Erdogan, The Turk
A
A
A
MUHAMMAD TAKDIR
Analis Skenario Politik di Swiss
@emteaedhir
Menarik untuk menyimak salah satu kutipan dialog Mayor Hassan (perwira militer Turki yang diperankan Yilmas Erdogan) dengan Lekol Cyrill Hughes (perwira Inggris dimainkan oleh Jay Courtney) dalam film The Water Diviner.
Film yang dibintangi Russell Crowe dan diangkat dari novel karya Andrew Anastasios dan Dr Meaghan Wilson dengan judul serupa berkisah tentang petualangan seorang ayah mencari jenazah tiga anaknya yang tewas dalam Perang Gallipoli, 1915. Sang ayah, Joshua Connor (diperankan Russell Crowe) seorang petani dan penggali sumur asal Australia, harus menghadapi kenyataan pahit ketika menemukan istrinya, Eliza, bunuh diri setelah frustrasi kehilangan ketiga putranya dalam perang akibat invasi ANZAC (Australian and New Zealand Army Corps ) melawan Ottoman Empire di Turki tahun 1915-1916.
Joshua yang masih berkabung akhirnya nekat berlayar ke Istanbul. Petani dan sekaligus pencari air itu berjanji membawa pulang jenazah ketiga putranya untuk dimakamkan bersama di samping pusara ibunya. Petikan percakapan Mayor Hassan dengan Letkol Cyrill Hughes muncul setelah permintaan Joshua Connor ditolak untuk ikut mencari tengkorak ketiga anaknya yang dianggapnya telah tewas dalam Perang di Gallipoli.
Connor masuk ke daerah terlarang yang ketika itu tengah diberesi Inggris dan Turki untuk menggali bongkahan tanah yang menimbun sisa-sisa ribuan serdadu kedua pihak yang tewas mengenaskan. Letkol Hughes memprotes sikap Mayor Hassan yang cenderung membiarkan Connor berada di bekas zona perang itu. Kata Hughes, ”Kita berdua paham kenapa peraturan itu ada.
Tetapi sekarang, mengapa kita mesti mengubahnya karena seorang ayah (yang mencari tengkorak tiga anaknya) meskipun dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri”. Mayor Hassan membalas keluhan koleganya yang dahulu menjadi musuhnya dengan berucap, ”Karena hanya dia satusatunya ayah yang datang kemari (Gallipoli) mencari jenazah ketiga anaknya”.
Tak ada yang luar biasa keluar dari mulut Mayor Hassan. Tetapi kalimat itu menjadi sangat bermakna dan sarat ”courageous ” karena diucapkan oleh seorang Turk . Ucapan seorang perwira tinggi militer Ottoman yang dilukiskan sangat mencintai negerinya, tetapi juga memiliki impian menyaksikan Turki yang baru.
Mungkin tidak persis sama dengan bayangan Mayor Hassan tentang Turki yang sekarang. Tetapi, Turki modern saat ini telah menjelma menjadi salah satu negara yang paling diperhatikan ucapan dan tindakannya. Dunia misalnya dibuat terperangah ketika hampir sejumlah negara menolak untuk menerima pengungsi Rohingya, Turki justru mengirimkan kapal perangnya guna menyelamatkan mereka di Laut Andaman.
PM Turki Ahmet Davutoglu bahu membahu dengan Presidennya Recep Tayyip Erdogan mengangkat citra Turki ke level tertinggi dalam melakoni drama pengungsi Rohingya. Turki berani mengambil tanggung jawab itu, bukan karena merasa negara besar. Tetapi karena paham bahwa kebesaran sebuah negara tidak akan banyak berarti jika humanity terbengkalai atau sengaja diabaikan oleh kedaulatan artifisial.
Sentimen ini identik dengan emosi Mayor Hassan tatkala menyaksikan kepedihan dan kegigihan seorang Joshua Connor mencari jenazah ketiga putranya yang tewas dalam Perang Gallipoli. Ucapan ”menggelegar” Presiden Turki Erdogan membahana ketika reaksi penolakan pengungsi Rohingya mendominasi sikap sebagian negara di Asia Tenggara.
