Restorasi Ekonomi dan Kemandirian Indonesia

Selasa, 01 Maret 2016 - 19:57 WIB
Restorasi Ekonomi dan Kemandirian Indonesia
Restorasi Ekonomi dan Kemandirian Indonesia
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

PEMERINTAH perlu urun rembug untuk mengatasi persoalan ketimpangan agar tidak semakin menjadi berlarut-larut. Keeksklusifan pada akses-akses ekonomi yang mendorong ketimpangan harus segera dipangkas perlahan-lahan. Hal itu untuk menghindari dampak negatif berupa perlambatan pertumbuhan ekonomi dan bisa berpotensi menimbulkan kegaduhan politik. Wacana yang perlu diperkuat adalah, bagaimana pemerintah mendorong restorasi dan kemandirian perekonomian Indonesia, agar tercapai pertumbuhan yang membuka ruang inklusivitas dan membagi porsi-porsi kesejahteraan yang lebih merata.

Pertama, Indonesia membutuhkan tambahan jumlah pengusaha terutama dari kalangan muda. Menurut Menteri Koperasi dan UKM AA Gde Ngurah Puspayoga, jumlah pengusaha di Indonesia pada tahun 2015 masih mencapai 1,65%. Dari total pengusaha tersebut, hanya sekitar 0,8-1,4% yang usianya relatif muda (di bawah 40 tahun). Jumlah pengusaha muda perlu ditingkatkan untuk menunjang persaingan antarnegara dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Jika berkaca pada negara-negara maju, idealnya sebuah negara membutuhkan sedikitnya 2% wirausahawan dari total populasi penduduk, yang diharapkan mampu menggerakkan sektor-sektor potensial di negaranya. Indonesia masih cukup tertinggal jauh jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Singapura yang mencapai 7%, Malaysia 5%, dan Thailand 4%.

Perihal mengenai perlunya meningkatkan jumlah pengusaha muda, tidak lain agar daya saing industri kita juga terangkat berkat semangat khas anak muda yang menyukai gebrakan baru. Semangat ini yang diharapkan mampu memompa inovasi-inovasi di lingkungan industri, agar kinerja usaha mampu berkembang. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa daya saing Indonesia menurut data dari World Economic Forum (WEF) yang dirilis pada 2015, mengalami penurunan dari peringkat 34 menjadi peringkat 37 dunia. Yang penulis khawatirkan, penurunan ini bukan karena menurunnya kualitas Indonesia secara komprehensif, melainkan justru karena negara kita tidak mengimbangi percepatan daya saing dari negara lainnya sehingga daya saing Indonesia menjadi lemah.

***
Kedua , daya dukung sektor perbankan perlu di-setting ulang agar mendukung proyek pemerintah untuk pengembangan inklusivitas ekonomi melalui akses permodalan. Untuk saat ini, akses permodalan belum banyak mendukung geliat sektor-sektor potensial seperti usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) karena banyaknya usaha yang berada pada posisi feasible, tetapi tidak cukup bankable . Padahal, kita juga menyadari bahwa UMKM dapat dikatakan menjadi salah satu tulang punggung perekonomian karena kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja sudah mencapai 97,30% (Kementerian Koperasi dan UMKM, 2015).

Ini artinya ketika pergerakan UMKM terus digairahkan (termasuk di dalamnya melalui peningkatan akses permodalan) diharapkan akan berimplikasi positif terhadap eksistensi usaha. Dan tentunya, bermuara pada perbaikan tingkat produktivitas dan pendapatan tenaga kerja. Dorongan untuk pengembangan daya inklusif perbankan tidak cukup sebatas pada kategori skala sektoral saja, tetapi juga perlu memetakan bagaimana distribusi aspek permodalan berdasarkan wilayah atau regionalnya.

Jika merunut pada data kredit UMKM per September 2015 (Bank Indonesia, 2016), dari total kredit UMKM yang berjumlah Rp35.644 miliar, 54,10% di antaranya ditampung oleh pelaku usaha di Jawa dan Bali. Sedangkan 25,69% beredar di Sumatera, 8,24% berada di Sulawesi, 8,08% berputar di Kalimantan, dan sisanya baru dibagi kepada pelaku UMKM di wilayah Indonesia bagian timur. Kondisi ini yang kemudian cukup memberatkan upaya pengentasan ketimpangan karena dari titik kesempatan memperoleh akses terhadap permodalan pun, sudah tergambarkan jurang perbedaannya.

