Pertahanan nan Hilang Arah

Senin, 22 Juni 2015 - 09:03 WIB
Pertahanan nan Hilang...
Pertahanan nan Hilang Arah
A A A
Connie Rahakundini Bakrie
Direktur Indonesia Maritime Studies, Pengajar di Departemen Hubungan Internasional President University

Ketika Presiden Jokowi memperkenalkan paradigma Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) dengan keinginannya menjadikan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah paling aman di dunia bagi semua aktivitas laut, seluruh jajaran kementerian Kabinet Kerja Jokowi diminta mendukung upaya tersebut.

Negeri ini seketika tersihir dengan sejarah kedigdayaan maritim nenek moyangnya. Semua hal yang bernafaskan laut mendadak menjadi demikian sexy. Semua kementerian tanpa terkecuali berlomba menerapkan visi misi ”maritim” sesuai persepsi, kepentingan, dan keunggulan masing-masing, kecuali Kementrian Pertahanan. Abad ke-21 adalah ‘ ’World Ocean Century ” sehingga semua kawasan dan negara-negara maju berlomba menunjukkan kemampuannya untuk menghadapi abad ini.

Indonesia sesungguhnya dipersiapkan Presiden Jokowi dengan mencetuskan paradigma PMD untuk mempersiapkan diri agar mampu berpartisipasi secara setara dengan negara-negara lain, utamanya dalam kompetisi akses ke pengamanan sumber daya, mampu berperan sebagai stabilisator kawasan, dan berpartisipasi dalam keamanan rute perdagangan internasional.

Hanya dengan armada AL didukung perlindungan kekuatan udara yang canggihlah yang dapat menjamin, tidak saja keutuhan dan kedaulatan wilayah, tetapi juga melindungi ketersediaan sumber daya alam dari samudera dan lembah daratan nan jauh, untuk mewujudkan kepentingan nasional berkelanjutan bangsa ini. Posisi ”diam” Kemhan dalam menyikapi PMD membawa dampak magnitudial dalam ranah pertahanan keamanan kita.

Akibatnya, TNI terlihat hilang arah dalam menetapkan visi-misi pembangunan struktur kekuatan dan pengembangan kemampuannya ke depan. Mengapa? Karena, paradigma PMD menuntut TNI menjadi militer yang menghadap keluar (the outward looking military ) . Berbanding terbalik dengan TNI era Presiden Soeharto hingga era kepemimpinan ” 1000 friends 0 enemy ” Presiden SBY yang menghadap ke dalam (the inward looking military ).

TNI saat ini seakan terjebak dalam kebingungan untuk menjadi tentara inward looking dengan terus mempertahankan pembangunan kekuatan ala minimum essential forces (MEF) yang berdasarkan keterbatasan anggaran yang tersedia, atau menjadi tentara outward looking –yang suka atau tidak–harus dibangun berdasarkan perhitungan kemampuan kekuatan berbasis kapasitas dan kapabilitas, untuk menjadi militer sempurna dari sebuah negara yang telah mencanangkan dirinya sebagai PMD.

*** Paradigma PMD harus didukung kesiapan TNI AL yang memiliki aspek materi ideal berupa sistem senjata armada terpadu (SSAT) yaitu KRI, pesawat udara, marinir, dan pangkalan. Kapabilitas perang udara sebagai payung utama kekuatan AL yang didukung oleh kemampuan untuk melaksanakan pertahanan ( point of defence ) antiserangan udara, rudal antiserangan udara, serta sarana deteksi udara untuk memperoleh kemampuan dalam mengamankan wilayah kedaulatan.

Selain itu perlu dipenuhi sarana prasarana pendukung pelaksanaan operasi, terbentuknya daerah operasi yang mampu mengefektifkan pola operasi pengamanan negara kepulauan, hingga pengamanan perairan kawasan, serta terwujudnya pangkalan TNI AL yang bersinergi dengan pangkalan TNI AU di wilayah Indonesia hingga ke wilayah negara kawasan, yang kelak dengan segera terbentuknya ASEAN Navy akan bahu-membahu melaksanakan operasi keamanan maritim kawasan.

Sesuai UNCLOS 1982 Indonesia memiliki lautan seluas 5,8 juta km2. Terlahir dengan posisi silang dunia serta memiliki 12 selat serta chokepoints strategis, maka jelas wilayah perairan kita memiliki tingkat kerawanan sangat tinggi.

Ada potensi dalam penyalahgunaan sea lanes of communications (SLOC) dan sea lanes of trades (SLOT), aspek ancaman militer perang maupun nonperang, termasuk spill over dari kekuatan yang sedang berlomba di kawasan mengatas namakan kepentingan nasional masingmasing seperti China dan AS diikuti middle power states ; Jepang , India, dan Australia.

*** Alasan mendasar mengapa TNI seolah gamang menyikapi paradigma PMD, utamanya terletak pada ketidakmampuan Presiden Jokowi hingga hari ini untuk menepati janjinya mendirikan National Security Council (NSC) yang sesungguhnya sangat krusial untuk menjalankan roda kebijakan pemerintahan secara terarah dan bersinergi.

NSC sangat krusial untuk dibentuk karena di sinilah Presiden, menhan, dan menlu sebagai aktor utama pertahanan keamanan negara dapat secara bersama menyusun Strategi Keamanan Nasional yang mencakup ruang geopolitik dan geoekonomi sebagai dasar menetapkan; 1. Tujuan dan prioritas kepentingan nasional, 2. Arah kebijakan pertahanan keamanan, 3. Integrasi kekuatan nasional mencakup kementrian terkait agar roda organisasi serta kinerja pemerintah dapat terarah dan tertata.

Berakar dari Strategi Raya Keamanan Nasional inilah baru kemudian dapat dibuat Strategi Pertahanan Nasional oleh Kemhan, baik yang mencakup ruang politis (karena melibatkan software penggunaan diplomasi dari Kemlu) juga mencakup ruang militer (karena pelibatan TNI sebagai hardware dalam mencapai kepentingan politik dan diplomasi).

Adalah tugas Kemhan untuk mengeluarkan strategi pertahanan dan cara pencapaiannya, proses imple-mentasi, serta manajemen risiko atas strategi yang ditetapkan. Dari titik inilah TNI kemudian dapat menjabarkan ruang operasi militer mereka dengan menyusun National Military Objectives .

Di dalamnya tujuan dan tugas TNI serta kapasitas dan kapabilitas yang ingin dicapai ditentukan. Pada level ini penilaian ancaman mencakup risiko strategis yang akan dihadapi dapat terukur, termasuk dampak fluktuasi konstelasi politik keamanan kawasan dan internasional, hingga TNI dapat menentukan operasi sesuai spesifikasi matra dan juga pola operasi matra gabungan yang harus diwujudkannya.

*** Perumusan tujuan, kebijakan, dan perencanaan militer kita menjadi hilang arah karena TNI dengan PMD mendadak harus bertransformasi dari militer yang bersifat defensive active (menunggu diserang baru bertindak) menjadi militer yang offensive passive (mampu bertindak sigap saat hendak diserang).

Mabes TNI sebagai institusi yang bertugas menyusun petunjuk pelaksanaan operasi dan mabes angkatan sebagai institusi yang melaksanakan tugas pembinaan unsur di TNI AL, AD, serta AU jelas menjadi tertatih-tatih dalam merancang upaya meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan perannya.

Selain Kemhan tidak menentukan dengan jelas dan tegas ke mana paradigma PMD akan membawa TNI, Kemhan juga tidak pernah menetapkan ancaman yang akan dihadapi termasuk kemungkinan spill over berbentuk operasi militer perang (OMP) maupun operasi militer selain perang (OMSP) terkait konstelasi politik kawasan dan Laut China Selatan. Hilang arah dalam institusi militer kita sesungguhnya dapat disiasati jika saja kita bersepakat untuk berpatokan pada konsep gelar dan postur TNI AL yang secara universal sudah memiliki peran militer, polisionil, dan diplomasi.

Konsep ini dapat dijadikan acuan akan ke mana dan seberapa besar tiga matra kita akan dibangun. Dengan dasar ini, kapasitas dan kapabilitas TNI dapat disesuaikan dengan struktur kekuatan dan gelar yang harus dimiliki kemudian oleh masing-masing matra.

Pertanyaannya, apakah dengan PMD kemudian TNI AL cukup dibangun sesuai konsep ”Samudera Laut Cokelat” dengan radius gelar kekuatan yang diterapkan mencakup hanya seluruh ruang perairan Indonesia hingga batas ZEE? Atau harus menjadi AL ”Samudera Laut Hijau” yang berkemampuan mendukung terwujudnya pelaksanaan Political Security Community ASEAN 2015 di mana gelar kekuatannya sudah harus melampaui ZEE Indonesia hingga batas 200 mil laut negara-negara terluar ASEAN?

Atau, malah menjadi AL ”Samudera Laut Biru” yang mampu serentak dan rutin berada di tiga samudera dunia untuk menunjukkan kepentingan, kemampuan, dan citra bangsa di dunia internasional? Strategi maritim terkait bukan saja pada penggunaan dan pemanfaatan laut, tetapi juga pada penguasaan akan laut, termasuk mencegah musuh atau lawan untuk menggunakannya.

Pengerahan AL sangatlah mengacu pada kemampuan serangan udara, serangan amfibi, bombardment , blokade atau pencarian data melalui pengintaian. Karena itu, PMD juga membawa perubahan mendasar pada Doktrin TNI. Sebagai contoh, doktrin TNI AL yaitu Strategi Perang Laut Nusantara masih tepat digunakan untuk tahap AL Samudera Laut Cokelat, tetapi tidak lagi tepat untuk TNI AL sesuai tuntutan PMD yang kapabilitasnya harus menjadi AL Samudera Laut Hijau dan Biru.

Strategi ini memerlukan pelibatan dari kedua matra lainnya di mana gelar wilayah serta posturnya akan mengikuti ‘maritime map’ sesuai tahapan warna armada AL tersebut. Karena itu, sejalan dengan itu, KASAU harus dapat memicu ’ Air Force to Air Force Talk ‘ yang mencakup wilayah ASEAN Air Defence Identification Zone(ADIZ) di luar ADIZ Indonesia sendiri yang masih menjadi pekerjaan rumah kita.

Di lain sisi, TNI AD juga harus bersiap diri dengan kemungkinan meluasnya cakupan wilayah ”teritorial” mereka untuk berlatih dan beroperasi di daratan negara-negara ASEAN. Pembangunan struktur kekuatan TNI berbasiskan perencanaan memang akan sulit tanpa sebuah momentum peluang.

Paradigma Indonesia sebagai negara PMD bersamaan dengan segera terwujudnya ASEAN Community 2015adalah peluang yang tidak boleh dibiarkan sia-sia jika kita ingin memiliki arah dan tahapan jelas akan konsep pembangunan kekuatan dan pengembangan gardagarda terdepan samudera, dirgantara, dan daratan kita.

(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1005 seconds (0.1#10.140)