Pemiskinan Makna?

Sabtu, 06 Juni 2015 - 10:32 WIB
Pemiskinan Makna?
Pemiskinan Makna?
A A A
MUDJI SUTRISNO SJ
Budayawan

Ketika Nusantara menghayati kehidupan dengan memuliakannnya dan merayakannya melalui festival dan ritual, maka di situ yang berharga dari kehidupan dihayati sebagai makna.

Apa maksudnya? Orangorang sebagai pelaku mengusahakan untuk menimba kebenaran dari kehidupan, merumuskannya melalui bahasa mitos, dongeng, peribahasa dan pepatah untuk dipakai menjadi acuan agar menjalani kehidupan secara bijaksana dalam realitas alam. Maka, usaha menyelaraskan diri dengan kenyataan Nusantara serta 400 gunung berapi dan aktif 127 di antaranya, dicoba hayati dengan benar melalui membaca tanda-tanda alam, siap menyelamatkan diri ketika meletus.

Namun karena siklus berdekade-dekade waktu yang mengalami suburnya tanah setelah letusan, maka rasa terima kasih selalu diucapkan semisal di lereng-lereng gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro dalam tari, nyanyi dan seni ritual syukur atas suburnya humus tanah berkat vulkanologi.

Orang belajar memahami ekspresi gunung-gunung dan hidup bersama dalam selaras menyelaraskan sehingga kebenaran alam gunung diwujudkan ritus syukurnya dengan kebaikan berbagi ke sesama manusia. Ini di kala Merapi melepaskan energi panasnya diartikan oleh satu pihak sebagai membagi milik kekayaan kesuburan dalam magma panas dan di lain pihak memberi kesuburan untuk hidup bagi para penduduknya.

Sisi kebaikan yang memberi dan membagi inilah menjadi inspirasi dasar bahwa pemilikan yang serakah tidak cocok dengan pasang surutnya ancaman hidup dan anugerahnya yang dicerna sebagai kebijaksanaan hidup hanyalah ”mampir minum”, maka pemilikan akan menghalangi ziarah panjang lepas diri menuju moksa tanpa beban ikatan.

Menghayati kehidupan untuk memberinya arti bagi diri dan komunitasnya merupakan tindakan atau laku kebudayaan. Manusia sebagai the signifying actor atau si pemberi makna pada tindakannya dalam relasi dengan alam, realitas sekitar, dan dalam hubungannya dengan sesama manusia, setiap kali dipanggil untuk memberi makna baru pula pada tindakan memuliakan kehidupan.

Bila para penghuni gunung-gunung berani dihadapkan tiap kali pada soal bencana letusan yang berwajah kematian dan sesudahnya kesuburan tanah yang berwajah kehidupan, maka mau tidak mau akan memproses kedalaman diri yang merenungi siapakah sang pemilik kehidupan dan siapakah penentu kematian.

Di sinilah rasa religius terbentuk dan menjadi embrio kesadaran akan Yang Ilahi, pencipta kehidupan. Barangkali dalamproseslamadanterusmenerus berhadapan dengan ancaman kehidupan yaitu ketidakkekalan dalam rupa kematian serta dambaan akan tetap abadi dalam ruh meski raga bisa hancur menjadi asal muasal kepercayaan pada yang transenden, yang dalam istilah Rudolf Otto disebut Yang Suci.

Lalu Otto mencoba merangkumkan pengalaman manusia berhadapan dengan Yang Ilahi itu sekaligus rasa gemetar ketakutan sebagai numinosum dan rasa tertarik untuk menjemputnya, menangkapnya sebagai fascinans. Relasi dengan alam yang bergunung berapi dan menyikapinya dengan mencari makna dan memberi arti merupakan usaha hidup berdampingan dengan alam.

Relasi antar- sesama manusia dan kesadaran akan sumber hidup atau Sang Pencipta, pelan-pelan mengendap dalam kesadaran religius sebagaimana para ahli ilmu perbandingan agama menamainya religi bumi atau keyakinan kosmis. Rumusan alam dan yang numinosum menggetarkan dan menarik untuk menyembah- hormati dalam yang fascinans lalu dirumuskan sederhana menegaskan alam kosmik sebagai punya jiwa alias animisme.

Dan alam kosmis memiliki daya hidup yaitu dinamisme yang merupakan sekadar contoh antara menghayati dalam laku tindakan di alam serta usaha merumuskan pengalamannya. Selanjutnya secara logika dikotomik dibagilah hitam putihnya biner kehidupan dalam yang spiritual dan yang material.

Kehidupan sendiri dirumuskan dalam logika bagi dua yaitu hasil dan proses. Dengan kata lain, bisa disimpulkan bahwa yang berharga dari kehidupan itu bisa diperlawankan dalam logika biner, yaitu yang bermakna dan yang tidak bermakna; yang benar dan yang tidak benar atau salah. Lalu Thomas Aquinas memaknai baru paham kehidupan sebagai realitas dari Aristoteles dalam ranah yang berharga, yang bermakna, maka kehidupan manusia ini punya sisi dasarnya yaitu kebenaran.

Memiliki pula ranah kebaikan dan terakhir ranah keindahan. Kehidupan yang ada dan sedang kita hayati ini sekaligus bila dihayati dengan menangkap artinya akan sekaligus benar, baik dan indah. Makna kebenaran menjadi sumber perkembangan ilmu pengetahuan. Makna kebaikan dari kehidupan menjadi eksplorasi pengembangan etika. Keindahan kehidupan menjadi sumber pengembangan estetika.

