Stabilisasi Harga Kebutuhan Pokok
A
A
A
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
dan Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Pemerintah menerbitkan Perpres No 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Perpres ini merupakan amanah UU No 7/2014 tentang Perdagangan dan UU No 18/2012 tentang Pangan.
Lewat perpres yang diteken Presiden Jokowi pada 15 Juni itu, pemerintah berharap gejolak harga kebutuhan pokok (dan barang penting) bisa diatasi. Caranya lewat penetapan harga dan pengendalian stok. Ada 11 barang kebutuhan pokok yang diatur: beras, kedelai bahan baku tahu/tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar (bandeng, kembung, dan tongkol/tuna/ cakalang).
Sedangkan barang penting mencakup tujuh: benih (padi, jagung, kedelai), pupuk, gas elpiji 3 kg, tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan. Dari sisi hukum, aturan ini penting karena telah mengisi kekosongan payung hukum. Selama ini belum ada payung hukum dalam bentuk UU yang memungkinkan pemerintah menetapkan harga dan mengatur stok, dua instrumen stabilisasi harga.
Karena itu, tidak mengherankan jika kita tidak memiliki instrumen pengendali harga kebutuhan pokok. Akibatnya, kenaikan harga selalu berulang. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tapi instabilitas harga tak bisa dijinakkan, bahkan jadi rutinitas tahunan. Tak terhitung sumberdaya yang tergerus. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya yang besar untuk mengatasi ihwal rutin yang bisa diselesaikan dengan cara-cara cerdas.
Penyebab kenaikan harga kebutuhan pokok, terutama pangan, diketahui dengan baik oleh pemerintah. Karena itu, mestinya penanganannya jauh lebih mudah. Lalu, mengapa masalah ini selalu berulang? Ini terjadi karena pemerintah tidak pernah mau menyentuh akar persoalan. Solusi yang dilakukan hanya menyentuh level permukaan. Contohnya, pemerintah amat sibuk mengurusi pasokan.
Pemerintah yakin, saat pasokan memadai harga akan stabil. Tapi, pemerintah lupa pasokan yang memadai tak berarti apa-apa bila distribusi macet dan ada pelaku dominan dan pemburu rente yang berulah nakal. Penyebab instabilitas harga kebutuhan pokok, terutama pangan, bersifat struktural. Tanpa menyentuh masalah struktu-ral, instabilitas selalu berulang.
Pertama, dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Kalaupun diatur, hanya waktu dan kuota impor. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen pejal pada guncangan pasar.
Kenyataannya, ketiga itu belum terpenuhi. Kedua, konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir pelaku. Orientasi pasar membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor.
Ini terjadi hampir pada semua komoditas yang volume dan nilai impornya amat tinggi seperti gandum, gula, kedelai, beras, jagung, daging, tak terkecualibawang (putih). Bisnis imporinibahkan sudah menjadi political rentseeking . Ketiga, instrumen stabilisasi amat terbatas. Sejak Bulog mengalami ”setengah privatisasi” menjadi Perum, praktis kita tidak memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan.
Bulog yang dulu amat perkasa, mengurus enam pangan pokok dan mendapatkan berbagai privilese, kini semua itu telah dipreteli. Kini Bulog hanya mengurus beras. Itu pun dengan kapasitas terbatas. Cadangan beras yang dikelola Bulog pun amat kecil, rata-rata antara 7-8%. Dengan kondisi seperti itu, Bulog tidak memiliki kapasitas besar untuk mengintervensi pasar saat terjadi gejolak.
Keempat, absennya kelembagaan pangan. Sejak menteri negara urusan pangan dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan. Pasal 126-129 UU No 18/2012 tentang Pangan yang mewajibkan pembentukan lembaga pangan belum ditunaikan. Celakanya, sejak otonomi daerah membuat produksi pangan domestik diurus daerah.
Padahal, elite daerah tidak menjadikan pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Peta jalan swasembada pangan dari pusat bahkan diterjemahkan beragam oleh daerah. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanianpangan lahir dari daerah. Ini semua memperparah kinerja produksi pangan domestik.
