus membeberkan deretan pejabat politik yang ingkar janji, lalu menyatakannya ”oh ..., inilah pejabat haram di negeri ini yang jangankan untuk dipilih lagi, dipatuhi pun sudah tidak boleh”.
Peran penting ulama memang diharapkan menjadi pengingat atau pengontrol bagi umara (pemerintah, yang mengurus rakyat). Bahkan ada pandangan yang menyatakan: ”Seburuk- buruknya ulama adalah orang yang mendekati umara, dan sebaik-baik umara adalah orang yang mendekati ulama”.
Yang tersirat dalam pandangan ini adalah bahwa para ulama harus menjaga diri agar jangan sampai terkontaminasi oleh siasat pejabat atau pimpinan politik. Pada saat yang sama, pihak pemerintah harus patuh pada anjuran moral-religius dari para ulama (seperti fatwa MUI itu) dalam rangka mengarahkan kebijakan, roda pemerintahan, dansekaligus masyarakat luas pada nilai-nilai agama yang mengandung kebenaran hakiki serta universal.
Bila dibawa ke ranah pengelolaan pemerintahan, arahan moral religius itu sebenarnya termaktub dalam konsep pemerintahan yang baik (good governance ) dan aparat penyelenggara negara yang bersih (clean government apparatus) yang semuanya bermuara pada terwujudnya rakyat yang sejahtera.
Dalam konteks itulah gerakan- gerakan revolusi mental diharapkan menjadi titik awalnya dan Presiden Jokowi yang berjanji untuk melakukan itulah sebagai komandan tertinggi yang harus memaksa seluruh jajarannya untuk menjalankan dua prinsip yang saling terkait itu (good governance and clean government).
Namun, di sini pulalah tantangan terberatnya. Jangan sampai jika itu dilakukan, harus terlebih dahulu melakukan revolusi jajaran pejabat penyelenggara negara di bawahnya termasuk pimpinan dan aparat partai politik di negeri ini. Karena jika jujur diakui, sangat jarang pejabat, aparat, dan politisi yang terkategori sebagai ”pulau integritas” (islands of integrity ).
Padahal, dari barisan politisilah, sebagaimana dijamin oleh undang-undang di negeri ini, yang jadi sumber pemimpin bangsa atau penyelenggara negara. Pada faktor seperti dijelaskan itu pulalah tantangan puasa Ramadan kali ini khususnya bagi Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahannya. Jika saja dicamkan benar makna puasa, bagi muslim yang yakin, ujungnya adalah meraih kemenangan dalam bayangan ”diri yang bersih dari dosa”, kembali fitrah bagaikan kertas putih bersih yang kosong.
Puasa juga merupakan latihan pengendalian diri untuk patuh pada semua yang dilarang atau diharamkan, dan hanya boleh melakukan yang diperbolehkan. Dalam konsep psikologis, keadaan seperti inilah yang disebut dengan unlearned mengosongkan diri dari pengetahuan dan atau kebiasaan yang selama ini menginternalisasi; dan setelah itu memasukkan ihwal baru yang bersifat positif.
Maka, jika itu dilakukan, setelah puasa pikiran serta perbuatan para pejabat politik dan penyelenggara negara akan terbebas dari bau busuk, korup, dan sejenisnya. Pada saat itulah konsep revolusi mental Jokowi diharapkan akan terwujud. Jika tidak, puasa hanya akan sia-sia seperti apa yang dikatakan oleh Imal Al Ghazali, para pejabat dan politisi atau penyelenggara negara itu hanya akan menjalankan ”puasa awam” alias ikut-ikutan saja,
hanya dengan menahan lapar, dahaga, dan syahwat, menjaga mulut dan alat kelamin dari ihwal yang membatalkan puasa. Setelah itu akan kembali berpikir dan berperilaku seperti biasanya: korup. Kita pun harus terus menjaga Presiden Jokowi, mengingatkannya tanpa lelah, karena sudah berjanji untuk ”revolusi mental” sehingga perlu menghindarkannya, jangan sampai tergolong seperti fatwa MUI itu.
(bbg)