Ketika kesadaran menghayati kehidupan menjadi nilai (baca: berharga, bermakna) maka muncul kesadaran budaya memuliakan dan merayakan kehidupan. Ketika nilai-nilai itu dikerdilkan dan dimiskinkan maka yang terjadi adalah pemiskinan makna. Menjadi sadar akan pemiskinan makna menuntut pembacaan mata budi dan hati terhadap fenomena-fenomena pemiskinan makna di sekitar hidup kita.

Fenomena-fenomena pemiskinan makna, kita jumpai di mana-mana. Pemiskinan makna dari nilai (reduksi) menggejala dalam pemiskinan makna dari nilai-nilai pokok hidup, awalnya menggejala dalam rancu acuan nilainilai lalu menjadi pengering makna. Pertama, yang spirit atau immaterial sudah direduksi nilainya menjadihitunghitungan material yaitu uang.

Kesukarelaan tanpa ganti imbalan uang semakin tidak ditemukan lagi dalam keseharian hidup. Kedua, esensi hidup sebagai proses direduksi dalam ”jalan pintas”, mau hasilnya tidak mau keringatnya. Ranah atau wilayah politik dari cita-cita kenegarawanan dan politik sebagai ikhtiar perjuangan hidup bersama lebih sejahtera direduksi menjadi politik rebutan kekuasaan dan kursi.

Etika politik perjuangan kesejahteraan rakyat atau publik dengan nafas untuk menuju keadilan dan kemakmuran serta merawat kemajemukan dan keikaan telah direduksi menjadi rebutan kuasa untuk kepentingan ego pribadi dengan kelompok tanpa etika. Ketiga, indikasi reduksionis nilai sebagai harga dan makna acuan perilaku dan putusan hidup telah direduksi penghayatannya menjadi sekadar kognitif, pengetahuan, hafalan. Akibatnya tiada terjadi proses pembatinan disgesti (memamahbiaknya lembu).

Keempat, direduksinya penghayatan etis tentang yang baik menjadi ajaran-ajaran moralitas teks tulis. Hidup direduksi dalam moralitas hitam-putih, baik dan buruk; neraka dan surga tanpa penghayatan hidup yang semestinya disyukuri kepada Sang Pencipta dalam suka dan duka. Akibatnya, legalisme dihayati radikal dalam ketakutan akan hukuman neraka membuat indikasi-indikasi puritanisme saat di ruang doa namun di hidup sehari-hari punya wajah lain.

Kelima, disempitkannya kekayaan multidimensi kehidupan publik hanya dalam ruang publik ciptaan. Baudrillard menegaskan bahwa dalam dunia maya melalui revolusi teknologi informasi dan revolusi digital, ”ruang hidup dimampatkan bahkan dilipat seperti kertas”. Sehingga tiada lagi ruang nyata natural untuk berhening, bersyukur secara alami dalam ruang-ruang ceria alami nyata digunung-gunung yang indah dan tak lagi hirup udara segar di taman-taman bunga nyata.

Keenam, reduksi waktu. Waktu dimampatkan dalam contoh nyata sekaligus mengendarai mobil di jalan menyetir dan mendengarkan musik pada saat yang sama melihat televisi mobil dan ber-SMS menggunakan ponsel. Dampak reduksi waktu ini adalah tiadanya lagi atau habisnya waktu hening untuk mengolah pengalaman hidup.

Semua informasi berhamburan ke mata dan telinga dengan kecepatan kilat sehingga tak ada waktu sunyi untuk mengheningi arti dan makna hidup.Maka penghayatan waktu sebagai aliran arus untuk merasakan dengan hati, menimbang dengan budi jernih telah ”dilipat mampat” tanpa pengendapan apalagi pendalaman makna peristiwa hidup.

Kesemuanya bersumber hasrat. Sumbernya ini yang harus dikendalikan oleh budi jernih dan nurani. Victor E Frankl di ranah-ranah budaya menunjukkan hasrat-hasrat untuk terus hidup dalam tiga jenis. Hasrat untuk mencari dan memuasi nikmat (will to pleasure ), hasrat berkuasa (will to power = bahasa populernya syahwat kekuasaan), hasrat untuk mencari dan memberi makna pada hidup (will to significance ).

Orientasi nilai proses telah diperpendek oleh materialisme, uang, kenikmatan, kekuasaan sehingga hasrat yang ketiga untuk makna nyaris tidak diberi ruang untuk hidup. Penting sekali untuk mampu mengendalikan hasrat. Pengalaman Bung Hatta menemukan pentingnya rasionalitas budi sebagai pengendali ketika mengalami koyak dan keadaan parah di pembuangan Boven Digul sehingga tertulislah Alam Pikiran Yunani untuk mas kawin Rahmi Hatta, ya untuk bangsa Indonesia agar ”kedaulatan budi” dan daulat diri menyelesaikan mentalitas Inlander koeli dan budak.

Hasrat untuk konsumsi terus inilah yang dipacu oleh konsumerisme. (bangsa produktif abad 7-9 dengan Borobudur, Budhisme Sriwijaya yang menyumbang produktif kreatif untuk Tibet, untuk Ayyuttaya Thailand, Cambodia dengan Lingga-Yoni di Ankor Watt kini nyaris melenyap. Dan, kita jadi pasar konsumsi mulai dari makanan, sandang, elektronik bahkan musikmusik hiburan.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2894 seconds (0.1#10.140)