Kata Erdogan, ”Di mana ada lantunan azan, di situ seharusnya aku berpijak”. Ucapan seorang Erdogan yang kira-kira kemasan balagah -nya bisa ditafsirkan seperti ini, ”Sesama muslim, selayaknya saling membantu dan menerima saudara mereka yang membutuhkan naungan (tempat berlindung)”.
Bukan pertama kalinya Turki melakukan hal ini. Erdogan pernah memaksa PM Israel Benyamin Netanyahu meminta maaf atas serbuan tentara zionis di atas kapal ”MV Mavi Marmara ” milik Turki yang berlayar bersama lima armada lainnya di perairan Mediterania menuju Gaza pada 31 Mei 2010.
Dalam pembicaraan telepon penuh ketegangan selama setengah jam pada 22 Maret 2013, Netanyahu meminta maaf dan bersedia memberikan kompensasi senilai 20 Juta USD akibat kerugian yang ditimbulkan dari penyerbuan tersebut. Bocoran percakapan menyebutkan, jika Israel tidak melakukan apa yang diminta Ankara terkait insiden Marmara, Turki akan mengambil langkah keras terhadap Tel Aviv.
Tak ada yang meragukan ucapan itu ketika keluar dari mulut seorang Turk . Dalam catatan Carol Migdalovits, Israel`s Blockade of Gaza, the Mavi Marmara Incident, and Its Aftermath, Erdogan disebutkan mengeluarkan pernyataan retorika anti-Israel paling pedas. Erdogan menuding tindakan Israel patut menerima every kind of curse (segala bentuk kutukan).
Erdogan yang ketika itu menjabat PM Turki membandingkan ”Zionist star ” (bintang Daud) dengan swastika Nazi. Ini mungkin pernyataan anti-Israel paling tegas yang pernah tercatat dalam sejarah hubungan kedua negara. Kini, Erdogan menciptakan mimpi-mimpi seperti impian Mayor Hassan. Jika Hassan memimpikan Kemal Attaturk memimpin Turki keluar dari Ottoman, maka Erdogan membayangkan Turki yang lebih kuat di tangannya.
Sebagai Presiden Turki, Erdogan tak lagi ingin seremoni dan hanya menjadi simbol Kepala Negara. Erdogan ingin mendorong Turki lebih dekat ke sistem presidensial. Tetapi mengambil kekuasaan eksekutif dari tangan PM Ahmet Davutoglu, sebuah jabatan yang pernah dipikulnya selama 12 tahun (2003-2014), adalah pertarungan politik penuh risiko bagi Erdogan dan partai politik yang dipimpinnya, AK.
Baginya, posisi presiden harus diberikan kekuasaan lebih besar. Erdogan mungkin melihat betapa Turki menghadapi tanggung jawab lebih besar yang terbentang di depan. Tak ada yang meragukan tekad dan ambisi Erdogan. ”You will not take me away from these stages, you will not silence me !” tegas Erdogan dalam satu rally politik di Kota Kirikkale.
Mobilisasi dukungan itu diperlukan Erdogan menjelang penentuan suara di parlemen pada tanggal 7 Juni 2015 yang akan memastikan jalan panjang selanjutnya. Dibutuhkan dua pertiga suara parlemen untuk mengubah konstitusi kekuasaan presiden yang terbatas tanpa perlu melalui referendum.
Erdogan yang disebut seperti singa oleh para pemujanya telah bersuara. Titah yang sulit ditarik kembali, karena ia seorang Turk. Semoga Erdogan tidak salah langkah. Dunia memerlukan Turki yang kuat tapi demokratis. Sebuah Turki yang berani untuk tampil sebagai teladan kemanusiaan di tengah langkah banyak negara yang tanggung. Jika Ottoman hanyalah sejarah, setidaknya sejarah pun mengajarkan satu hal: jangan mengulang kesalahan yang sama.
Analis Skenario Politik di Swiss
@emteaedhir
Menarik untuk menyimak salah satu kutipan dialog Mayor Hassan (perwira militer Turki yang diperankan Yilmas Erdogan) dengan Lekol Cyrill Hughes (perwira Inggris dimainkan oleh Jay Courtney) dalam film The Water Diviner.
Film yang dibintangi Russell Crowe dan diangkat dari novel karya Andrew Anastasios dan Dr Meaghan Wilson dengan judul serupa berkisah tentang petualangan seorang ayah mencari jenazah tiga anaknya yang tewas dalam Perang Gallipoli, 1915. Sang ayah, Joshua Connor (diperankan Russell Crowe) seorang petani dan penggali sumur asal Australia, harus menghadapi kenyataan pahit ketika menemukan istrinya, Eliza, bunuh diri setelah frustrasi kehilangan ketiga putranya dalam perang akibat invasi ANZAC (Australian and New Zealand Army Corps ) melawan Ottoman Empire di Turki tahun 1915-1916.
Joshua yang masih berkabung akhirnya nekat berlayar ke Istanbul. Petani dan sekaligus pencari air itu berjanji membawa pulang jenazah ketiga putranya untuk dimakamkan bersama di samping pusara ibunya. Petikan percakapan Mayor Hassan dengan Letkol Cyrill Hughes muncul setelah permintaan Joshua Connor ditolak untuk ikut mencari tengkorak ketiga anaknya yang dianggapnya telah tewas dalam Perang di Gallipoli.
Connor masuk ke daerah terlarang yang ketika itu tengah diberesi Inggris dan Turki untuk menggali bongkahan tanah yang menimbun sisa-sisa ribuan serdadu kedua pihak yang tewas mengenaskan. Letkol Hughes memprotes sikap Mayor Hassan yang cenderung membiarkan Connor berada di bekas zona perang itu. Kata Hughes, ”Kita berdua paham kenapa peraturan itu ada.
Tetapi sekarang, mengapa kita mesti mengubahnya karena seorang ayah (yang mencari tengkorak tiga anaknya) meskipun dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri”. Mayor Hassan membalas keluhan koleganya yang dahulu menjadi musuhnya dengan berucap, ”Karena hanya dia satusatunya ayah yang datang kemari (Gallipoli) mencari jenazah ketiga anaknya”.
Tak ada yang luar biasa keluar dari mulut Mayor Hassan. Tetapi kalimat itu menjadi sangat bermakna dan sarat ”courageous ” karena diucapkan oleh seorang Turk . Ucapan seorang perwira tinggi militer Ottoman yang dilukiskan sangat mencintai negerinya, tetapi juga memiliki impian menyaksikan Turki yang baru.
Mungkin tidak persis sama dengan bayangan Mayor Hassan tentang Turki yang sekarang. Tetapi, Turki modern saat ini telah menjelma menjadi salah satu negara yang paling diperhatikan ucapan dan tindakannya. Dunia misalnya dibuat terperangah ketika hampir sejumlah negara menolak untuk menerima pengungsi Rohingya, Turki justru mengirimkan kapal perangnya guna menyelamatkan mereka di Laut Andaman.
PM Turki Ahmet Davutoglu bahu membahu dengan Presidennya Recep Tayyip Erdogan mengangkat citra Turki ke level tertinggi dalam melakoni drama pengungsi Rohingya. Turki berani mengambil tanggung jawab itu, bukan karena merasa negara besar. Tetapi karena paham bahwa kebesaran sebuah negara tidak akan banyak berarti jika humanity terbengkalai atau sengaja diabaikan oleh kedaulatan artifisial.
Sentimen ini identik dengan emosi Mayor Hassan tatkala menyaksikan kepedihan dan kegigihan seorang Joshua Connor mencari jenazah ketiga putranya yang tewas dalam Perang Gallipoli. Ucapan ”menggelegar” Presiden Turki Erdogan membahana ketika reaksi penolakan pengungsi Rohingya mendominasi sikap sebagian negara di Asia Tenggara.
