Rumitnya Masalah Rohingya
A
A
A
Sebuah karikatur di media sosial menggambarkan bagaimana para pengungsi Rohingya ditolak oleh sebagian negara ASEAN.
Di Indonesia, para pengungsi tersebut akhirnya ditolong para nelayan Aceh dan Sumatera Utara setelah ditolak oleh Angkatan Laut Indonesia yang mendasarkan tindakan mereka atas hukum positif di Indonesia yang melarang warga negara asing masuk tanpa dokumen. Pertanyaannya apakah pertolongan yang diberikan nelayan Aceh akan dilanjutkan secara formal atau tidak oleh Pemerintah Indonesia?
Apakah ada dampak bila kita menerima dan menolak para pengungsi? Apakah ada dampaknya secara politik dan ekonomi terhadap Indonesia? Dalam konteks hak asasi manusia (HAM), masalah pengungsi diatur dalam Konvensi Pengungsi 1951, Protokol 1967, dan konvensi lain yang terkait, yaitu Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan (Statelessness) 1954 dan Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan tanpa Kewarganegaraan (The Reduction of Statelessness) .
Konvensi Pengungsi 1951 meliputi prinsip-prinsip untuk tidak melakukan pemulangan (nonrefoulment), tidak melakukan pengusiran (non-expulsion), tidak melakukan pembedaan (non-discrimination), dan menghindari pemidanaan akibat cara masukyangilegalbagi para pengungsi yang tiba. UNHCR mencatat bahwa diperkirakan ada 400.000 pengungsi Rohignya di Bangladesh. Jumlah ini sama dengan yang ada di negara-negara Teluk.
Sekitar 200.000 orang di Pakistan, 20.000 di Thailand, 15.000 di Malaysia, dan sekitar 2.000 orang di Indonesia. Sisanya sekitar 750.000 warga Rohingya tetap tinggal di sebelah utara Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Sebagian besar negara tersebut bukan penandatangan konvensi.
Negara anggota ASEAN yang menjadi pihak penandatangan konvensi ini hanya Filipina (1981) dan Kamboja (1992), sementara negara anggota lain termasuk Indonesia dan Malaysia tidak ikut meratifikasi konvensi tersebut. Bangladesh adalah negara yang paling banyak menampung pengungsi Rohingya. Mereka menerima para pengungsi karena posisi yang dekat dengan perbatasan Myanmar dan alasan persaudaraan sebagai sesama negara muslim seperti Indonesia dan Malaysia.
Para pengungsi umumnya tinggal di pusat dan sekitar wilayah kamp pengungsian Cox’s Bazar. Besarnya jumlah pengungsi di Bangladesh terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama tahun 1978 sebanyak 200.000 orang dan gelombang kedua tahun 1992 sebanyak 250.000 orang.
Ada banyak versi sejarah yang melatarbelakangi gelombang pengungsi tersebut dan sulit untuk menjelaskan versi masing-masing dalam ruang yang terbatas ini. Namun pada dekade tersebut ada dua fakta penting terjadi. Pertama adalah Perang Kemerdekaan Bangladesh (Pakistan Timur) terhadap Pakistan yang menimbulkan jutaan gelombang pengungsi muslim Bangladesh ke negara-negara tetangga, termasuk di Myamar.
Kedua, Myanmar tengah mengalami konflik internal, yaitu pemerintahan militer berlaku sangat otoriter baik kepada komunitas Rohingya maupun warganegara merekasendiri. Rezim militer yang berkuasa selain memerintah dengan keras juga berusaha mendapat simpati dari masyarakat dengan memanfaatkan konflik yang terjadi di antarakomunitasdankelompok etnik di Myanmar.
Konteks tersebut yang mendorong akumulasi gelombang pengungsi Rohingya hingga saat ini. Pada awalnya, Pemerintah Bangladesh menerima kembali dengan baik komunitas Rohingya sejak tahun 1971. Namun setelah 41 tahun, di tahun 2012 Pemerintah Bangladesh menyatakan tidak lagi menerima pengungsi Rohingya.
