Rasa Kemanusiaan Kita
A
A
A
HELMY FAISHAL ZAINI
Ketua Fraksi PKB DPR RI
Beberapa pecan ini wajah suram langit Asia Tenggara tidak bisa kita tutuptutupi. Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar saat ini adalah penyebab utamanya. Konflik internal yang berwujud diskriminasirasial tersebut sungguh sangat memprihatinkan.
Persoalannya kemudian bagaimana kita harus menempatkan diri dalam persoalan ini? Bagaimana sikap kita dalam tragedi tsunami manusia ini? Apa pemerintah sudah memiliki regulasi yang bisa dijadikan pijakan untuk mengambil langkah strategis dan manusiawi dalam persoalan ini? Tiga pertanyaan di atas merupakan persoalan utama yang segera membutuhkan jawaban untuk kemudian disikapi.
Namun, yang tidak kalah penting sesungguhnya harus kita dudukkan dulu peta persoalan tragedi kemanusiaan ini. Sesungguhnya, terkait tragedi Rohingya ini saya sependapat dengan Syed Sirajul Islam (2007) yang membagi jenis terorisme menjadi dua varian besar. Pertama, terorisme yang dilakukan sekelompok orang dengan skala yang terbatas; dan Kedua, terorisme yang dilakukan oleh negara dengan skala yang lebih besar.
Pada tataran ini apa yang terjadi di Rohingya, meminjam klasifikasi yang ditawarkan Syed Sirajul Islam, masuk dalam kategori kedua. Kategori kedua ini sesungguhnya lebih sangat mengerikan sebab aktor utamanya adalah pemerintah atau penyelenggara negara. Kesimpulan ontologis yang menempatkan pemerintah Myanmar sebagai aktor terorisme kemanusiaan bukanlah hal yang berlebihan. Sebagaimana kitatahu, sampai hari ini sikap pemerintah Myanmar seakan menutup mata dan telinga dengan apa yang terjadi di negaranya.
Tembok Prinsip Nonintervensi
Tsunami manusia hari ini sudah ada di hadapan mata, Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi tujuan para pengungsi yang telah berpuluhpuluh hari terombang-ambing di tengah lautan. Selain Indonesia, sesungguhnya para pengungsi itu ada yang menyasar ke Malaysia dan Thailand. Sesungguhnya tsunami manusia ini merupakan problem yang sangat berat. Hal ini bisa dipahami mengingat dampaknya langsung dirasakan oleh negaranegara yang terkait.
Terlebih sebagai sesama anggota ASEAN, kita diikat untuk saling menghormati sesama anggota. Prinsip menghormati sesama anggota tersebut kita kenal sebagai prinsip nonintervensi. Dalam prinsip tersebut disebutkan bahwa negara-negara anggota ASEAN dilarang ikut campur urusan domestik negara lainnya.
Akar historis ide prinsip nonintervensi ini sesungguhnya didasarkan oleh dua pertimbangan utama, yakni pertama menjadi mekanisme penting dalam menjaga kekuatan do-minan dalam konteks perang dingin antara Amerika serikat dan Uni Soviet. Kedua , sebagai jaminan keamanan, kedaulatan dan juga kebebasan dalam berhubungan dengan negara tetangga.
Prinsip nonintervensi ini sesungguhnya telah banyak menuai kritik. Nurul Wahidah (2013) dalam catatan penelitiannya menemukan bahwa prinsip nonintervensi ini pada praktiknya diterapkan terlampau kaku sehinggaprinsiptersebutmenjelma menjadi tembok penghambat proses penyelesaian konflik.
Adanya penerapan prinsip nonintervensi yang kaku ditambah dengan kondisi domestik negara anggota yang masih memiliki catatan yang buruk dalam penegakan HAM, menyebabkan upaya ASEAN dalam penyelesaian masalah Rohingya ini menjadi tersendat-sendat. Pada saat banyak negara lain yang menggunakan kacamata legal-formal mengecam imigran Rohingya, sebab dikategorikan sebagai pendatang gelap, kita masih menyaksikan betapa antusiasmerakyatIndonesiadalam menolong pengungsi Rohingya.
Menurut hemat saya, sesungguhnya apa yang sedang terjadi hari ini yang menimpa etnis Rohingya adalah tragedi kemanusiaan. Oleh karena tragedi kemanusiaan, dia juga harus disikapi dalam sudut pandang kemanusiaan. Artinya meskipun hari ini kita belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai penanganan pencari suaka, bukan berarti kita ”tercegah” untuk memberikan bantuan dan pertolongan.
