Hari pahlawan dan rekonsiliasi nasional
A
A
A
Jelang Hari Pahlawan 10 November 2012, pemerintah telah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada dua tokoh pendiri bangsa, yakni Soekarno dan Hatta. Gelar tersebut merupakan bentuk apresiasi negara atas jasa kedua tokoh besar itu dalam perjuangan kemerdekaan.
Saat pemberian gelar saya ikut menghadirinya di Istana Negara, Rabu 7 Oktober 2012, yang di luar kebiasaan diawali dengan Pidato Presiden serta dihadiri juga oleh keluarga besar Bung Karno dan Bung Hatta. Terasa bahwa gelar pahlawan nasional semakin memperkuat kecintaan kita kepada kedua tokoh pendiri bangsa itu dan membuka ruang bagi jalannya rekonsiliasi nasional.
Sebagaimana disampaikan Presiden, Bung Karno dan Bung Hatta merupakan simbol perlawanan terhadap setiap penjajahan. Keduanya juga menjadi sumber inspirasi dan kekuatan bagi seluruh bangsa Indonesia di seluruh pelosok negeri untuk bangkit dan bersatu membela, merebut, dan mempertahankan kemerdekaan dengan tetesan darah, pengorbanan harta-benda, jiwa, dan raga.
Bangsa dan Republik ini adalah karya monumental mereka, bersama para pahlawan lain di seluruh daerah yang gugur melawan penjajahan. Sejak mereka memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, baru pada 7 November 2012 kedua tokoh proklamator itu mendapatkan gelar pahlawan nasional.
Sebelumnya, pada 27 September 2012, pimpinan MPR,DPR, dan DPD telah menyampaikan usulan gelar pahlawan nasional untuk Bung Karno dan Bung Hatta karena sejauh ini pemberi gelar bagi keduanya begitu lambat.
Tidak bisa dimungkiri, keterlambatan pemberian gelar pahlawan nasional tidak lepas dari tarik ulur sejarah yang cukup panjang dan hambatan Tap MPRS Nomor 33/MPR/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Soekarno yang menjadi akibat dari pecahnya pemberontakan G- 30S/PKI.
Meski pemberian gelar tersebut baru diberikan sekarang, spirit di balik gelar tersebut sesungguhnya memberi suasana baru yang sejuk. Bahwa bangsa ini telah dan sedang berjalan menatap masa depan yang lebih baik dengan berpijak pada kearifan masa lalu yang telah diwariskan oleh para the founding fathers.
Pemberian gelar itu bukan sekadar untuk mengakui peran dan eksistensi kedua tokoh besar itu dalam sejarah bangsa Indonesia, tetapi juga upaya rekonsiliasi na-sional dalam rangka merajut kembali ikatan kebangsaan serta untuk meneguhkan penghormatan dan kemuliaan kepada para pendahulu bangsa ini.
Bagaimanapun kita patut menghargai jasajasa para pahlawan karena berkat perjuangan merekalah bangsa yang besar ini bisa berdiri tegak dan kokoh sampai saat ini, meskipun terdapat begitu banyak perbedaan, baik suku, ras,maupun agama.
Memang dalam perjalanannya biduk kebangsaan kita ini telah melewati fase sejarah yang panjang dan berliku sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru hingga demokratisasi di era reformasi sejak 1998.
Semua itu tidak pernah lepas dari pertarungan ideologi, gesekan kepentingan, benturan fisik, kekerasan, dan konflik yang terkadang mengerdilkan rasionalitas dan sikap empati kita dalam menghargai perjuangan para tokoh-tokoh bangsa.
Saat Bung Karno jatuh dari tampuk kekuasaan yang menandai transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, presiden pertama itu seperti terseok-seok dalam lorong sunyi kesejarahan bangsa ini. Begitu juga ketika Soeharto dilengserkan gerakan mahasiswa 1998 karena sentralisme kekuasaan dan praktik otoritarianisme yang menandai transisi ke era demokrasi, semua yang berbau Soeharto dan Orde Baru kemudian “dikutuk” sebagai musuh bersama.
Bahkan Pancasila pun menjadi korban dari ketidakdewasaan kita dalam memaknai perubahan di mana Pancasila sebagai dasar negara tersandera,jarang diucapkan, dikutip, apalagi dijadikan rujukan pemikiran dan inspirasi bangsa karena dinilai sebagai warisan masa lalu. Hal yang sama juga dialami oleh anak-anak bangsa yang mungkin orang tuanya pernah terlibat dalam Partai Komunis Indonesia.
Tentu saja komunisme sebagai sebuah ajaran, paham,maupun gerakan politik telah kita nyatakan terlarang. Namun apakah lantas anak cucu mereka juga kita pasung hak politik, hukum, ekonomi,dan sosial budayanya? Tentu saja tidak. Sebab semua anak bangsa adalah pemilik sah dari bangsa dan republik ini. Tidak boleh ada sedikit pun tindakan diskriminasi yang dilakukan siapa pun, termasuk institusi negara, kepada setiap anak bangsa.