Alasan yang dikemukakan adalah ancaman terhadap keamanan nasional dan tidak adanya kontribusi komunitas Rohingya terhadap ekonomi Bangladesh (Hasan 2014). Pemerintah Bangladesh mendasarkan argumentasi ini dengan merujuk pada Pasal 33 ayat 2 Konvensi Pengungsi 1951 yang intinya menyatakan bahwa pengungsi dapat dipulangkan apabila mengancam keamanan negara penerima dan melakukan tindakan kriminal.
Dua alasan itu secara langsung atau tidak langsung menjadi keberatan bagi negara-negara lain untuk menerima pengungsi Rohingya. Perhatian dunia internasional yang terbatas dan solusi politik yang lambat terhadap masalah Rohingya telah menimbulkan akumulasi dampak negatif baik politik maupun ekonomi bagi negaranegara penerima maupun komunitas Rohingya itu sendiri.
Dampak negatif terutama disebabkan para pengungsi Rohingya membutuhkan pekerjaan dan pendapatan, sementara bantuan yang diterima tidak mencukupi. Mereka juga tinggal di wilayah pengungsian yang tidak layak sehingga mendorong mereka untuk segera mendapatkan penghasilan. Walaupun banyak yang mendapatkan pekerjaan dengan baik, tidak sedikit juga yang melanggar hukum.
Di Bangladesh sebagai contoh, Perdana Menteri Dipo Moni di tahun 2009 mengatakan bahwa ribuan pengungsi Rohingya yang tidak tercatat telah terlibat dalam illegal logging di kawasan konversi hutan lindung. Pemerintah Bangladesh juga kerap harus mendampingi warga Rohingya pemegang paspor Bangladesh di Arab Saudi yang melakukan tindakan kriminal.
Di beberapa kota di Bangladesh, pengungsi Rohingya juga mengambil pekerjaan-pekerjaan kasar seperti buruh harian dan tukang becak sehingga menimbulkan kecemburuan sosial dan pengangguran. Para pengungsi Rohingya yang telah hidup sangat menderita menjadi rentan untuk direkrut oleh kelompokkelompok militan seperti Rohingya Solidarity Organization (RSO) dan The Arakan Rohingya Islamic Front (ARIF).
Kedua organisasi ini memiliki tujuan untuk mendirikan negara Rohingya sendiri. Gambaran yang negatif tersebut pada akhirnya membuat gambaran keseluruhan tentang orang Rohingnya menjadi suram. Situasinya makin terpojok dan solusi politik yang ditunggu tak kunjung datang.
Mereka telah digolongkan sebagai warga yang tidak memiliki kewarganegaraan karena Pemerintah Myamar melalui Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1982 memiliki tiga kategori kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan nasional, asosiasi, dan naturalisasi. Etnik Rohingya sulit untuk memenuhi kriteria itu karena sejarah dan budaya yang berbeda.
Undang-Undang Kewarganegaraaan itu kemudian juga dibalas Bangladesh yang melakukan amendemen undangundang kewarganegaraan mereka di tahun yang sama. Amendemen mengatakan bahwa etnik Rohingya bukan bagian dari suku nasional mereka walaupun memiliki karakter fisik dan agama yang sama. Kunci dari masalah etnik Rohingya memang harus diselesaikan bersama-sama di tingkat internasional.
Ironisnya, belum ada forum yang bisa dianggap sebagai wadah pencari solusi untuk kasus ini. Etnik Rohingya adalah salah satu etnik yang dapat dikatakan terpenjara di wilayah mereka sendiri. Semakin berlarutnya masalah ini membuat stereotip orang Rohingya menjadi momok yang menghambat solusi kemanusiaan bagi kelompok ini. Untuk itulah kasus ini perlu penanganan khusus. Apakah PBB sanggup membuka jalur dialog yang efektif untuk kasus ini?
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
Di Indonesia, para pengungsi tersebut akhirnya ditolong para nelayan Aceh dan Sumatera Utara setelah ditolak oleh Angkatan Laut Indonesia yang mendasarkan tindakan mereka atas hukum positif di Indonesia yang melarang warga negara asing masuk tanpa dokumen. Pertanyaannya apakah pertolongan yang diberikan nelayan Aceh akan dilanjutkan secara formal atau tidak oleh Pemerintah Indonesia?
Apakah ada dampak bila kita menerima dan menolak para pengungsi? Apakah ada dampaknya secara politik dan ekonomi terhadap Indonesia? Dalam konteks hak asasi manusia (HAM), masalah pengungsi diatur dalam Konvensi Pengungsi 1951, Protokol 1967, dan konvensi lain yang terkait, yaitu Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan (Statelessness) 1954 dan Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan tanpa Kewarganegaraan (The Reduction of Statelessness) .
Konvensi Pengungsi 1951 meliputi prinsip-prinsip untuk tidak melakukan pemulangan (nonrefoulment), tidak melakukan pengusiran (non-expulsion), tidak melakukan pembedaan (non-discrimination), dan menghindari pemidanaan akibat cara masukyangilegalbagi para pengungsi yang tiba. UNHCR mencatat bahwa diperkirakan ada 400.000 pengungsi Rohignya di Bangladesh. Jumlah ini sama dengan yang ada di negara-negara Teluk.
Sekitar 200.000 orang di Pakistan, 20.000 di Thailand, 15.000 di Malaysia, dan sekitar 2.000 orang di Indonesia. Sisanya sekitar 750.000 warga Rohingya tetap tinggal di sebelah utara Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Sebagian besar negara tersebut bukan penandatangan konvensi.
Negara anggota ASEAN yang menjadi pihak penandatangan konvensi ini hanya Filipina (1981) dan Kamboja (1992), sementara negara anggota lain termasuk Indonesia dan Malaysia tidak ikut meratifikasi konvensi tersebut. Bangladesh adalah negara yang paling banyak menampung pengungsi Rohingya. Mereka menerima para pengungsi karena posisi yang dekat dengan perbatasan Myanmar dan alasan persaudaraan sebagai sesama negara muslim seperti Indonesia dan Malaysia.
Para pengungsi umumnya tinggal di pusat dan sekitar wilayah kamp pengungsian Cox’s Bazar. Besarnya jumlah pengungsi di Bangladesh terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama tahun 1978 sebanyak 200.000 orang dan gelombang kedua tahun 1992 sebanyak 250.000 orang.
Ada banyak versi sejarah yang melatarbelakangi gelombang pengungsi tersebut dan sulit untuk menjelaskan versi masing-masing dalam ruang yang terbatas ini. Namun pada dekade tersebut ada dua fakta penting terjadi. Pertama adalah Perang Kemerdekaan Bangladesh (Pakistan Timur) terhadap Pakistan yang menimbulkan jutaan gelombang pengungsi muslim Bangladesh ke negara-negara tetangga, termasuk di Myamar.
Kedua, Myanmar tengah mengalami konflik internal, yaitu pemerintahan militer berlaku sangat otoriter baik kepada komunitas Rohingya maupun warganegara merekasendiri. Rezim militer yang berkuasa selain memerintah dengan keras juga berusaha mendapat simpati dari masyarakat dengan memanfaatkan konflik yang terjadi di antarakomunitasdankelompok etnik di Myanmar.
Konteks tersebut yang mendorong akumulasi gelombang pengungsi Rohingya hingga saat ini. Pada awalnya, Pemerintah Bangladesh menerima kembali dengan baik komunitas Rohingya sejak tahun 1971. Namun setelah 41 tahun, di tahun 2012 Pemerintah Bangladesh menyatakan tidak lagi menerima pengungsi Rohingya.