Kita tahu, sebagaimana dikatakan Agung Notowiguno (2015) presiden South East Asia Humanitarian Commite (SEAHUM) penanganan para pengungsi Rohingya masih bergantung pada UU. No 06 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pada undang-undang ini, sesungguhnya rombongan pengungsi Rohingya sama belaka posisinya dengan imigran gelap. Sungguh keadaan yang patut disayangkan memang.
Namun demikian, sebagaimana yang kita saksikan tidak membuatnya dijadikan alasan. Pemerintah daerah menangani pengungsi Rohingya dengan pelayanan yang cukup baik. Pengungsi tersebut diperlakukan laiknya manusia pada umumnya. Ini anomali, atau bahkan patologi, sebab saat undangundang memperlakukan Rohingya masuk dalam kategori imigran gelap, pemerintah daerah dan juga rakyat sipil memperlakukan mereka laiknya saudara.
Langkah ke Depan
Dengan kenyataan yang sebagaimana kita hadapi hari ini, menurut hemat saya ada dua langka strategis yang harus ditempuh pemerintah dalam menyikapi tragedi pengungsi Rohingya ini. Pertama, langkah internal, yakni cara langkah men-support semaksimal mungkin bantuan terhadap para pengungsi.
Bentuk support yang dimaksud tidak hanya sebatas finansial namun juga moril bahkan bila perlu mengambil langkah cepat untuk membentuk semacam tim untuk menangani kasus pengungsi ini. Kedua, langkah eksternal. Langkah ini ditempuh dengan cara mendorong kerja sama dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) atau bahkan dengan Badan Imigrasi PBB (UNCHR) untuk duduk bersama dan merumuskan langkah terbaik yang bisa diambil bersama secara sinergis untuk menyelesaikan masalah ini.
Langkah ini sangat penting diambil mengingat kompleksitas persoalan yang dihadapi. Diharapkan dengan terlaksananya dua langkah tersebut, kasus pengungsi dari Rohingya ini bisa tertanggulangi dengan baik. Lebih dari itu, kedua langkah tersebut juga penting dalam rangka mengembangkan Masyarakat ASEAN 2015 yang salah satu pilarnya adalah mewujudkan masyarakat yang damai dan juga menghargai perbedaan sesama. Wallahualam bisshowab.
Ketua Fraksi PKB DPR RI
Beberapa pecan ini wajah suram langit Asia Tenggara tidak bisa kita tutuptutupi. Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar saat ini adalah penyebab utamanya. Konflik internal yang berwujud diskriminasirasial tersebut sungguh sangat memprihatinkan.
Persoalannya kemudian bagaimana kita harus menempatkan diri dalam persoalan ini? Bagaimana sikap kita dalam tragedi tsunami manusia ini? Apa pemerintah sudah memiliki regulasi yang bisa dijadikan pijakan untuk mengambil langkah strategis dan manusiawi dalam persoalan ini? Tiga pertanyaan di atas merupakan persoalan utama yang segera membutuhkan jawaban untuk kemudian disikapi.
Namun, yang tidak kalah penting sesungguhnya harus kita dudukkan dulu peta persoalan tragedi kemanusiaan ini. Sesungguhnya, terkait tragedi Rohingya ini saya sependapat dengan Syed Sirajul Islam (2007) yang membagi jenis terorisme menjadi dua varian besar. Pertama, terorisme yang dilakukan sekelompok orang dengan skala yang terbatas; dan Kedua, terorisme yang dilakukan oleh negara dengan skala yang lebih besar.
Pada tataran ini apa yang terjadi di Rohingya, meminjam klasifikasi yang ditawarkan Syed Sirajul Islam, masuk dalam kategori kedua. Kategori kedua ini sesungguhnya lebih sangat mengerikan sebab aktor utamanya adalah pemerintah atau penyelenggara negara. Kesimpulan ontologis yang menempatkan pemerintah Myanmar sebagai aktor terorisme kemanusiaan bukanlah hal yang berlebihan. Sebagaimana kitatahu, sampai hari ini sikap pemerintah Myanmar seakan menutup mata dan telinga dengan apa yang terjadi di negaranya.
Tembok Prinsip Nonintervensi
Tsunami manusia hari ini sudah ada di hadapan mata, Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi tujuan para pengungsi yang telah berpuluhpuluh hari terombang-ambing di tengah lautan. Selain Indonesia, sesungguhnya para pengungsi itu ada yang menyasar ke Malaysia dan Thailand. Sesungguhnya tsunami manusia ini merupakan problem yang sangat berat. Hal ini bisa dipahami mengingat dampaknya langsung dirasakan oleh negaranegara yang terkait.
Terlebih sebagai sesama anggota ASEAN, kita diikat untuk saling menghormati sesama anggota. Prinsip menghormati sesama anggota tersebut kita kenal sebagai prinsip nonintervensi. Dalam prinsip tersebut disebutkan bahwa negara-negara anggota ASEAN dilarang ikut campur urusan domestik negara lainnya.
Akar historis ide prinsip nonintervensi ini sesungguhnya didasarkan oleh dua pertimbangan utama, yakni pertama menjadi mekanisme penting dalam menjaga kekuatan do-minan dalam konteks perang dingin antara Amerika serikat dan Uni Soviet. Kedua , sebagai jaminan keamanan, kedaulatan dan juga kebebasan dalam berhubungan dengan negara tetangga.
Prinsip nonintervensi ini sesungguhnya telah banyak menuai kritik. Nurul Wahidah (2013) dalam catatan penelitiannya menemukan bahwa prinsip nonintervensi ini pada praktiknya diterapkan terlampau kaku sehinggaprinsiptersebutmenjelma menjadi tembok penghambat proses penyelesaian konflik.
Adanya penerapan prinsip nonintervensi yang kaku ditambah dengan kondisi domestik negara anggota yang masih memiliki catatan yang buruk dalam penegakan HAM, menyebabkan upaya ASEAN dalam penyelesaian masalah Rohingya ini menjadi tersendat-sendat. Pada saat banyak negara lain yang menggunakan kacamata legal-formal mengecam imigran Rohingya, sebab dikategorikan sebagai pendatang gelap, kita masih menyaksikan betapa antusiasmerakyatIndonesiadalam menolong pengungsi Rohingya.
Menurut hemat saya, sesungguhnya apa yang sedang terjadi hari ini yang menimpa etnis Rohingya adalah tragedi kemanusiaan. Oleh karena tragedi kemanusiaan, dia juga harus disikapi dalam sudut pandang kemanusiaan. Artinya meskipun hari ini kita belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai penanganan pencari suaka, bukan berarti kita ”tercegah” untuk memberikan bantuan dan pertolongan.
Kita tahu, sebagaimana dikatakan Agung Notowiguno (2015) presiden South East Asia Humanitarian Commite (SEAHUM) penanganan para pengungsi Rohingya masih bergantung pada UU. No 06 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pada undang-undang ini, sesungguhnya rombongan pengungsi Rohingya sama belaka posisinya dengan imigran gelap. Sungguh keadaan yang patut disayangkan memang.
Namun demikian, sebagaimana yang kita saksikan tidak membuatnya dijadikan alasan. Pemerintah daerah menangani pengungsi Rohingya dengan pelayanan yang cukup baik. Pengungsi tersebut diperlakukan laiknya manusia pada umumnya. Ini anomali, atau bahkan patologi, sebab saat undangundang memperlakukan Rohingya masuk dalam kategori imigran gelap, pemerintah daerah dan juga rakyat sipil memperlakukan mereka laiknya saudara.
Langkah ke Depan
Dengan kenyataan yang sebagaimana kita hadapi hari ini, menurut hemat saya ada dua langka strategis yang harus ditempuh pemerintah dalam menyikapi tragedi pengungsi Rohingya ini. Pertama, langkah internal, yakni cara langkah men-support semaksimal mungkin bantuan terhadap para pengungsi.
Bentuk support yang dimaksud tidak hanya sebatas finansial namun juga moril bahkan bila perlu mengambil langkah cepat untuk membentuk semacam tim untuk menangani kasus pengungsi ini. Kedua, langkah eksternal. Langkah ini ditempuh dengan cara mendorong kerja sama dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) atau bahkan dengan Badan Imigrasi PBB (UNCHR) untuk duduk bersama dan merumuskan langkah terbaik yang bisa diambil bersama secara sinergis untuk menyelesaikan masalah ini.
Langkah ini sangat penting diambil mengingat kompleksitas persoalan yang dihadapi. Diharapkan dengan terlaksananya dua langkah tersebut, kasus pengungsi dari Rohingya ini bisa tertanggulangi dengan baik. Lebih dari itu, kedua langkah tersebut juga penting dalam rangka mengembangkan Masyarakat ASEAN 2015 yang salah satu pilarnya adalah mewujudkan masyarakat yang damai dan juga menghargai perbedaan sesama. Wallahualam bisshowab.
(bbg)