Prinsip Arbitrase pada Sistem Hukum Indonesia Perlu Diselaraskan dengan Kaidah Internasional
A
A
A
FRANS H WINARTA
Ketua ICC Indonesia Bidang Arbitrase dan Hukum Bisnis,
Anggota Arbitrer di International Court of Arbitration of ICC, Paris
Dalam setiap transaksi bisnis internasional, para pelaku usaha sering dihadapkan pada suatu benturan yang sering mengakibatkan timbulnya sengketa bisnis. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan sistem hukum, kebiasaan, dan budaya dari setiap pelaku usaha.
Untuk mengatasihaltersebut, diperlukansuatu metode alternatif penyelesaian sengketa yang dapat memberikan solusi kepada mereka. Selain litigasi di dalam pengadilan yang konvensional, sekarang dikenal alternatif penyelesaian sengketa berupa arbitrase perdagangan (commercial arbitration).
Pada saat ini, arbitrase telah berkembang menjadi salah satu metode alternatif penyelesaian sengketa yang diminati oleh para pelaku usaha. Hal ini disebabkan karakteristik arbitrase yang dinilai dapat memenuhi kebutuhan dari pelaku usaha.
Pertama, putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikatpara pihak (final and binding), ini berarti bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali, sebagaimana pada putusan pengadilan negeri, yang mana akan lebih menghemat waktu (time efficient).
Kedua, fleksibilitas dari proses arbitrase. Dalam proses beracara di arbitrase dikenal adanya prinsip kebebasan para pihak dalam menentukan proses arbitrase (party autonomy). Berdasarkan prinsip ini, para pihak dapat dengan bebas menentukan prosedur acara arbitrase yang mereka kehendaki, seperti bahasa yang digunakan, jumlah arbitrer, penunjukan arbitrer, atau hukum yang berlaku.
Ketiga, kerahasiaan. Sidang arbitrase selalu dilakukan dalam ruang tertutup (close door session), ini berarti sidang arbitrase tidak diperuntukkan untuk umum, tetapi hanya bagi para pihak yang bersengketa atau kuasanya.
Arbitrase dapat diartikan sebagai cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak.Sengketa tersebut diselesaikan oleh hakim partikelir yang disebut dengan arbitrer.
Arbitrer yang ditunjuk dapat berupa arbitrer tunggal maupun berupa majelis arbitrase yang terdiri dari tiga orang arbitrer. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) mengatur bahwa kesepakatan tersebut harus dibuat dalam bentuk tertulis. Kemudian, perjanjian arbitrase yang sah mengakibatkan para pihak tidak dapat lagi mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan negeri.
Ini berarti bahwa para pihak telah memberikan kewenangan hanya kepada arbitrer untuk memeriksa dan memutus perkara. Setelah memahami arbitrase sebagai metode alternatif penyelesaian sengketa, sekarang yang menjadi pertanyaan apakah UU Arbitrase sudah sesuai dengan kebutuhan para pelaku usaha? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan penerapan prinsip-prinsip dalam arbitrase internasional yang berlaku pada UU Arbitrase.
Diawali dengan prinsip yang menjadi dasar dari arbitrase, yaitu prinsip party autonomy. Prinsip party autonomy merupakan prinsip dasar yang sangat penting dalam arbitrase, di mana para pihak bebas menentukan proses acara arbitrase yang mereka kehendaki bersama. Namun, seperti halnya dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, kebebasan dalam prinsip party autonomy sering dijadikan dasar bagi para pihak untuk menghambat proses arbitrase itu sendiri.
Prinsip party autonomy tecermin dalam Pasal 31 ayat (1) UU Arbitrase, yang pada intinya mengatur secara tegas bahwa para pihak bebas menentukan prose sacara arbitrase yang mereka kehendaki, dengan catatan bahwa kesepakatan mereka tidak bertentangan dengan UU Arbitrase itu sendiri.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa UU Arbitrase telah mengadopsi prinsip party autonomydan telah sejalandengankaidahhukumarbitrase internasional. Kemudian Prinsip Pemisahan atauSeparability Principle. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu klausul arbitrase berdiri sendiri dan memiliki nyawa yang terpisah dengan perjanjian pokok.
