Integritas dalam Penegak Hukum
A
A
A
Negara hukum Indonesia hampir berusia 70 tahun. Sudahkan bangsa ini semakin dewasa, matang, dan arif dalam berhukum?
Sejujurnya, masih jauh dari harapan. Lebih elegan menyatakan, ada indikasi perjalanan bangsa ini salah kiblat, keluar dari rel perjuangan, dan menyimpang dari cita-cita bernegara hukum. Bahkan ada benarnya pula untuk menyatakan bahwa praktik penegakan hukum di negeri ini cenderung mengikuti paham (machtsstaat) negara berdasar atas kekuasaan dan kekuatan.
Indikasi dimaksud antara lain terjadinya arah tak menentu dalam penegakan hukum. Formalitasnya untuk mewujudkan keadilan, tetapi fakta di lapangan untuk mendapatkan kemenangan. KORAN SINDO dalam Tajuk berjudul ”Arah Penegakan Hukum” (11/5/ 15) seakan menjadi penyambung aspirasi publik. Dengan kritis dan lugas menyorot permasalahan penegakan hukum.
Dinyatakan: ”Betapa bahayanya jika hukum dilaksanakan sesuai dengan kepentingan politik jangka pendek oleh elite yang berkuasa. Hukum adalah wilayah independen, tidak bisa diintervensisi apapun baik kalangan eksekutif, legislatif maupun individu-individu di lembaga yudikatif itu sendiri.
Bahkan, opini publik pun semestinya tidakboleh memengaruhi objektivitas para penegak hukum. Namun hukum juga bukan hal yang bebas nilai. Hukum tidak akan berfungsi apa-apa jika berada di ruang hampa. Hukum pun seharusnya memiliki roh baik yang diembuskan para pemimpin yang baik dan berintegritas tinggi.” Integritas pemimpin oleh KORAN SINDO dipandang sebagai faktor penting dalam penegakan hukum.
Mengapa penting dan apa maknanya? Dalam berbagai kesempatan, saya diminta menjadi narasumber pertemuan kerja beberapa kementerian dengan materi tentang integritas. Ada yang dikaitkan dengan wawasan kebangsaan, ada pula yang dikaitkan dengan upaya mewujudkan wilayah bebas dari korupsi dan sebagainya. Saya pandang relevan, kali ini membicarakan perihal integritas dalam penegakan hukum.
Berdasarkan penelusuran berbagai sumber, baik pendapat para ahli ataupun literatur, dapat dikemukakan bahwa integritas (bahasa Inggris: integrity) senantiasa berbicara tentang ”jati diri” seseorang, mencakup kebeningan kalbu, kecerdasan akal, dan keterampilan perbuatan sehingga dalam setiap saat terlihat konsistensinya antara pemikiran, sikap, ucapan dan perilaku.
Sosok penegak hukum berintegritas, olehkarenanya, dapatdilihat dari ciri-ciri sebagai berikut: (1) berakhlak mulia, (2) amanah dalam jabatan, (3) arif-bijaksana dalam menghadapi realitas plural, (4) konsisten antara ucapan dan perbuatan, (5) taat pada nilai dan norma kehidupan (baik tertulis maupun tak tertulis), (6) berorientasi pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kualitas negara hukum Indonesia amat ditentukan oleh integritas penegak hukum dan pencari keadilan. Pengejawantahan integritas dapat disimak kembali melalui sejarah perjuangan bangsa ketika membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Penjajahan itu bertentangan dengan perikeadilan, oleh karenanya wajib diperangi.
Pada saat itu, integritas manusia Indonesia dapat dibanggakan. Mereka senantiasa tampil di depan dengan semangat tinggi, berjuang tanpa kenal lelah. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Soepomo, Ahmad Soebardjo, dan kawankawannya ketika itu masih berumur di bawah 30-an tahun.
Semangat perjuangan para pendahulu mestinya menginspirasi penegak hukum generasi sekarang. Semangat perjuangannya sepadan dengan semangat pemuda, terus membara dan berkobar-kobar. Itulah integritas yang kita perlukan. Kata Bung Karno: ”Kalau pemuda sudah berumur 21, 22, sama sekali tidak berjuang, tak bercitacita, tak giat untuk Tanah Air dan bangsa...
Pemuda yang begini baiknya digunduli saja kepalanya....” Dinyatakan pula: ”Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut gunung semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Pernyataan itu secara tersirat memberikan dorongan, semangat, dan motivasi agar negara hukum ini mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka penegak hukum dan pencari keadilan mesti memiliki integritas tinggi.
Sinergi dan kebersatuan antara penegak hukum dan pencari keadilan amat diperlukan. Dalam perspektif Philosophischegrondslag, memosisikan Pancasila sebagai dasar membangun integritas, hemat saya, relevan untuk saat ini dan masa depan.
