Cara Jokowi Melihat ASEAN
A
A
A
TANTOWI YAHYA
Wakil Ketua Komisi I DPR RI
Satu semester umur pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini, ada kekhawatiran politik luar negeri (polugri) Indonesia tidak lagi melihat ASEAN sebagai prioritas.
Padahal, sebagian besar komunitas negara-negara Asia Tenggara justru mengharapkan peran ASEAN makin kuat di masa depan. Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan ini dan kerap dianggap sebagai Big Brother diharapkan bisa terus menjadi bagian aktif dari ASEAN sehingga daya tawar lembaga ini makin diakui di kawasan regional dan internasional.
Dengan kata lain, tanpa Indonesia, ASEAN bukanlah ASEAN lagi. Begitu kira-kira kegelisahan yang penulis tangkap dari komunitas diplomatik Asia Tenggara. Memang sejauh ini belum terlihat jelas arah polugri Presiden Jokowi, khususnya terkait ASEAN. Mungkin karena pemerintahan baru berjalan satu semester sehingga belum ada hasil yang kelihatan. Meski begitu, bila hanya beralibi pada waktu yang masih pendek, penulis kira itu terlalu menyederhanakan masalah.
Pandangan Jokowi tentang pentingnya ASEAN masih samar-samar. Benar dalam sejumlah kesempatan ia memberikan pernyataan normatif bahwa penguatan hubungan dengan semua negara harus dilakukan. Tapi, negara tetangga kita menunggu tidak hanya pernyataan semata, tapi juga langkah nyata yang bisa dirasakan komunitas ASEAN.
Membaca Visi Polugri Jokowi
Dari sekian banyak pernyataan Jokowi tentang polugri, satu benang merah yang menarik bahwa ia hanya mementingkan kerja sama dengan negara lain yang sifatnya menguntungkan. ” Politik kita bebas aktif, berteman dengan semua negara, namun yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Jangan banyak teman, tetapi kita dirugikan.
” Jokowi juga tidak secara lugas menjawab apakah akan melanjutkan strategi diplomasi million friends zero enemy yang dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004- 2014). Menurut Jokowi, yang dilihat dalam mencari kawan adalah kepentingan Indonesia. ”Banyak teman ya harus banyak untung. Kalau rugi, buat apa. Kalau enggak menguntungkan, ya enggak mau.
Ketemu ya ketemu, tetapi dikit-dikit saja”. Itulah logika diplomasi yang diyakini Jokowi dalam melihat ASEAN dan politik luar negeri kita secara umum. Semuanya didasarkan pada jika kita untung semata. Padahal, benarkah diplomasi hanya berdasar itu? Indikasi diplomasi Presiden Jokowi yang menjauh dari ASEAN makin diperkuat dengan pernyataan Puan Maharani, menteri koordinator pembangunan manusia dan kebudayaan sekaligus tokoh berpengaruh PDIP, bahwa kedekatan Indonesia-China di era Jokowi saat ini mengingatkan kembali kuatnya hubungan masa lalu.
Sebagaimana kita tahu, pada era Presiden Soekarno hubungan Indonesia-China sangat erat, ditandai dengan pembentukan Poros Jakarta-Peking. Tinjauan teoritis politik luar negeri suatu negara, KJ Holsti mendefinisikan politik (kebijakan) luar negeri sebagai suatu tindakan yang dirancang oleh pemerintah untuk memecahkan masalah atau mempromosikan suatu perubahan dalam lingkungan yaitu dalam kebijakan sikap atau tindakan dari negara lain.
Dari definisi di atas terlihat bahwa polugri merupakan langkah strategis bagi suatu bangsa untuk bisa berperan dan memengaruhi lingkungan (negara lain). Tidak ada unsur keuntungan ekonomi semata yang dikejar dari polugri. Bila hanya itu cara pandang kita, negara derajatnya akan sama dengan perusahaan.
Terkait isu ASEAN, di mana Indonesia dianggap tidak lagi memprioritaskannya, preseden ini jelas sangat mengejutkan. Sejak zaman Pak Harto hingga SBY, ASEAN secara konsisten menjadi prioritas Indonesia dalam diplomasi. Hal ini tidak hanya karena Asia Tenggara saat ini menjadi salah satu titik pertumbuhan ekonomi dunia. Lebih dari itu, sejarah ASEAN juga banyak diwarnai oleh peran Indonesia.
Tetapi, bila benar kekhawatiran para diplomat akan kurangnya perhatian Jokowi, dalam kajian teori foreign policy perubahan tersebut bisa saja terjadi karena meminjam istilah Baris Kesgin foreign policy suatu negara tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan dan tantangan. Lebih dari itu, faktor individual atau profil pengambil kebijakan jauh lebih menentukan.