Oleh karena itu, berdasarkan separability principle, batalnya suatu perjanjian pokok tidak memengaruhi keabsahan perjanjian arbitrase. UU Arbitrase Nasional telah menganut separability principle, yang mana hal tersebut telah dituangkan dalam pasal 10, yang menyatakan bahwa perjanjian arbitrase tidak akan menjadi batal dengan berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Prinsip arbitrase yang berikutnya yaitu Kompetenz-Kompetenz principle. Prinsip ini dapat diartikan sebagai prinsip yang memberikan kewenangan kepada majelis arbitrase untuk menentukan kompetensinya sendiri. Oleh karena itu, keberatan dari salah satu pihak atas yurisdiksi dari majelis arbitrase diajukan kepada majelis dan majelis sendirilah yang menentukan.
Namun, UU Arbitrase tidak mengatur secara khusus mengenai kewenangan yang dimiliki oleh majelis arbitrase untuk menentukan yurisdiksinya sendiri, sehingga banyak pihak mengajukan keberatan atas kompetensi dari majelis arbitrase ke pengadilan.
Hal tersebut sering kali menghambat proses pemeriksaan arbitrase itu sendiri. Di samping mengenai permasalahan di atas, dalam praktiknya terdapat juga permasalahan mengenai pembatalan putusan arbitrase yang mana alasannya sering mengada-ada.
Pembatalan putusan arbitrase dapat dibatalkan dengan alasan-alasan limitatif yang terkandung di dalam Pasal 70 UU Arbitrase, yaitu adanya: (i) dokumen palsu; (ii) bukti yang disembunyikan; atau (iii) tipu muslihat.
Namun sangat disayangkan, dalam praktiknya banyak putusan arbitrase yang dibatalkan dengan alasan benturan kepentingan (conflict of interests) arbiter atau alasan putusan arbitrase melawan ketertiban umum (public policy) yang jelas-jelas tidak terdapat dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan dapat menghambat proses arbitrase itu sendiri.
Padahal seharusnya alasan melawan ketertiban umum (public policy) merupakan alasan yang digunakan untuk menghambat atau menunda exequatur (perintah untuk melaksanakan putusan arbitrase oleh pengadilan) sesuai dengan Pasal 66 UU Arbitrase.
Sedangkan alasan benturan kepentingan (conflict of interests) arbitrer dengan para pihak seharusnya diselesaikan dengan mengganti arbitrer yang bersangkutan (recuse) dengan mengajukan tuntutan hak ingkar (challenge) sesuai Pasal 22 UU Arbitrase yang mengatur bahwa hak ingkar dapat diajukan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan, atau pekerjaan dengan salah satu pihak, sehingga tidak tepat jika hal-hal di atas dijadikan alasan pembatalan putusan arbitrase.
Hal ini disebabkan oleh ketidakpahaman dan ketidakpercayaan mereka terhadap arbitrase. Selain itu, mereka merasa lebih nyaman dan terbiasa dengan proses litigasi konvensional di pengadilan.
UU Arbitrase dihadapkan pada tantangan zaman, yaitu kepastian hukum dan kecepatan dalam alternatif penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, perlu dilakukan amendemen terhadap UU Arbitrase yang mengatur kewenangan kepada majelis arbitrase untuk menentukan sendiri yurisdiksi yang dimilikinya terhadap perlawanan yurisdiksi arbitrase.
Kemudian, apabila Indonesia mampu menjadi negara yang lebih bersahabat terhadap arbitrase (arbitration friendly) ini akan mendorong iklim investasi di Indonesia yang lebih kondusif, hal ini dikarenakan, pada saat ini arbitrase telah menjadi pilihan utama bagi para pelaku usaha baik asing maupun domestik untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Selain daripada itu, UU Arbitrase pun perlu juga diselaraskan dengan peraturan dan praktik dari institusi-institusi arbitrase internasional seperti ICC dan UNCITRAL, antara lain peraturan mengenai arbitrer darurat atau emergency arbitrator provisions yang dapat memberi solusi cepat dalam keadaan darurat untuk melindungi hak dan aset dari pihak yang beperkara.Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan UU Arbitrase dan perubahan sikap terhadap arbitrase sangat diperlukan.
Apabila Indonesia mengabaikan hal tersebut, negara tidak dapat memenuhi tuntutan akan kepastian hukum bagi para pelaku usaha di kemudian hari.