Alasan yang dikemukakan adalah ancaman terhadap keamanan nasional dan tidak adanya kontribusi komunitas Rohingya terhadap ekonomi Bangladesh (Hasan 2014). Pemerintah Bangladesh mendasarkan argumentasi ini dengan merujuk pada Pasal 33 ayat 2 Konvensi Pengungsi 1951 yang intinya menyatakan bahwa pengungsi dapat dipulangkan apabila mengancam keamanan negara penerima dan melakukan tindakan kriminal.
Dua alasan itu secara langsung atau tidak langsung menjadi keberatan bagi negara-negara lain untuk menerima pengungsi Rohingya. Perhatian dunia internasional yang terbatas dan solusi politik yang lambat terhadap masalah Rohingya telah menimbulkan akumulasi dampak negatif baik politik maupun ekonomi bagi negaranegara penerima maupun komunitas Rohingya itu sendiri.
Dampak negatif terutama disebabkan para pengungsi Rohingya membutuhkan pekerjaan dan pendapatan, sementara bantuan yang diterima tidak mencukupi. Mereka juga tinggal di wilayah pengungsian yang tidak layak sehingga mendorong mereka untuk segera mendapatkan penghasilan. Walaupun banyak yang mendapatkan pekerjaan dengan baik, tidak sedikit juga yang melanggar hukum.
Di Bangladesh sebagai contoh, Perdana Menteri Dipo Moni di tahun 2009 mengatakan bahwa ribuan pengungsi Rohingya yang tidak tercatat telah terlibat dalam illegal logging di kawasan konversi hutan lindung. Pemerintah Bangladesh juga kerap harus mendampingi warga Rohingya pemegang paspor Bangladesh di Arab Saudi yang melakukan tindakan kriminal.
Di beberapa kota di Bangladesh, pengungsi Rohingya juga mengambil pekerjaan-pekerjaan kasar seperti buruh harian dan tukang becak sehingga menimbulkan kecemburuan sosial dan pengangguran. Para pengungsi Rohingya yang telah hidup sangat menderita menjadi rentan untuk direkrut oleh kelompokkelompok militan seperti Rohingya Solidarity Organization (RSO) dan The Arakan Rohingya Islamic Front (ARIF).
Kedua organisasi ini memiliki tujuan untuk mendirikan negara Rohingya sendiri. Gambaran yang negatif tersebut pada akhirnya membuat gambaran keseluruhan tentang orang Rohingnya menjadi suram. Situasinya makin terpojok dan solusi politik yang ditunggu tak kunjung datang.
Mereka telah digolongkan sebagai warga yang tidak memiliki kewarganegaraan karena Pemerintah Myamar melalui Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1982 memiliki tiga kategori kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan nasional, asosiasi, dan naturalisasi. Etnik Rohingya sulit untuk memenuhi kriteria itu karena sejarah dan budaya yang berbeda.
Undang-Undang Kewarganegaraaan itu kemudian juga dibalas Bangladesh yang melakukan amendemen undangundang kewarganegaraan mereka di tahun yang sama. Amendemen mengatakan bahwa etnik Rohingya bukan bagian dari suku nasional mereka walaupun memiliki karakter fisik dan agama yang sama. Kunci dari masalah etnik Rohingya memang harus diselesaikan bersama-sama di tingkat internasional.
Ironisnya, belum ada forum yang bisa dianggap sebagai wadah pencari solusi untuk kasus ini. Etnik Rohingya adalah salah satu etnik yang dapat dikatakan terpenjara di wilayah mereka sendiri. Semakin berlarutnya masalah ini membuat stereotip orang Rohingya menjadi momok yang menghambat solusi kemanusiaan bagi kelompok ini. Untuk itulah kasus ini perlu penanganan khusus. Apakah PBB sanggup membuka jalur dialog yang efektif untuk kasus ini?
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
(ftr)