Dalam momentum Hari Pahlawan ini kita juga sudah harus memikirkan dan mempertimbangkan upaya penyelesaian masa lalu Pak Harto. Ini juga merupakan suatu langkah rekonsiliasi nasional yang harus kita pertegas untuk menghilangkan stigma masa lalu dan berdamai dengannya manakala ada kekurangan-kekurangan sembari terus berbenah untuk membangun masa depan. Kita harus saling memaafkan( forgive but not forget), seperti halnya yang dilakukan Afrika Selatan ketika transisi dari rezim Apartheid ke rezim demokratis.
Inspirasi untuk Membangun Bangsa
Tentu saja pemberian gelar pahlawan nasional kepada Bung Karno dan Bung Hatta di tengah-tengah momentum Hari Pahlawan harus dimaknai sebagai simbol untuk membangkitkan kembali seluruh kekuatan bangsa dalam mencapai tujuan bernegara yang telah mereka wariskan kepada kita, baik yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 maupun dalam kelima sila Pancasila.
Semangat kebangsaan mereka harus diterjemahkan secara konsisten dalam upayaupaya penyelenggaraan negara. Meskipun sistem demokrasi yang diadopsi dalam sistem bernegara semakin baik, namun dalam pelaksanaannya masih banyak kendala dan persoalan.
Di mana demokrasi yang kita jalankan masih lebih banyak bersifat prosedural, belum demokrasi yang substantif, baik dalam konteks pemenuhan kesejahteraan rakyat, keadilan hukum, pemberantasan korupsi, maupun dalam tata cara penyelenggaraan kekuasaan negara yang belum sesuai dengan spirit checks and balances.
Begitu pula praktik toleransi dan kerukunan sosial yang belum terbangun dengan kuat sebagaimana identitas kita sebagai bangsa yang majemuk dan gotong-royong. Masih ada konflik-konflik sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat, seperti dalam konflik Lampung, akibat dari hilangnya rasa saling percaya, saling memaafkan, dan saling memahami di antara sesama anak bangsa.
Karena itu, semangat kepahlawanan harus lebih diarahkan untuk membangun masyarakat lewat karya-karya yang berguna sembari terus memperkuat sikap dan jiwa patriotisme kita. Kita patut belajar dari kebesaran jiwa Bung Karno dan Bung Hatta, serta para pahlawan yang lainnya di mana mereka rela hidup menderita, kehilangan harta benda, bahkan nyawa sekalipun demi Indonesia merdeka.
Warisan kemerdekaan yang telah kita nikmati sekarang harus kita isi dengan spirit kerja keras serta sikap persatuan yang kokoh demi menjaga keutuhan rumah bersama (Indonesia) ini. Selamat Hari Pahlawan, juga selamat atas gelar pahlawan nasional kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Jaya selalu Indonesia!
IRMAN GUSMAN
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
Saat pemberian gelar saya ikut menghadirinya di Istana Negara, Rabu 7 Oktober 2012, yang di luar kebiasaan diawali dengan Pidato Presiden serta dihadiri juga oleh keluarga besar Bung Karno dan Bung Hatta. Terasa bahwa gelar pahlawan nasional semakin memperkuat kecintaan kita kepada kedua tokoh pendiri bangsa itu dan membuka ruang bagi jalannya rekonsiliasi nasional.
Sebagaimana disampaikan Presiden, Bung Karno dan Bung Hatta merupakan simbol perlawanan terhadap setiap penjajahan. Keduanya juga menjadi sumber inspirasi dan kekuatan bagi seluruh bangsa Indonesia di seluruh pelosok negeri untuk bangkit dan bersatu membela, merebut, dan mempertahankan kemerdekaan dengan tetesan darah, pengorbanan harta-benda, jiwa, dan raga.
Bangsa dan Republik ini adalah karya monumental mereka, bersama para pahlawan lain di seluruh daerah yang gugur melawan penjajahan. Sejak mereka memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, baru pada 7 November 2012 kedua tokoh proklamator itu mendapatkan gelar pahlawan nasional.
Sebelumnya, pada 27 September 2012, pimpinan MPR,DPR, dan DPD telah menyampaikan usulan gelar pahlawan nasional untuk Bung Karno dan Bung Hatta karena sejauh ini pemberi gelar bagi keduanya begitu lambat.
Tidak bisa dimungkiri, keterlambatan pemberian gelar pahlawan nasional tidak lepas dari tarik ulur sejarah yang cukup panjang dan hambatan Tap MPRS Nomor 33/MPR/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Soekarno yang menjadi akibat dari pecahnya pemberontakan G- 30S/PKI.
Meski pemberian gelar tersebut baru diberikan sekarang, spirit di balik gelar tersebut sesungguhnya memberi suasana baru yang sejuk. Bahwa bangsa ini telah dan sedang berjalan menatap masa depan yang lebih baik dengan berpijak pada kearifan masa lalu yang telah diwariskan oleh para the founding fathers.
Pemberian gelar itu bukan sekadar untuk mengakui peran dan eksistensi kedua tokoh besar itu dalam sejarah bangsa Indonesia, tetapi juga upaya rekonsiliasi na-sional dalam rangka merajut kembali ikatan kebangsaan serta untuk meneguhkan penghormatan dan kemuliaan kepada para pendahulu bangsa ini.
Bagaimanapun kita patut menghargai jasajasa para pahlawan karena berkat perjuangan merekalah bangsa yang besar ini bisa berdiri tegak dan kokoh sampai saat ini, meskipun terdapat begitu banyak perbedaan, baik suku, ras,maupun agama.
Memang dalam perjalanannya biduk kebangsaan kita ini telah melewati fase sejarah yang panjang dan berliku sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru hingga demokratisasi di era reformasi sejak 1998.
Semua itu tidak pernah lepas dari pertarungan ideologi, gesekan kepentingan, benturan fisik, kekerasan, dan konflik yang terkadang mengerdilkan rasionalitas dan sikap empati kita dalam menghargai perjuangan para tokoh-tokoh bangsa.
Saat Bung Karno jatuh dari tampuk kekuasaan yang menandai transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, presiden pertama itu seperti terseok-seok dalam lorong sunyi kesejarahan bangsa ini. Begitu juga ketika Soeharto dilengserkan gerakan mahasiswa 1998 karena sentralisme kekuasaan dan praktik otoritarianisme yang menandai transisi ke era demokrasi, semua yang berbau Soeharto dan Orde Baru kemudian “dikutuk” sebagai musuh bersama.
Bahkan Pancasila pun menjadi korban dari ketidakdewasaan kita dalam memaknai perubahan di mana Pancasila sebagai dasar negara tersandera,jarang diucapkan, dikutip, apalagi dijadikan rujukan pemikiran dan inspirasi bangsa karena dinilai sebagai warisan masa lalu. Hal yang sama juga dialami oleh anak-anak bangsa yang mungkin orang tuanya pernah terlibat dalam Partai Komunis Indonesia.
Tentu saja komunisme sebagai sebuah ajaran, paham,maupun gerakan politik telah kita nyatakan terlarang. Namun apakah lantas anak cucu mereka juga kita pasung hak politik, hukum, ekonomi,dan sosial budayanya? Tentu saja tidak. Sebab semua anak bangsa adalah pemilik sah dari bangsa dan republik ini. Tidak boleh ada sedikit pun tindakan diskriminasi yang dilakukan siapa pun, termasuk institusi negara, kepada setiap anak bangsa.
Dalam momentum Hari Pahlawan ini kita juga sudah harus memikirkan dan mempertimbangkan upaya penyelesaian masa lalu Pak Harto. Ini juga merupakan suatu langkah rekonsiliasi nasional yang harus kita pertegas untuk menghilangkan stigma masa lalu dan berdamai dengannya manakala ada kekurangan-kekurangan sembari terus berbenah untuk membangun masa depan. Kita harus saling memaafkan( forgive but not forget), seperti halnya yang dilakukan Afrika Selatan ketika transisi dari rezim Apartheid ke rezim demokratis.
Inspirasi untuk Membangun Bangsa
Tentu saja pemberian gelar pahlawan nasional kepada Bung Karno dan Bung Hatta di tengah-tengah momentum Hari Pahlawan harus dimaknai sebagai simbol untuk membangkitkan kembali seluruh kekuatan bangsa dalam mencapai tujuan bernegara yang telah mereka wariskan kepada kita, baik yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 maupun dalam kelima sila Pancasila.
Semangat kebangsaan mereka harus diterjemahkan secara konsisten dalam upayaupaya penyelenggaraan negara. Meskipun sistem demokrasi yang diadopsi dalam sistem bernegara semakin baik, namun dalam pelaksanaannya masih banyak kendala dan persoalan.
Di mana demokrasi yang kita jalankan masih lebih banyak bersifat prosedural, belum demokrasi yang substantif, baik dalam konteks pemenuhan kesejahteraan rakyat, keadilan hukum, pemberantasan korupsi, maupun dalam tata cara penyelenggaraan kekuasaan negara yang belum sesuai dengan spirit checks and balances.
Begitu pula praktik toleransi dan kerukunan sosial yang belum terbangun dengan kuat sebagaimana identitas kita sebagai bangsa yang majemuk dan gotong-royong. Masih ada konflik-konflik sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat, seperti dalam konflik Lampung, akibat dari hilangnya rasa saling percaya, saling memaafkan, dan saling memahami di antara sesama anak bangsa.
Karena itu, semangat kepahlawanan harus lebih diarahkan untuk membangun masyarakat lewat karya-karya yang berguna sembari terus memperkuat sikap dan jiwa patriotisme kita. Kita patut belajar dari kebesaran jiwa Bung Karno dan Bung Hatta, serta para pahlawan yang lainnya di mana mereka rela hidup menderita, kehilangan harta benda, bahkan nyawa sekalipun demi Indonesia merdeka.
Warisan kemerdekaan yang telah kita nikmati sekarang harus kita isi dengan spirit kerja keras serta sikap persatuan yang kokoh demi menjaga keutuhan rumah bersama (Indonesia) ini. Selamat Hari Pahlawan, juga selamat atas gelar pahlawan nasional kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Jaya selalu Indonesia!
IRMAN GUSMAN
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
(kur)