Dalam hal ini latar belakang ideologi dan penguasaan polugri oleh para pemimpin akan menjadi pembeda kebijakan luar negeri yang diambil. Sedikit kilas balik ke belakang, era Presiden SBY merupakan salah satu capaian penting diplomasi Indonesia di ASEAN. Hal itu dapat dilihat dari ”kampanye” demokrasi Indonesia terhadap junta militer Myanmar yang akhirnya menghasilkan demokrasi di negara tersebut.
Lalu, resolusi konflik Thailand-Kamboja dan pertumbuhan ekonomi tinggi di sebagian besar negara ASEAN. Atas peran Indonesia, presiden Filipina menyebut Indonesia sebagai ”sahabat sejati” rakyat Filipina. Sementara Presiden Myanmar U Thien Sein mengakui peran Indonesia dalam demokratisasi dan stabilitas kawasan.
Di luar kerja sama formal antar 10 negara ASEAN di berbagai bidang, kedekatan hubungan kawasan ini dapat dilihat dari ada ”ritual” friendship visit bagi para kepala negara atau pemerintahan yang baru terpilih. Biasanya sebelum mereka berkomunikasi dengan negara di kawasan lain, kunjungan pertama kali biasanya dilakukan ke negara terdekat di kawasan ASEAN.
Itu juga yang dilakukan Presiden SBY dalam dua kali masa pemerintahannya. Alasan dari ritual diplomasi di atas sederhana bahwa bila salah satu dari negara Asia Tenggara mengalami masalah, tetangganyalah yang pertama kali membantunya. Namun, ritual diplomasi itu tampaknya diputus Presiden Jokowi, Setelah dilantik bukannya melakukan state visit ke negara tetangga di ASEAN, Presiden memilih mengunjungi China.
Berpaling ke Naga?
Tercatat pada November 2014 Jokowi menghadiri APEC Economic Leaders Meeting di Beijing, ASEAN Summit di Myanmar, dan G-20 Leaders Summit di Brisbane, Australia. Ketiganya merupakan kunjungan kerja, sementara friendship visit ke Malaysia, Thailand, Filipina, atau Singapura tidak dilakukan.
Mungkin Presiden Jokowi ingin mengesankan bahwa pemerintahannya ”langsung kerja”, sebagaimana status ”kunjungan kerja” dan nama ”Kabinet Kerja” yang dipimpinnya. Tetapi, dalam ”tata krama” diplomasi, ada ihwal tersirat yang juga harus dihargai, termasuk ritual friendship visit yang sudah berjalan lama.
Setelah terkesan ”meninggalkan” ASEAN, pada saat yang sama Jokowi justru sangat dekat dengan China. Kontan saja perubahan arah diplomasi ini memancing spekulasi agenda politik Presiden Jokowi terhadap China. Pada Peringatan60Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) lalu, sejumlah media mainstream menulis bahwa RRC menyapu bersih proyek infrastruktur di Indonesia. Itu setidaknya bisa menggambarkan ke mana arah diplomasi Jokowi setelah tak lagi melihat ASEAN sebagai ”sahabat dekat”.
Ironisnya, Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) kecewa dengan kampanye ”arus deras” investasi China di enam bulan pertama pemerintahan Jokowi-JK karena dari 10 MoU investasi, ternyata hanya satu yang terealisasi. Menyoal pemahaman Presiden Jokowi terhadap nilai historis dan geopolitik ASEAN, kita bisa tarik mundur ke belakang, saat ia tengah maju dalam pemilihan presiden.
Jokowi saat itu mengatakan bahwa sebaiknya Indonesia tidak terlibat dalam ketegangan antarnegara ASEAN terkait konflik Laut China Selatan. ” Itu urusan negara lain dan negara lain. Tapi, kalau kita berperan, juga lebih baik. Tapi, kalau kita tidak punya solusi yang benar, proses diplomasiyang kitalakukantidakbermanfaat, untuk apa kita lakukan?”
Dari pernyataan tersebut, terlihat bagaimana cara pandang Presiden Jokowi terhadap ASEAN. Padahal, isu Laut China Selatan jelas terkait kepentingan Indonesia karena di sana merupakan kawasan kaya sumber alam yang rentan memancing instabilitas masa depan.
Walau demikian, saya meyakini Presiden Jokowi sejatinya memiliki keinginan untuk semakin menguatkan kerja sama antarnegara ASEAN. Mungkin jalan menuju ke sana saja yang tidak mudah atau belum tersosialisasikan ke publik, khususnya komunitas diplomatik di kawasan ini. Sebagai ”saudara tua” di ASEAN, Indonesia sangat ditunggu perannya di masa depan.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI
Satu semester umur pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini, ada kekhawatiran politik luar negeri (polugri) Indonesia tidak lagi melihat ASEAN sebagai prioritas.