Dari amanat Bung Karno di depan Kongres Rakyat Jawa Timur, 24 September 1955 di Surabaya, dapat disimak bahwa Pancasila sebagai lima mutiara cemerlang terbenam di dalam bumi Indonesia karena penjajahan bangsa asing selama 350 tahun. Pancasila sebagai way of life sudah ada sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik Indonesia.
Dari dahulu, bangsa Indonesia telah mengenal Tuhan dan hidup di alam Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari dahulu, bangsa Indonesia telah cinta kepada Tanah Air dan bangsa. Dari dahulu, kita sudah mengenal rasa kebangsaan dan rasa kemanusiaan. Demikian pula rasa kedaulatan rakyat dan cita-cita keadilan sosial.
Integritas dalam penegakan hukum akan mampu dibangun bila nilai-nilai Pancasila sebagai Philosophischegrondslag mampu ditanamkan ke dalam hatisanubari setiap penegak hukum dan pencari keadilan sehingga daripadanya muncul pemikiran, sikap, dan perilaku yang senantiasa berkiblat pada keadilan sosial dan berkontribusi demi tercapainya tujuan bernegara.
Mengapa penegakan hukum di negara berdasarkan Pancasila miskin integritas? Karena penerimaan Pancasila sebatas formalitas, bahkan ada pihak yang tega mengomoditaskan Pancasila. Jadilah sistem penegakan hukum di negeri ini tidak berdasarkan Pancasila.
Dengan mengimpor sistem penegakan hukum dari negara asing, dibiarkan ”lubang integritas” menganga sehingga penegak hukum yang dulunya tergolong jujur pun tersungkur di dalam ”lubang” sistem yang korup. Isme-isme asing, utamanya modernisme, kapitalisme, dan positivisme, mengajarkan tentang arti pentingnya materi duniawi.
Kekuasaan, harta benda, dan uang didewa-dewakan. Akar korupsi adalah nafsu cinta dunia. Nafsu cinta dunia yang tak terkendali mendorong penegak hukum serakah terhadap hak-hak orang lain. Menjadi paradoksal bila jabatan, harta benda, dan sejenisnya diperoleh tanpa hirau terhadap integritas. Tanpa integritas, penegakan hukum berada dalam kubangan kotor.
Nabi Muhammad SAW bersabda: Yang kotor tidak bisa membersihkan yang kotor. Alangkah indah dan elegan bila pemerintahan sekarang mampu melakukan pembenahan, pembersihan sistem dan aparat penegak hukum sebagai langkah mewujudkan integritas. Wallahu aWallahu alam.
Prof DR Sudjito SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Sejujurnya, masih jauh dari harapan. Lebih elegan menyatakan, ada indikasi perjalanan bangsa ini salah kiblat, keluar dari rel perjuangan, dan menyimpang dari cita-cita bernegara hukum. Bahkan ada benarnya pula untuk menyatakan bahwa praktik penegakan hukum di negeri ini cenderung mengikuti paham (machtsstaat) negara berdasar atas kekuasaan dan kekuatan.
Indikasi dimaksud antara lain terjadinya arah tak menentu dalam penegakan hukum. Formalitasnya untuk mewujudkan keadilan, tetapi fakta di lapangan untuk mendapatkan kemenangan. KORAN SINDO dalam Tajuk berjudul ”Arah Penegakan Hukum” (11/5/ 15) seakan menjadi penyambung aspirasi publik. Dengan kritis dan lugas menyorot permasalahan penegakan hukum.
Dinyatakan: ”Betapa bahayanya jika hukum dilaksanakan sesuai dengan kepentingan politik jangka pendek oleh elite yang berkuasa. Hukum adalah wilayah independen, tidak bisa diintervensisi apapun baik kalangan eksekutif, legislatif maupun individu-individu di lembaga yudikatif itu sendiri.
Bahkan, opini publik pun semestinya tidakboleh memengaruhi objektivitas para penegak hukum. Namun hukum juga bukan hal yang bebas nilai. Hukum tidak akan berfungsi apa-apa jika berada di ruang hampa. Hukum pun seharusnya memiliki roh baik yang diembuskan para pemimpin yang baik dan berintegritas tinggi.” Integritas pemimpin oleh KORAN SINDO dipandang sebagai faktor penting dalam penegakan hukum.
Mengapa penting dan apa maknanya? Dalam berbagai kesempatan, saya diminta menjadi narasumber pertemuan kerja beberapa kementerian dengan materi tentang integritas. Ada yang dikaitkan dengan wawasan kebangsaan, ada pula yang dikaitkan dengan upaya mewujudkan wilayah bebas dari korupsi dan sebagainya. Saya pandang relevan, kali ini membicarakan perihal integritas dalam penegakan hukum.