***
Ketiga , pemerintah dari struktur tertinggi hingga di tingkat daerah perlu terlibat aktif dalam mekanisme restorasi ekonomi dan kemandirian Indonesia. Sasaran ini akan terbentuk melalui sederet regulasi dan kebijakan yang berpihak pada pemerataan kesempatan berekonomi. Pemerintah dirasa perlu meningkatkan alokasi belanja publiknya pada pos-pos program/kegiatan yang memiliki multiplier effects yang cukup tinggi dan berkaitan dengan unsur fundamental makro ekonomi yang sedang melemah. Seperti ketimpangan, kemiskinan, dan tingkat pengangguran terbuka (TPT).

Pada posisi ini, pemerintah dapat menggunakan kekuatan fiskalnya untuk membantu pelaku UMKM menjadi titik simpul restorasi. Mekanisme dorongan pemerintah perlu ditata ulang agar lebih terarah melalui beberapa landasan umum, yang secara normatif meliputi kebijakan yang bersifat protektif (terutama terhadap usaha yang mengusung kearifan lokal yang tinggi), sinkronisasi perencanaan antar lembaga pemerintahan, dan daya dukung lainnya yang bersifat insidental. Terkait dengan kebijakan yang bersifat protektif, salah satu prasyaratnya adalah perlu penguatan daya saing.

Sebenarnya untuk kondisi demikian kebijakan pemerintah yang bersifat fasilitatif lebih dibutuhkan ketimbang deregulasi. Deregulasi memang akan memudahkan kegiatan investasi, tetapi kebijakan tersebut tidak cukup untuk menjaga keberlanjutan usaha, terutama bagi sektor industri domestik yang rentan dengan persaingan. Kegiatan fasilitatif akan lebih banyak berpengaruh terhadap kelangsungan usaha, bisa melalui penguatan kelembagaan, pelatihan teknis, perluasan akses pemasaran, atau subsidi kredit modal.

Subsidi kredit modal usaha sudah pernah dicontohkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang menganggarkan sebagian Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk menanggung beban kredit modal usaha bagi pelaku UMKM. Strategi ini dikerjakan melalui pembagian diskon beban bunga kredit UMKM, serta sinergi dengan beberapa badan usaha milik daerah (BUMD)—seperti Jamkrida, Bank Jatim, dan BPR daerah—untuk memberikan penjaminan dan menanggung bersama risiko kredit UMKM. Kebijakan ini melahirkan prestasi bagi Pemprov Jatim yang di awal 2016 meraih penghargaan sebagai Pelopor Inklusi Keuangan Pemerintah Daerah dari Pemerintah Pusat.

Berikutnya adalah upaya sinkronisasi perencanaan yang lebih baik untuk melahirkan pembagian peran dan kebijakan yang efektif dan efisien. Tujuan lainnya adalah agar penggunaan anggaran pembangunan juga semakin efisien. Peran dari Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) akan sangat strategis untuk menghimpun dan mengoordinasi kementerian/lembaga pemerintahan.

Sebagai pedomannya, dalam posisi ini penulis sepakat bahwa undang-undang yang membahas perekonomian nasional (RUU Perekonomian Nasional) perlu dihidupkan sebagai dasar hukum kelembagaan. Harapannya agar wewenang antar instansi lebih jelas dan terarah serta menghindari tumpang tindih kebijakan, atau bahkan kemungkinan yang lebih buruk akan ada beberapa indikator yang justru tidak tertangani. Substansi yang perlu diperjuangkan tetap berorientasi pada model peran fasilitatif dan protektif, sebagaimana yang tertulis pada bagian-bagian sebelumnya.

Yang terakhir, peran pemerintah akan semakin lengkap jika mampu menginventarisasi kebijakan-kebijakan yang perlu diambil saat momen-momen insidental. Kunci dari peran ini adalah pemerintah perlu menjadi stabilizer . