Derita Rohingya, Panggilan Kemanusiaan
A
A
A
ANNA LUTHFIE
Ketua DPP Partai Perindo dan Pegiat Kemanusiaan
Bisa dibayangkan bagaimana jika kita hidup berbulan- bulan di atas perahu kayu yang retak dan atau tidak muat untuk menampung puluhan, bahkan ratusan orang sekaligus. Tanpa persediaan makanan, bahkan yang lebih memprihatinkan dan menyayat hati adalah perjalanan mereka tanpa tujuan jelas.
Belum lagi mereka terombang-ambing oleh kerasnya ombak dan gelombang lautan lepas yang amat keras. Perasaan khawatir dan putus asa berhari-hari merasuki dan menyelimuti hati mereka masing-masing. Itulah bagian yang dirasakan oleh para warga Rohingya, imigran dari daratan Myanmar yang mencoba mencari peruntungan setelah ”terusir” dari tanah leluhur yang puluhan tahun mereka tinggali.
Keputusan Pemerintah Indonesia menampung sementara pengungsi Rohingya adalah langkah yang tepat dan menyejukkan. Pertimbangan kemanusiaan menjadi alasan utama sekaligus menjadi panggilan kebangsaan dan kenegaraan. Dalam hal ini termasuk menjadi alasan dan cita-cita republik ini didirikan. Apalagi salah satu dasar negara ini terbentuk dan dilahirkan adalah adanya rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak ada pilihan yang lebih manusiawi selain menerima mereka sebagai kelompok yang membutuhkan uluran tangan dan empati.
Selain Indonesia, Malaysia juga sepakat tidak akan mengusir kapal-kapal pengungsi dan menampung mereka yang masuk wilayah teritorial Malaysia. Kedua negara sepakat memberi tempat penampungan sementara, yang pada gilirannya puluhan pondok pesantren juga terpanggil untuk ikut menampung pengungsi Rohingya. Kedua negara juga menyepakati proses pemukiman kembali dan pemulangan akan dilakukan dalam waktu satu tahun oleh masyarakat internasional.
Namun, tidak semua negara yang berdekatan dan menjadi tujuan pengungsi Rohingya ini menerima dengan lapang dada sebagai tragedi kemanusiaan. Thailand bersikap berbeda dengan Indonesia dan Malaysia. Mereka tidak bersedia memberikan penampungan sementara kepada pengungsi Rohingya dengan alasan mereka sudah mengurus puluhan ribu pengungsi atau imigran gelap yang masuk lewat perbatasan dengan Myanmar.
Terlepas dari keputusan menampung ini diambil dengan dasar kemanusiaan, Indonesia mestinya juga berjuang membujuk Myanmar agar mengubah kebijakannya dalam masalah kaum Rohingya. Komunitas ASEAN menjadi salah satu alternatif untuk menawarkan solusi atas persoalan pengungsi Rohingnya. Myanmar harus bertanggung jawab atas pengungsi Rohingnya, meskipun terjadi perdebatan dan polemik terkait status kewarganegaraan yang disandang oleh kaum Rohingya tersebut.
Pemerintah Myanmar berpandangan mereka bukan warga negaranya, namun fakta menyebutkan para imigran dan pengungsi ini bertahun-tahun tinggal di wilayah Myanmar dan mereka berangkat mengungsi dari daratan Myanmar atas tragedi politik yang meminggirkan mereka. Sikap Myanmar yang bersikeras terhadap kaum Rohingya mestinya menjadi catatan bagi dunia internasional bahwa sebuah negara harus bertanggung jawab atas persoalan yang terjadi di negerinya.
Pengungsi Rohingnya adalah potret gagalnya negara di Myanmar menciptakan kohesi sosial di wilayahnya. Selama ini yang beredar menyebutkan terusirnya Rohingnya dari wilayah Myanmar tidak lepas dari konflik agama antara Buddha dan Islam. Namun, kacamata yang semestinya dipandang secara holistis yakni kasus ini sarat masalah kemanusiaan (baca: tragedi kemanusiaan).
Tragedi Minoritas
Tragedi kemanusiaan yang melanda kaum Rohingya adalah sekaligus potret tragedi minoritas. Rohingya tidak sekadar minoritas agama, namun juga etnis. Lebih parah lagi, minoritas ini juga tidak mendapatkan sumbangan politik dari para elite politik di Myanmar, termasuk dari tokoh sekelas Aung San Suu Kyi.
Tokoh oposisi prodemokrasi dan penerima Nobel Perdamaian ini cenderung diam tak bersuara untuk meneriakkan ketidakadilan, sesuatu yang dia perjuangkan selama ini, termasuk diganjar sebagai peraih Nobel Perdamaian. Sang tokoh telah menjelma sebagai politisi yang berhitung untung rugi, kalkulasi politik atas kejadian ini. Suu Kyi tengah mempersiapkan diri maju sebagai calon presiden.
Tentu, membela kaum Rohingya akan ”melawan” arus utama di negaranya yang cenderung diam atas tragedi Rohingya. Diam dalam politik tentu saja tanpa sikap, menjaga jarak, dan membangun persepsi bahwa Rohingya bukanlah urusan mereka. Suu Kyi membutuhkan suara mayoritas untuk mendukungnya di pemilihan presiden. Lengkap sudah tragedi minoritas Rohingya, mulai dari agama, etnis, dan politik.
Kritikan dan desakan para elite Indonesia terhadap diamnya Suu Kyi menjadi wajar ketika sang tokoh oposisi Myanmar tersebut seakan bertolak belakang dengan sosoknya selama ini yang berani, tegas, dan berjuang atas nama hak asasi manusia dan keadilan. Suu Kyi tak ubahnya para politisi lain yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan politiknya, sehingga cukup wajar kalau publik dunia kecewa atas sikap Suu Kyi yang memble tersebut.
Perlindungan
Namun, kini yang lebih diutamakan adalah menyelamatkan para pengungsi Rohingya dengan dua jalan sekaligus. Jalan pertama adalah memberikan perlindungan kepada mereka dengan menampung mereka dalam satu tempat yang disediakan khusus. Indonesia pernah melakukan hal ini dalam kasus Tionghoa di Singkawang dan Tangerang.
Mereka kemudian diakui sebagai warga negara Indonesia setelah pemberlakuan Undang- Undang Kewarganegaraan Tahun 2006. Pengalaman ini tentu menjadi modal sosial bagi Indonesia untuk bisa lebih terbuka secara kemanusiaan untuk memberikan bantuan kepada warga Rohingya. Jalan kedua adalah diplomasi internasional. Rohingya bukanlah problem Indonesia yang menjadi tempat penampungan. Rohingya adalah problem regional dan internasional.
Pemerintah Myanmar harus diajak berdiskusi secara persuasif untuk mengubah haluan kebijakannya tentang Rohingya. Sanksi internasional bisa saja diambil jika Myanmar tetap kukuh pada kebijakan politiknya terkait Rohingya. Peran ASEAN secara kolektif penting untuk membangun komunikasi dalam menyelesaikan tragedi Rohingya ini.
Langkah Presiden Joko Widodo mengajak Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) untuk membahas solusi terkait Rohingya adalah langkah strategis untuk membuka wajah dunia akan tragedi kemanusiaan ini. Kasus Rohingya memberi kesempatan sekaligus menguji peran Indonesia yang secara aktif diamanati oleh konstitusi untuk berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dan kedamaian dunia yang lebih baik. Semoga!
Ketua DPP Partai Perindo dan Pegiat Kemanusiaan
Bisa dibayangkan bagaimana jika kita hidup berbulan- bulan di atas perahu kayu yang retak dan atau tidak muat untuk menampung puluhan, bahkan ratusan orang sekaligus. Tanpa persediaan makanan, bahkan yang lebih memprihatinkan dan menyayat hati adalah perjalanan mereka tanpa tujuan jelas.
Belum lagi mereka terombang-ambing oleh kerasnya ombak dan gelombang lautan lepas yang amat keras. Perasaan khawatir dan putus asa berhari-hari merasuki dan menyelimuti hati mereka masing-masing. Itulah bagian yang dirasakan oleh para warga Rohingya, imigran dari daratan Myanmar yang mencoba mencari peruntungan setelah ”terusir” dari tanah leluhur yang puluhan tahun mereka tinggali.
Keputusan Pemerintah Indonesia menampung sementara pengungsi Rohingya adalah langkah yang tepat dan menyejukkan. Pertimbangan kemanusiaan menjadi alasan utama sekaligus menjadi panggilan kebangsaan dan kenegaraan. Dalam hal ini termasuk menjadi alasan dan cita-cita republik ini didirikan. Apalagi salah satu dasar negara ini terbentuk dan dilahirkan adalah adanya rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak ada pilihan yang lebih manusiawi selain menerima mereka sebagai kelompok yang membutuhkan uluran tangan dan empati.
Selain Indonesia, Malaysia juga sepakat tidak akan mengusir kapal-kapal pengungsi dan menampung mereka yang masuk wilayah teritorial Malaysia. Kedua negara sepakat memberi tempat penampungan sementara, yang pada gilirannya puluhan pondok pesantren juga terpanggil untuk ikut menampung pengungsi Rohingya. Kedua negara juga menyepakati proses pemukiman kembali dan pemulangan akan dilakukan dalam waktu satu tahun oleh masyarakat internasional.
Namun, tidak semua negara yang berdekatan dan menjadi tujuan pengungsi Rohingya ini menerima dengan lapang dada sebagai tragedi kemanusiaan. Thailand bersikap berbeda dengan Indonesia dan Malaysia. Mereka tidak bersedia memberikan penampungan sementara kepada pengungsi Rohingya dengan alasan mereka sudah mengurus puluhan ribu pengungsi atau imigran gelap yang masuk lewat perbatasan dengan Myanmar.
Terlepas dari keputusan menampung ini diambil dengan dasar kemanusiaan, Indonesia mestinya juga berjuang membujuk Myanmar agar mengubah kebijakannya dalam masalah kaum Rohingya. Komunitas ASEAN menjadi salah satu alternatif untuk menawarkan solusi atas persoalan pengungsi Rohingnya. Myanmar harus bertanggung jawab atas pengungsi Rohingnya, meskipun terjadi perdebatan dan polemik terkait status kewarganegaraan yang disandang oleh kaum Rohingya tersebut.
Pemerintah Myanmar berpandangan mereka bukan warga negaranya, namun fakta menyebutkan para imigran dan pengungsi ini bertahun-tahun tinggal di wilayah Myanmar dan mereka berangkat mengungsi dari daratan Myanmar atas tragedi politik yang meminggirkan mereka. Sikap Myanmar yang bersikeras terhadap kaum Rohingya mestinya menjadi catatan bagi dunia internasional bahwa sebuah negara harus bertanggung jawab atas persoalan yang terjadi di negerinya.
Pengungsi Rohingnya adalah potret gagalnya negara di Myanmar menciptakan kohesi sosial di wilayahnya. Selama ini yang beredar menyebutkan terusirnya Rohingnya dari wilayah Myanmar tidak lepas dari konflik agama antara Buddha dan Islam. Namun, kacamata yang semestinya dipandang secara holistis yakni kasus ini sarat masalah kemanusiaan (baca: tragedi kemanusiaan).
Tragedi Minoritas
Tragedi kemanusiaan yang melanda kaum Rohingya adalah sekaligus potret tragedi minoritas. Rohingya tidak sekadar minoritas agama, namun juga etnis. Lebih parah lagi, minoritas ini juga tidak mendapatkan sumbangan politik dari para elite politik di Myanmar, termasuk dari tokoh sekelas Aung San Suu Kyi.
Tokoh oposisi prodemokrasi dan penerima Nobel Perdamaian ini cenderung diam tak bersuara untuk meneriakkan ketidakadilan, sesuatu yang dia perjuangkan selama ini, termasuk diganjar sebagai peraih Nobel Perdamaian. Sang tokoh telah menjelma sebagai politisi yang berhitung untung rugi, kalkulasi politik atas kejadian ini. Suu Kyi tengah mempersiapkan diri maju sebagai calon presiden.
Tentu, membela kaum Rohingya akan ”melawan” arus utama di negaranya yang cenderung diam atas tragedi Rohingya. Diam dalam politik tentu saja tanpa sikap, menjaga jarak, dan membangun persepsi bahwa Rohingya bukanlah urusan mereka. Suu Kyi membutuhkan suara mayoritas untuk mendukungnya di pemilihan presiden. Lengkap sudah tragedi minoritas Rohingya, mulai dari agama, etnis, dan politik.
Kritikan dan desakan para elite Indonesia terhadap diamnya Suu Kyi menjadi wajar ketika sang tokoh oposisi Myanmar tersebut seakan bertolak belakang dengan sosoknya selama ini yang berani, tegas, dan berjuang atas nama hak asasi manusia dan keadilan. Suu Kyi tak ubahnya para politisi lain yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan politiknya, sehingga cukup wajar kalau publik dunia kecewa atas sikap Suu Kyi yang memble tersebut.
Perlindungan
Namun, kini yang lebih diutamakan adalah menyelamatkan para pengungsi Rohingya dengan dua jalan sekaligus. Jalan pertama adalah memberikan perlindungan kepada mereka dengan menampung mereka dalam satu tempat yang disediakan khusus. Indonesia pernah melakukan hal ini dalam kasus Tionghoa di Singkawang dan Tangerang.
Mereka kemudian diakui sebagai warga negara Indonesia setelah pemberlakuan Undang- Undang Kewarganegaraan Tahun 2006. Pengalaman ini tentu menjadi modal sosial bagi Indonesia untuk bisa lebih terbuka secara kemanusiaan untuk memberikan bantuan kepada warga Rohingya. Jalan kedua adalah diplomasi internasional. Rohingya bukanlah problem Indonesia yang menjadi tempat penampungan. Rohingya adalah problem regional dan internasional.
Pemerintah Myanmar harus diajak berdiskusi secara persuasif untuk mengubah haluan kebijakannya tentang Rohingya. Sanksi internasional bisa saja diambil jika Myanmar tetap kukuh pada kebijakan politiknya terkait Rohingya. Peran ASEAN secara kolektif penting untuk membangun komunikasi dalam menyelesaikan tragedi Rohingya ini.
Langkah Presiden Joko Widodo mengajak Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) untuk membahas solusi terkait Rohingya adalah langkah strategis untuk membuka wajah dunia akan tragedi kemanusiaan ini. Kasus Rohingya memberi kesempatan sekaligus menguji peran Indonesia yang secara aktif diamanati oleh konstitusi untuk berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dan kedamaian dunia yang lebih baik. Semoga!
(bbg)