Hasil akhir jalinan empat faktor itu membuat kinerja produksi pangan domestik stagnan, bahkan merosot, diiringi melonjaknya pangan impor. Saat ini Indonesia bergantung pada impor 100% gandum, 78% kedelai, 72% susu, 54% gula, 18% daging sapi, dan 95% bawang putih. Sebagian besar diimpor dari negara-negara maju. Belum ada tanda-tanda ketergantungan akut impor itu menurun.
Padahal, permintaan pangan terus melonjak. Laju permintaan pangan di Indonesia 4,87% per tahun. Agar kecukupan pangan tercapai, laju suplai pangan harus lebih besar dari permintaan. Artinya, laju suplai atau pertumbuhan produksi harus lebih5% pertahun. Padahal, tidak mudah menggenjot produksi sebesar itu.
Untuk mengurai berbagai problem struktural itu, tidak cukup hanya dengan menerbitkan Perpres Barang Kebutuhan Pokok. Sejumlah kebijakan terkait diperlukan. Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis sumber daya lokal, tak ada alasan untuk tidak swasembada.
Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan), pembenahan sistem informasi harga, pasar, dan teknologi. Dalam batas tertentu, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk perdagangan dan tata niaga yang tidak efisien, konsentris, dan oligopolis. Kedua, merevitalisasi Bulog dengan cara memperluas kapasitasnya.
Bulog tidak hanya mengurus beras, tetapi juga beberapa komoditas seperti diatur dalam Perpres Barang Kebutuhan Pokok disertasi instrumen lengkap seperti cadangan, harga (atas dan bawah), pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran memadai. Impor komoditas pangan pokok yang semula diserahkan swasta bisa dikembalikan sebagian atau seluruhnya pada Bulog.
Ini akan mengeliminasi kuasa swasta dalam kontrol harga dan mereduksi praktik rente politik. Ketiga, menunaikan pembentukan kelembagaan pangan seperti amanat UU Pangan. Nanti Bulog bisa menjadi tangan kanan lembaga ini dalam stabilisasi harga. Kelembagaan baru ini diharapkantidakhanyaberkutatpada perumusan kebijakan dan koordinasi pembangunan pangan, tetapi juga menuntaskan prahara harga tidak berulang.
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
dan Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Pemerintah menerbitkan Perpres No 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Perpres ini merupakan amanah UU No 7/2014 tentang Perdagangan dan UU No 18/2012 tentang Pangan.
Lewat perpres yang diteken Presiden Jokowi pada 15 Juni itu, pemerintah berharap gejolak harga kebutuhan pokok (dan barang penting) bisa diatasi. Caranya lewat penetapan harga dan pengendalian stok. Ada 11 barang kebutuhan pokok yang diatur: beras, kedelai bahan baku tahu/tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar (bandeng, kembung, dan tongkol/tuna/ cakalang).
Sedangkan barang penting mencakup tujuh: benih (padi, jagung, kedelai), pupuk, gas elpiji 3 kg, tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan. Dari sisi hukum, aturan ini penting karena telah mengisi kekosongan payung hukum. Selama ini belum ada payung hukum dalam bentuk UU yang memungkinkan pemerintah menetapkan harga dan mengatur stok, dua instrumen stabilisasi harga.
Karena itu, tidak mengherankan jika kita tidak memiliki instrumen pengendali harga kebutuhan pokok. Akibatnya, kenaikan harga selalu berulang. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tapi instabilitas harga tak bisa dijinakkan, bahkan jadi rutinitas tahunan. Tak terhitung sumberdaya yang tergerus. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya yang besar untuk mengatasi ihwal rutin yang bisa diselesaikan dengan cara-cara cerdas.
Penyebab kenaikan harga kebutuhan pokok, terutama pangan, diketahui dengan baik oleh pemerintah. Karena itu, mestinya penanganannya jauh lebih mudah. Lalu, mengapa masalah ini selalu berulang? Ini terjadi karena pemerintah tidak pernah mau menyentuh akar persoalan. Solusi yang dilakukan hanya menyentuh level permukaan. Contohnya, pemerintah amat sibuk mengurusi pasokan.