Padahal, sebagian besar komunitas negara-negara Asia Tenggara justru mengharapkan peran ASEAN makin kuat di masa depan. Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan ini dan kerap dianggap sebagai Big Brother diharapkan bisa terus menjadi bagian aktif dari ASEAN sehingga daya tawar lembaga ini makin diakui di kawasan regional dan internasional.
Dengan kata lain, tanpa Indonesia, ASEAN bukanlah ASEAN lagi. Begitu kira-kira kegelisahan yang penulis tangkap dari komunitas diplomatik Asia Tenggara. Memang sejauh ini belum terlihat jelas arah polugri Presiden Jokowi, khususnya terkait ASEAN. Mungkin karena pemerintahan baru berjalan satu semester sehingga belum ada hasil yang kelihatan. Meski begitu, bila hanya beralibi pada waktu yang masih pendek, penulis kira itu terlalu menyederhanakan masalah.
Pandangan Jokowi tentang pentingnya ASEAN masih samar-samar. Benar dalam sejumlah kesempatan ia memberikan pernyataan normatif bahwa penguatan hubungan dengan semua negara harus dilakukan. Tapi, negara tetangga kita menunggu tidak hanya pernyataan semata, tapi juga langkah nyata yang bisa dirasakan komunitas ASEAN.
Membaca Visi Polugri Jokowi
Dari sekian banyak pernyataan Jokowi tentang polugri, satu benang merah yang menarik bahwa ia hanya mementingkan kerja sama dengan negara lain yang sifatnya menguntungkan. ” Politik kita bebas aktif, berteman dengan semua negara, namun yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Jangan banyak teman, tetapi kita dirugikan.
” Jokowi juga tidak secara lugas menjawab apakah akan melanjutkan strategi diplomasi million friends zero enemy yang dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004- 2014). Menurut Jokowi, yang dilihat dalam mencari kawan adalah kepentingan Indonesia. ”Banyak teman ya harus banyak untung. Kalau rugi, buat apa. Kalau enggak menguntungkan, ya enggak mau.
Ketemu ya ketemu, tetapi dikit-dikit saja”. Itulah logika diplomasi yang diyakini Jokowi dalam melihat ASEAN dan politik luar negeri kita secara umum. Semuanya didasarkan pada jika kita untung semata. Padahal, benarkah diplomasi hanya berdasar itu? Indikasi diplomasi Presiden Jokowi yang menjauh dari ASEAN makin diperkuat dengan pernyataan Puan Maharani, menteri koordinator pembangunan manusia dan kebudayaan sekaligus tokoh berpengaruh PDIP, bahwa kedekatan Indonesia-China di era Jokowi saat ini mengingatkan kembali kuatnya hubungan masa lalu.
Sebagaimana kita tahu, pada era Presiden Soekarno hubungan Indonesia-China sangat erat, ditandai dengan pembentukan Poros Jakarta-Peking. Tinjauan teoritis politik luar negeri suatu negara, KJ Holsti mendefinisikan politik (kebijakan) luar negeri sebagai suatu tindakan yang dirancang oleh pemerintah untuk memecahkan masalah atau mempromosikan suatu perubahan dalam lingkungan yaitu dalam kebijakan sikap atau tindakan dari negara lain.
Dari definisi di atas terlihat bahwa polugri merupakan langkah strategis bagi suatu bangsa untuk bisa berperan dan memengaruhi lingkungan (negara lain). Tidak ada unsur keuntungan ekonomi semata yang dikejar dari polugri. Bila hanya itu cara pandang kita, negara derajatnya akan sama dengan perusahaan.
Terkait isu ASEAN, di mana Indonesia dianggap tidak lagi memprioritaskannya, preseden ini jelas sangat mengejutkan. Sejak zaman Pak Harto hingga SBY, ASEAN secara konsisten menjadi prioritas Indonesia dalam diplomasi. Hal ini tidak hanya karena Asia Tenggara saat ini menjadi salah satu titik pertumbuhan ekonomi dunia. Lebih dari itu, sejarah ASEAN juga banyak diwarnai oleh peran Indonesia.
Tetapi, bila benar kekhawatiran para diplomat akan kurangnya perhatian Jokowi, dalam kajian teori foreign policy perubahan tersebut bisa saja terjadi karena meminjam istilah Baris Kesgin foreign policy suatu negara tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan dan tantangan. Lebih dari itu, faktor individual atau profil pengambil kebijakan jauh lebih menentukan.