Ketua ICC Indonesia Bidang Arbitrase dan Hukum Bisnis,
Anggota Arbitrer di International Court of Arbitration of ICC, Paris
Dalam setiap transaksi bisnis internasional, para pelaku usaha sering dihadapkan pada suatu benturan yang sering mengakibatkan timbulnya sengketa bisnis. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan sistem hukum, kebiasaan, dan budaya dari setiap pelaku usaha.
Untuk mengatasihaltersebut, diperlukansuatu metode alternatif penyelesaian sengketa yang dapat memberikan solusi kepada mereka. Selain litigasi di dalam pengadilan yang konvensional, sekarang dikenal alternatif penyelesaian sengketa berupa arbitrase perdagangan (commercial arbitration).
Pada saat ini, arbitrase telah berkembang menjadi salah satu metode alternatif penyelesaian sengketa yang diminati oleh para pelaku usaha. Hal ini disebabkan karakteristik arbitrase yang dinilai dapat memenuhi kebutuhan dari pelaku usaha.
Pertama, putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikatpara pihak (final and binding), ini berarti bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali, sebagaimana pada putusan pengadilan negeri, yang mana akan lebih menghemat waktu (time efficient).
Kedua, fleksibilitas dari proses arbitrase. Dalam proses beracara di arbitrase dikenal adanya prinsip kebebasan para pihak dalam menentukan proses arbitrase (party autonomy). Berdasarkan prinsip ini, para pihak dapat dengan bebas menentukan prosedur acara arbitrase yang mereka kehendaki, seperti bahasa yang digunakan, jumlah arbitrer, penunjukan arbitrer, atau hukum yang berlaku.
Ketiga, kerahasiaan. Sidang arbitrase selalu dilakukan dalam ruang tertutup (close door session), ini berarti sidang arbitrase tidak diperuntukkan untuk umum, tetapi hanya bagi para pihak yang bersengketa atau kuasanya.
Arbitrase dapat diartikan sebagai cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak.Sengketa tersebut diselesaikan oleh hakim partikelir yang disebut dengan arbitrer.
Arbitrer yang ditunjuk dapat berupa arbitrer tunggal maupun berupa majelis arbitrase yang terdiri dari tiga orang arbitrer. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) mengatur bahwa kesepakatan tersebut harus dibuat dalam bentuk tertulis. Kemudian, perjanjian arbitrase yang sah mengakibatkan para pihak tidak dapat lagi mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan negeri.
Ini berarti bahwa para pihak telah memberikan kewenangan hanya kepada arbitrer untuk memeriksa dan memutus perkara. Setelah memahami arbitrase sebagai metode alternatif penyelesaian sengketa, sekarang yang menjadi pertanyaan apakah UU Arbitrase sudah sesuai dengan kebutuhan para pelaku usaha? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan penerapan prinsip-prinsip dalam arbitrase internasional yang berlaku pada UU Arbitrase.
Diawali dengan prinsip yang menjadi dasar dari arbitrase, yaitu prinsip party autonomy. Prinsip party autonomy merupakan prinsip dasar yang sangat penting dalam arbitrase, di mana para pihak bebas menentukan proses acara arbitrase yang mereka kehendaki bersama. Namun, seperti halnya dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, kebebasan dalam prinsip party autonomy sering dijadikan dasar bagi para pihak untuk menghambat proses arbitrase itu sendiri.
Prinsip party autonomy tecermin dalam Pasal 31 ayat (1) UU Arbitrase, yang pada intinya mengatur secara tegas bahwa para pihak bebas menentukan prose sacara arbitrase yang mereka kehendaki, dengan catatan bahwa kesepakatan mereka tidak bertentangan dengan UU Arbitrase itu sendiri.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa UU Arbitrase telah mengadopsi prinsip party autonomydan telah sejalandengankaidahhukumarbitrase internasional. Kemudian Prinsip Pemisahan atauSeparability Principle. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu klausul arbitrase berdiri sendiri dan memiliki nyawa yang terpisah dengan perjanjian pokok.