Pemerintah yakin, saat pasokan memadai harga akan stabil. Tapi, pemerintah lupa pasokan yang memadai tak berarti apa-apa bila distribusi macet dan ada pelaku dominan dan pemburu rente yang berulah nakal. Penyebab instabilitas harga kebutuhan pokok, terutama pangan, bersifat struktural. Tanpa menyentuh masalah struktu-ral, instabilitas selalu berulang.
Pertama, dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Kalaupun diatur, hanya waktu dan kuota impor. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen pejal pada guncangan pasar.
Kenyataannya, ketiga itu belum terpenuhi. Kedua, konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir pelaku. Orientasi pasar membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor.
Ini terjadi hampir pada semua komoditas yang volume dan nilai impornya amat tinggi seperti gandum, gula, kedelai, beras, jagung, daging, tak terkecualibawang (putih). Bisnis imporinibahkan sudah menjadi political rentseeking . Ketiga, instrumen stabilisasi amat terbatas. Sejak Bulog mengalami ”setengah privatisasi” menjadi Perum, praktis kita tidak memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan.
Bulog yang dulu amat perkasa, mengurus enam pangan pokok dan mendapatkan berbagai privilese, kini semua itu telah dipreteli. Kini Bulog hanya mengurus beras. Itu pun dengan kapasitas terbatas. Cadangan beras yang dikelola Bulog pun amat kecil, rata-rata antara 7-8%. Dengan kondisi seperti itu, Bulog tidak memiliki kapasitas besar untuk mengintervensi pasar saat terjadi gejolak.
Keempat, absennya kelembagaan pangan. Sejak menteri negara urusan pangan dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan. Pasal 126-129 UU No 18/2012 tentang Pangan yang mewajibkan pembentukan lembaga pangan belum ditunaikan. Celakanya, sejak otonomi daerah membuat produksi pangan domestik diurus daerah.
Padahal, elite daerah tidak menjadikan pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Peta jalan swasembada pangan dari pusat bahkan diterjemahkan beragam oleh daerah. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanianpangan lahir dari daerah. Ini semua memperparah kinerja produksi pangan domestik.
Hasil akhir jalinan empat faktor itu membuat kinerja produksi pangan domestik stagnan, bahkan merosot, diiringi melonjaknya pangan impor. Saat ini Indonesia bergantung pada impor 100% gandum, 78% kedelai, 72% susu, 54% gula, 18% daging sapi, dan 95% bawang putih. Sebagian besar diimpor dari negara-negara maju. Belum ada tanda-tanda ketergantungan akut impor itu menurun.
Padahal, permintaan pangan terus melonjak. Laju permintaan pangan di Indonesia 4,87% per tahun. Agar kecukupan pangan tercapai, laju suplai pangan harus lebih besar dari permintaan. Artinya, laju suplai atau pertumbuhan produksi harus lebih5% pertahun. Padahal, tidak mudah menggenjot produksi sebesar itu.
Untuk mengurai berbagai problem struktural itu, tidak cukup hanya dengan menerbitkan Perpres Barang Kebutuhan Pokok. Sejumlah kebijakan terkait diperlukan. Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis sumber daya lokal, tak ada alasan untuk tidak swasembada.
Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan), pembenahan sistem informasi harga, pasar, dan teknologi. Dalam batas tertentu, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk perdagangan dan tata niaga yang tidak efisien, konsentris, dan oligopolis. Kedua, merevitalisasi Bulog dengan cara memperluas kapasitasnya.
Bulog tidak hanya mengurus beras, tetapi juga beberapa komoditas seperti diatur dalam Perpres Barang Kebutuhan Pokok disertasi instrumen lengkap seperti cadangan, harga (atas dan bawah), pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran memadai. Impor komoditas pangan pokok yang semula diserahkan swasta bisa dikembalikan sebagian atau seluruhnya pada Bulog.
Ini akan mengeliminasi kuasa swasta dalam kontrol harga dan mereduksi praktik rente politik. Ketiga, menunaikan pembentukan kelembagaan pangan seperti amanat UU Pangan. Nanti Bulog bisa menjadi tangan kanan lembaga ini dalam stabilisasi harga. Kelembagaan baru ini diharapkantidakhanyaberkutatpada perumusan kebijakan dan koordinasi pembangunan pangan, tetapi juga menuntaskan prahara harga tidak berulang.
(bbg)