Kata Erdogan, ”Di mana ada lantunan azan, di situ seharusnya aku berpijak”. Ucapan seorang Erdogan yang kira-kira kemasan balagah -nya bisa ditafsirkan seperti ini, ”Sesama muslim, selayaknya saling membantu dan menerima saudara mereka yang membutuhkan naungan (tempat berlindung)”.
Bukan pertama kalinya Turki melakukan hal ini. Erdogan pernah memaksa PM Israel Benyamin Netanyahu meminta maaf atas serbuan tentara zionis di atas kapal ”MV Mavi Marmara ” milik Turki yang berlayar bersama lima armada lainnya di perairan Mediterania menuju Gaza pada 31 Mei 2010.
Dalam pembicaraan telepon penuh ketegangan selama setengah jam pada 22 Maret 2013, Netanyahu meminta maaf dan bersedia memberikan kompensasi senilai 20 Juta USD akibat kerugian yang ditimbulkan dari penyerbuan tersebut. Bocoran percakapan menyebutkan, jika Israel tidak melakukan apa yang diminta Ankara terkait insiden Marmara, Turki akan mengambil langkah keras terhadap Tel Aviv.
Tak ada yang meragukan ucapan itu ketika keluar dari mulut seorang Turk . Dalam catatan Carol Migdalovits, Israel`s Blockade of Gaza, the Mavi Marmara Incident, and Its Aftermath, Erdogan disebutkan mengeluarkan pernyataan retorika anti-Israel paling pedas. Erdogan menuding tindakan Israel patut menerima every kind of curse (segala bentuk kutukan).
Erdogan yang ketika itu menjabat PM Turki membandingkan ”Zionist star ” (bintang Daud) dengan swastika Nazi. Ini mungkin pernyataan anti-Israel paling tegas yang pernah tercatat dalam sejarah hubungan kedua negara. Kini, Erdogan menciptakan mimpi-mimpi seperti impian Mayor Hassan. Jika Hassan memimpikan Kemal Attaturk memimpin Turki keluar dari Ottoman, maka Erdogan membayangkan Turki yang lebih kuat di tangannya.
Sebagai Presiden Turki, Erdogan tak lagi ingin seremoni dan hanya menjadi simbol Kepala Negara. Erdogan ingin mendorong Turki lebih dekat ke sistem presidensial. Tetapi mengambil kekuasaan eksekutif dari tangan PM Ahmet Davutoglu, sebuah jabatan yang pernah dipikulnya selama 12 tahun (2003-2014), adalah pertarungan politik penuh risiko bagi Erdogan dan partai politik yang dipimpinnya, AK.
Baginya, posisi presiden harus diberikan kekuasaan lebih besar. Erdogan mungkin melihat betapa Turki menghadapi tanggung jawab lebih besar yang terbentang di depan. Tak ada yang meragukan tekad dan ambisi Erdogan. ”You will not take me away from these stages, you will not silence me !” tegas Erdogan dalam satu rally politik di Kota Kirikkale.
Mobilisasi dukungan itu diperlukan Erdogan menjelang penentuan suara di parlemen pada tanggal 7 Juni 2015 yang akan memastikan jalan panjang selanjutnya. Dibutuhkan dua pertiga suara parlemen untuk mengubah konstitusi kekuasaan presiden yang terbatas tanpa perlu melalui referendum.
Erdogan yang disebut seperti singa oleh para pemujanya telah bersuara. Titah yang sulit ditarik kembali, karena ia seorang Turk. Semoga Erdogan tidak salah langkah. Dunia memerlukan Turki yang kuat tapi demokratis. Sebuah Turki yang berani untuk tampil sebagai teladan kemanusiaan di tengah langkah banyak negara yang tanggung. Jika Ottoman hanyalah sejarah, setidaknya sejarah pun mengajarkan satu hal: jangan mengulang kesalahan yang sama.
(bbg)