Siklus badai Demokrat

Kamis, 13 Desember 2012 - 09:22 WIB
Siklus badai Demokrat
Siklus badai Demokrat
A A A
Dewi fortuna tampaknya masih enggan berlabuh di pangkuan Partai Demokrat. Sekretaris Dewan Pembina Demokrat sekaligus Menpora, Andi Alifian Mallarangeng, ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang oleh KPK.

Bagaimana nasib Demokrat dalam Pemilu 2014 jika Anas Urbaningrum juga turut terseret? Penetapan Andi sebagai tersangka kasus Hambalang cukup mengejutkan. Soalnya, nama yang lebih sering “dinyanyikan” oleh M Nazarudin, mantan bendahara umum Partai Demokrat, adalah Anas Urbaningrum, baik dalam kasus Wisma Atlet Palembang maupun perkara Hambalang.

Apalagi, Andi ditengarai adalah politisi muda kesayangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Presiden dan Ibu Negara pula yang secara langsung ataupun tak langsung memberikan dukungan dalam pencalonan Andi sebagai ketua umum Partai Demokrat, meski akhirnya dikalahkan pesaingnya, Anas Urbaningrum.

Tampaknya sadar akan jasa politik SBY yang begitu besar dalam karier politiknya itu, Andi langsung mundur sebagai menteri. Seperti dinyatakan secara publik, Andi tidak ingin membebani Presiden dan Kabinet Indonesia Bersatu II terkait kasus hukum yang dituduhkan baginya.

Lebih jauh lagi, Andi tak mau membebani partai sehingga dia pun mundur dari posisi sekretaris Dewan Pembina Demokrat, posisi sangat strategis karena setiap saat dia bisa berkomunikasi dengan SBY selaku ketua Dewan Pembina.

Politisi cemerlang

Sulit dipungkiri, penetapan Andi sebagai tersangka adalah badai besar bagi Demokrat. Betapa tidak, hanya sekitar satu setengah tahun menjelang Pemilu 2014, Demokrat harus kehilangan salah satu kader terbaiknya. Tidak hanya itu, status hukum Andi juga merupakan pukulan berat bagi Presiden dan Ibu Negara karena doktor ilmu politik dari Northern Illinois University, Illinois, AS (1997), ini dikenal sangat loyal terhadap SBY dan Ani Yudhoyono.

Secara faktual, Andi Mallarangeng adalah satu dari sedikit politisi muda cemerlang yang karier politiknya melesat dalam waktu relatif pendek. Andi turut merancang undang-undang bidang politik yang menjadi kerangka hukum pemilu demokratis pertama pasca-Orde Baru pada 1999.

Bersama Profesor Ryaas Rasyid, mentor politiknya, Andi juga turut merancang UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, regulasi pertama yang meletakkan dasar pemberian otonomi luas bagi daerah.

Usai menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum untuk Pemilu 1999 dari unsur pemerintah, bersama Profesor Ryaas, Andi turut mendirikan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), tapi kemudian mundur setelah gagal menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan DKI Jakarta.

Namun lantaran kecewa dengan pilihan PPDK yang mendukung calon presiden Wiranto, Andi bergabung dengan Demokrat dan menjadi tim sukses SBY-JK pada Pemilu 2004.

Meski gagal terpilih sebagai ketua umum dalam kongres Demokrat di Bandung (2010), Andi dipercaya SBY sebagai Menpora sekaligus sekretaris Dewan Pembina Demokrat.

Badai belum berakhir

Meski Andi mundur dari posisi sebagai sekretaris Dewan Pembina Demokrat, tidak berarti beban politik parpol yang digagaskan SBY ini telah berakhir. Setelah M. Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Andi Mallarangeng, Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum berpotensi menjadi tersangka baru dalam perkara yang melibatkan Nazaruddin.

Pasalnya, terlepas dari adanya “dendam” ataupun kekecewaan pribadi Nazaruddin terhadap Anas, nama mantan Ketua Umum PB HMI ini justru lebih sering disebut dalam persidangan Tipikor ketimbang nama Andi.

Potensi Anas menjadi tersangka menjadi semakin besar jika Andi Mallarangeng turut “menyanyikan” keterlibatan Anas dalam perkara Hambalang. Apabila pada akhirnya Anas menjadi tersangka, siklus badai yang menimpa Demokrat bisa jadi belum akan berakhir.

Soalnya, parpol peserta pemilu mendatang sudah harus mengikuti jadwal ketat tahapan pemilu sejak awal 2013. Pada pekan kedua April 2013, misalnya, parpol harus mengajukan daftar calon anggota DPR yang wajib ditandatangani oleh ketua umum dan sekjen.

Itu artinya, jika Anas terjerat sebagai tersangka sebelum April 2013, maka Demokrat harus menetapkan ketua umum baru agar tahap pencalonan legislatif tidak cacat secara hukum. Persoalan pelik yang tengah dihadapi Demokrat dewasa ini adalah ketidakpastian menunggu nasib Anas.

Pada saat yang sama Demokrat tidak memiliki kemampuan untuk mendesak KPK agar mempercepat kepastian status hukum bagi Anas. Apalagi Presiden SBY telah menegaskan komitmennya untuk tidak mencampuri proses hukum di komisi antikorupsi itu.

Karena itu tidak ada pilihan lain bagi para petinggi Demokrat untuk menyelamatkan partai, kecuali mendesak Anas agar secara ksatria mundur sementara dari posisi ketua umum. Kepastian status hukum bagi Anas bisa berlangsung berbulan-bulan sementara jadwal dan tahapan Pemilu 2014 yang ditetapkan KPU tidak mungkin mundur.

Seperti pernah saya tulis sebelumnya di harian ini, kekosongan sementara posisi ketua umum Demokrat bisa dirangkap oleh SBY selaku ketua Dewan Pembina sekaligus ketua Majelis Tinggi Partai. Apa boleh buat, parpol segitiga biru yang berkampanye “Katakan tidak pada korupsi” ini tengah diterpa siklus badai amat besar.

Elektabilitasnya yang cenderung merosot tentu bakal semakin merosot jika jajaran pimpinan Demokrat gagal merumuskan solusi cerdas dalam beberapa waktu ke depan.

Sebelum terlambat, Presiden SBY selaku figur sentral partai secepat mungkin perlu mengambil langkah-langkah penyelamatan partai agar Demokrat tidak tertinggal sebagai sejarah. Ya, sejarah partai yang pernah menang pemilu, namun akhirnya gagal karena kepercayaan yang diberikan rakyat tidak dirawat dan dikelola secara benar.

SYAMSUDDIN HARIS
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
(lns)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3751 seconds (0.1#10.140)