Oleh karena itu, berdasarkan separability principle, batalnya suatu perjanjian pokok tidak memengaruhi keabsahan perjanjian arbitrase. UU Arbitrase Nasional telah menganut separability principle, yang mana hal tersebut telah dituangkan dalam pasal 10, yang menyatakan bahwa perjanjian arbitrase tidak akan menjadi batal dengan berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Prinsip arbitrase yang berikutnya yaitu Kompetenz-Kompetenz principle. Prinsip ini dapat diartikan sebagai prinsip yang memberikan kewenangan kepada majelis arbitrase untuk menentukan kompetensinya sendiri. Oleh karena itu, keberatan dari salah satu pihak atas yurisdiksi dari majelis arbitrase diajukan kepada majelis dan majelis sendirilah yang menentukan.
Namun, UU Arbitrase tidak mengatur secara khusus mengenai kewenangan yang dimiliki oleh majelis arbitrase untuk menentukan yurisdiksinya sendiri, sehingga banyak pihak mengajukan keberatan atas kompetensi dari majelis arbitrase ke pengadilan.
Hal tersebut sering kali menghambat proses pemeriksaan arbitrase itu sendiri. Di samping mengenai permasalahan di atas, dalam praktiknya terdapat juga permasalahan mengenai pembatalan putusan arbitrase yang mana alasannya sering mengada-ada.
Pembatalan putusan arbitrase dapat dibatalkan dengan alasan-alasan limitatif yang terkandung di dalam Pasal 70 UU Arbitrase, yaitu adanya: (i) dokumen palsu; (ii) bukti yang disembunyikan; atau (iii) tipu muslihat.
Namun sangat disayangkan, dalam praktiknya banyak putusan arbitrase yang dibatalkan dengan alasan benturan kepentingan (conflict of interests) arbiter atau alasan putusan arbitrase melawan ketertiban umum (public policy) yang jelas-jelas tidak terdapat dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan dapat menghambat proses arbitrase itu sendiri.
Padahal seharusnya alasan melawan ketertiban umum (public policy) merupakan alasan yang digunakan untuk menghambat atau menunda exequatur (perintah untuk melaksanakan putusan arbitrase oleh pengadilan) sesuai dengan Pasal 66 UU Arbitrase.
Sedangkan alasan benturan kepentingan (conflict of interests) arbitrer dengan para pihak seharusnya diselesaikan dengan mengganti arbitrer yang bersangkutan (recuse) dengan mengajukan tuntutan hak ingkar (challenge) sesuai Pasal 22 UU Arbitrase yang mengatur bahwa hak ingkar dapat diajukan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan, atau pekerjaan dengan salah satu pihak, sehingga tidak tepat jika hal-hal di atas dijadikan alasan pembatalan putusan arbitrase.
Hal ini disebabkan oleh ketidakpahaman dan ketidakpercayaan mereka terhadap arbitrase. Selain itu, mereka merasa lebih nyaman dan terbiasa dengan proses litigasi konvensional di pengadilan.
UU Arbitrase dihadapkan pada tantangan zaman, yaitu kepastian hukum dan kecepatan dalam alternatif penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, perlu dilakukan amendemen terhadap UU Arbitrase yang mengatur kewenangan kepada majelis arbitrase untuk menentukan sendiri yurisdiksi yang dimilikinya terhadap perlawanan yurisdiksi arbitrase.
Kemudian, apabila Indonesia mampu menjadi negara yang lebih bersahabat terhadap arbitrase (arbitration friendly) ini akan mendorong iklim investasi di Indonesia yang lebih kondusif, hal ini dikarenakan, pada saat ini arbitrase telah menjadi pilihan utama bagi para pelaku usaha baik asing maupun domestik untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Selain daripada itu, UU Arbitrase pun perlu juga diselaraskan dengan peraturan dan praktik dari institusi-institusi arbitrase internasional seperti ICC dan UNCITRAL, antara lain peraturan mengenai arbitrer darurat atau emergency arbitrator provisions yang dapat memberi solusi cepat dalam keadaan darurat untuk melindungi hak dan aset dari pihak yang beperkara.Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan UU Arbitrase dan perubahan sikap terhadap arbitrase sangat diperlukan.
Apabila Indonesia mengabaikan hal tersebut, negara tidak dapat memenuhi tuntutan akan kepastian hukum bagi para pelaku usaha di kemudian hari.
(bbg)