Jokowi dan Papua

Sabtu, 13 Juni 2015 - 10:04 WIB
Jokowi dan Papua
Jokowi dan Papua
A A A
Presiden RI Joko Widodo dalam beberapa kunjungannya ke Papua dan Papua Barat, benar-benar membawa angin segar bagi masyarakat di kedua provinsi tersebut.

Ada dua peristiwa penting yang sangat menyentuh hati rakyat Papua sejak Joko Widodo menjadi presiden RI yang ke-7. Pertama, pada perayaan Natal Nasional di Jayapura, 27 Desember 2014, Presiden mengatakan:” Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara. Kita ingin akhiri konflik.

Jangan ada lagi kekerasan”. Kedua, pada kunjungan tanggal 9 Mei 2015, di mana Presiden mencanangkan beberapa proyek pembangunan di Papua, Jokowi juga membebaskan lima narapidana politik dengan memberikan grasi bagi mereka.

Presiden mengatakan: “Kita ingin menciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang damai, adil, dan sejahtera. Kalau ada masalah di provinsi ini segera diguyur air dan jangan dipanas-panasi lagi sehingga persoalan tersebut terus menjadi masalah nasional,bahkan internasional.”

Hadir dalam pemberian grasi kepada lima narapidana politik tersebut antara lain Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, dan Wagub Papua Klemen Tinal.

Harapan Baru

Pernyataan Presiden untuk menciptakan Wilayah Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) sebagai wilayah yang damai, adil, dan sejahtera merupakan suatu kerinduan rakyat Papua sejak awal integrasi dengan Indonesia pada 1 Mei 1963. Selama 52 tahun integrasi, Wilayah Tanah Papua (WTP) terus bergolak dan masyarakatnya hidup dalam cengkeraman ketakutan di bawah kekerasan aparat keamanan.

Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan ada empat akar permasalahan Papua, yaitu; (1) Marjinalisasi dan diskriminasi; (2) Kegagalan Pembangunan; (3) Kekerasan Negara dan Pelanggaran HAM; (4) Sejarah dan status politikPapua(Muridan S Widjojo, dkk, 2010).

Masyarakat Papua berharap Jokowi tersebut akan membebaskan mereka dari rasa ketakutan yang harus dihadapi selama ini dan dapat bangkit kembali untuk membangun diri dan lingkungan mereka dalam keberagaman jati diri Indonesia. Menko Polhukam dalam kesempatan yang sama juga mengatakan “Masalah Papua harus dilihat dengan hati.

Jadi,tidak ada lagi istilah Organisasi Papua Merdeka. Yang ada sekarang adalah Orang Papua Membangun”. Demikian juga pernyataan Panglima TNI Jenderal Moeldoko: “Mudah-mudahan kebijakan Presiden membuka harapan baru untuk menciptakan stabilitas keamanan”.

Di samping itu terkait kebijakan Presiden tersebut, Panglima TNI juga menegaskan bahwa TNI akan mengedepankan tindakan yang lebih humanis ketimbang represif: “Tidak ada lagi tindakan prajurit yang menyakitkan hati rakyat”. Bagi masyarakat Papua baik amanat Presiden, pernyataan Menko Polhukam maupun Panglima TNI jelas memberikan harapan, namun juga menimbulkan berbagai tanggapan.

Di antaranya adalah: Pertama, perasaan lega karena terbebas dari kebisuan dan boleh menyampaikan aspirasi mereka dalam suasana yang lebih demokratis. Kedua, peranan aparat keamanan (TNI & Polri) yang selama ini pendekatannya adalah represif/ kekerasan dan menjadi sumber konflik maupun ketegangan di tengah-tengah masyarakat, perlu diubah menjadi pendekatan kesejahteraan yang lebih humanis. Ketiga, kesenjangan sosial ekonomi antara orang asli Papua dan pendatang harus diubah dengan pendekatan diskriminasi positif bagi orang asli Papua.

Gagasan Presiden Joko Widodo

Gagasan Presiden Joko Widodo untuk menciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang damai, adil dan sejahtera merupakan langkah awal di bawah leadership Presiden yang perlu diapresiasi oleh semua pihak dalam mencari solusi bersama. Tujuannya agar rakyat Papua dapat hidup dalam ketenangan dan membangun diri dan negerinya dalam bingkai NKRI.

Pemerintah (pusat dan daerah) selanjutnya harus berupaya untuk menyelesaikan konflik-konflik yang ada secara lebih arif dan bijaksana. Menurut penulis, merajut Wilayah Tanah Papua yang damai, adil dan sejahtera terdiri dari sembilan kerangka utama.

Pertama, mengakui hak-hak dasar orang Papua, dan menghormati harga diri mereka. Kedua, membangun rasa kebersamaan di antara sesama rakyat Papua maupun dengan mereka yang datang dari luar Papua. Ketiga, menjadikan rakyat Papua “tuan di tanahnya sendiri” dalam arti mandiri.

Pentingnya untuk men-ciptakan kemandirian rakyat Papua agar orang Papua tidak dijadikan “objek” oleh orang lain, dan dipandang perlu untuk memberdayakan mereka agar dapat hidup lebih sejahtera dari waktu ke waktu. Keempat, membangun sikap toleransi dan saling menghargai baik antara rakyat Papua maupun pendatang. Hal ini penting agar tidak timbul isuisu yang bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Kelima, menghindari kekerasan yang selama ini terjadi akibat berbagai pelanggaran HAM di tanah Papua. Keenam, menegakkan keadilan dan kebenaran dalam kehidupan sosial masyarakat Papua agar lukaluka yang mendalam akibat masa lalu dapat terobati, melalui advokasi, pengungkapan fakta, negosiasi dan lain sebagainya Ketujuh, menegakkan hukum dengan adil, baik dan benar, agar rakyat Papua dapat hidup dengan tenteram,aman dan tidak merasa terancam perlakuan sewenangwenang oleh pihak manapun.

Kedelapan, menumbuhkan sikap saling percaya (trust) antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun masyarakat Papua, agar terhindar dari penyakit curiga dansyak-wasangka yang selama ini membuat kita terkurung dalam sengketa separatisme. Kesembilan, semua pihak terkait perlu membangun dialog damai dan rekonsiliasi untuk merajut Papua tanah damai, adil, dan sejahtera.

Berdasarkan amanat Presiden Joko Widodo tersebut, solusi damai, adil, dan sejahtera dengan didukung oleh hasil penelitian LIPI, perlu dilakukan melalui dialog dan rekonsiliasi. Tentu, guna menyelesaikan masalah Papua secara permanen, adil, bermartabat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Freddy numberi
Tokoh Masyarakat Papua
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5957 seconds (0.1#10.140)