Dalam hal ini latar belakang ideologi dan penguasaan polugri oleh para pemimpin akan menjadi pembeda kebijakan luar negeri yang diambil. Sedikit kilas balik ke belakang, era Presiden SBY merupakan salah satu capaian penting diplomasi Indonesia di ASEAN. Hal itu dapat dilihat dari ”kampanye” demokrasi Indonesia terhadap junta militer Myanmar yang akhirnya menghasilkan demokrasi di negara tersebut.
Lalu, resolusi konflik Thailand-Kamboja dan pertumbuhan ekonomi tinggi di sebagian besar negara ASEAN. Atas peran Indonesia, presiden Filipina menyebut Indonesia sebagai ”sahabat sejati” rakyat Filipina. Sementara Presiden Myanmar U Thien Sein mengakui peran Indonesia dalam demokratisasi dan stabilitas kawasan.
Di luar kerja sama formal antar 10 negara ASEAN di berbagai bidang, kedekatan hubungan kawasan ini dapat dilihat dari ada ”ritual” friendship visit bagi para kepala negara atau pemerintahan yang baru terpilih. Biasanya sebelum mereka berkomunikasi dengan negara di kawasan lain, kunjungan pertama kali biasanya dilakukan ke negara terdekat di kawasan ASEAN.
Itu juga yang dilakukan Presiden SBY dalam dua kali masa pemerintahannya. Alasan dari ritual diplomasi di atas sederhana bahwa bila salah satu dari negara Asia Tenggara mengalami masalah, tetangganyalah yang pertama kali membantunya. Namun, ritual diplomasi itu tampaknya diputus Presiden Jokowi, Setelah dilantik bukannya melakukan state visit ke negara tetangga di ASEAN, Presiden memilih mengunjungi China.
Berpaling ke Naga?
Tercatat pada November 2014 Jokowi menghadiri APEC Economic Leaders Meeting di Beijing, ASEAN Summit di Myanmar, dan G-20 Leaders Summit di Brisbane, Australia. Ketiganya merupakan kunjungan kerja, sementara friendship visit ke Malaysia, Thailand, Filipina, atau Singapura tidak dilakukan.
Mungkin Presiden Jokowi ingin mengesankan bahwa pemerintahannya ”langsung kerja”, sebagaimana status ”kunjungan kerja” dan nama ”Kabinet Kerja” yang dipimpinnya. Tetapi, dalam ”tata krama” diplomasi, ada ihwal tersirat yang juga harus dihargai, termasuk ritual friendship visit yang sudah berjalan lama.
Setelah terkesan ”meninggalkan” ASEAN, pada saat yang sama Jokowi justru sangat dekat dengan China. Kontan saja perubahan arah diplomasi ini memancing spekulasi agenda politik Presiden Jokowi terhadap China. Pada Peringatan60Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) lalu, sejumlah media mainstream menulis bahwa RRC menyapu bersih proyek infrastruktur di Indonesia. Itu setidaknya bisa menggambarkan ke mana arah diplomasi Jokowi setelah tak lagi melihat ASEAN sebagai ”sahabat dekat”.
Ironisnya, Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) kecewa dengan kampanye ”arus deras” investasi China di enam bulan pertama pemerintahan Jokowi-JK karena dari 10 MoU investasi, ternyata hanya satu yang terealisasi. Menyoal pemahaman Presiden Jokowi terhadap nilai historis dan geopolitik ASEAN, kita bisa tarik mundur ke belakang, saat ia tengah maju dalam pemilihan presiden.
Jokowi saat itu mengatakan bahwa sebaiknya Indonesia tidak terlibat dalam ketegangan antarnegara ASEAN terkait konflik Laut China Selatan. ” Itu urusan negara lain dan negara lain. Tapi, kalau kita berperan, juga lebih baik. Tapi, kalau kita tidak punya solusi yang benar, proses diplomasiyang kitalakukantidakbermanfaat, untuk apa kita lakukan?”
Dari pernyataan tersebut, terlihat bagaimana cara pandang Presiden Jokowi terhadap ASEAN. Padahal, isu Laut China Selatan jelas terkait kepentingan Indonesia karena di sana merupakan kawasan kaya sumber alam yang rentan memancing instabilitas masa depan.
Walau demikian, saya meyakini Presiden Jokowi sejatinya memiliki keinginan untuk semakin menguatkan kerja sama antarnegara ASEAN. Mungkin jalan menuju ke sana saja yang tidak mudah atau belum tersosialisasikan ke publik, khususnya komunitas diplomatik di kawasan ini. Sebagai ”saudara tua” di ASEAN, Indonesia sangat ditunggu perannya di masa depan.
(bbg)