Berdasarkan penelusuran berbagai sumber, baik pendapat para ahli ataupun literatur, dapat dikemukakan bahwa integritas (bahasa Inggris: integrity) senantiasa berbicara tentang ”jati diri” seseorang, mencakup kebeningan kalbu, kecerdasan akal, dan keterampilan perbuatan sehingga dalam setiap saat terlihat konsistensinya antara pemikiran, sikap, ucapan dan perilaku.
Sosok penegak hukum berintegritas, olehkarenanya, dapatdilihat dari ciri-ciri sebagai berikut: (1) berakhlak mulia, (2) amanah dalam jabatan, (3) arif-bijaksana dalam menghadapi realitas plural, (4) konsisten antara ucapan dan perbuatan, (5) taat pada nilai dan norma kehidupan (baik tertulis maupun tak tertulis), (6) berorientasi pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kualitas negara hukum Indonesia amat ditentukan oleh integritas penegak hukum dan pencari keadilan. Pengejawantahan integritas dapat disimak kembali melalui sejarah perjuangan bangsa ketika membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Penjajahan itu bertentangan dengan perikeadilan, oleh karenanya wajib diperangi.
Pada saat itu, integritas manusia Indonesia dapat dibanggakan. Mereka senantiasa tampil di depan dengan semangat tinggi, berjuang tanpa kenal lelah. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Soepomo, Ahmad Soebardjo, dan kawankawannya ketika itu masih berumur di bawah 30-an tahun.
Semangat perjuangan para pendahulu mestinya menginspirasi penegak hukum generasi sekarang. Semangat perjuangannya sepadan dengan semangat pemuda, terus membara dan berkobar-kobar. Itulah integritas yang kita perlukan. Kata Bung Karno: ”Kalau pemuda sudah berumur 21, 22, sama sekali tidak berjuang, tak bercitacita, tak giat untuk Tanah Air dan bangsa...
Pemuda yang begini baiknya digunduli saja kepalanya....” Dinyatakan pula: ”Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut gunung semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Pernyataan itu secara tersirat memberikan dorongan, semangat, dan motivasi agar negara hukum ini mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka penegak hukum dan pencari keadilan mesti memiliki integritas tinggi.
Sinergi dan kebersatuan antara penegak hukum dan pencari keadilan amat diperlukan. Dalam perspektif Philosophischegrondslag, memosisikan Pancasila sebagai dasar membangun integritas, hemat saya, relevan untuk saat ini dan masa depan.
Dari amanat Bung Karno di depan Kongres Rakyat Jawa Timur, 24 September 1955 di Surabaya, dapat disimak bahwa Pancasila sebagai lima mutiara cemerlang terbenam di dalam bumi Indonesia karena penjajahan bangsa asing selama 350 tahun. Pancasila sebagai way of life sudah ada sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik Indonesia.
Dari dahulu, bangsa Indonesia telah mengenal Tuhan dan hidup di alam Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari dahulu, bangsa Indonesia telah cinta kepada Tanah Air dan bangsa. Dari dahulu, kita sudah mengenal rasa kebangsaan dan rasa kemanusiaan. Demikian pula rasa kedaulatan rakyat dan cita-cita keadilan sosial.
Integritas dalam penegakan hukum akan mampu dibangun bila nilai-nilai Pancasila sebagai Philosophischegrondslag mampu ditanamkan ke dalam hatisanubari setiap penegak hukum dan pencari keadilan sehingga daripadanya muncul pemikiran, sikap, dan perilaku yang senantiasa berkiblat pada keadilan sosial dan berkontribusi demi tercapainya tujuan bernegara.
Mengapa penegakan hukum di negara berdasarkan Pancasila miskin integritas? Karena penerimaan Pancasila sebatas formalitas, bahkan ada pihak yang tega mengomoditaskan Pancasila. Jadilah sistem penegakan hukum di negeri ini tidak berdasarkan Pancasila.
Dengan mengimpor sistem penegakan hukum dari negara asing, dibiarkan ”lubang integritas” menganga sehingga penegak hukum yang dulunya tergolong jujur pun tersungkur di dalam ”lubang” sistem yang korup. Isme-isme asing, utamanya modernisme, kapitalisme, dan positivisme, mengajarkan tentang arti pentingnya materi duniawi.
Kekuasaan, harta benda, dan uang didewa-dewakan. Akar korupsi adalah nafsu cinta dunia. Nafsu cinta dunia yang tak terkendali mendorong penegak hukum serakah terhadap hak-hak orang lain. Menjadi paradoksal bila jabatan, harta benda, dan sejenisnya diperoleh tanpa hirau terhadap integritas. Tanpa integritas, penegakan hukum berada dalam kubangan kotor.
Nabi Muhammad SAW bersabda: Yang kotor tidak bisa membersihkan yang kotor. Alangkah indah dan elegan bila pemerintahan sekarang mampu melakukan pembenahan, pembersihan sistem dan aparat penegak hukum sebagai langkah mewujudkan integritas. Wallahu aWallahu alam.
Prof DR Sudjito SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
(ftr)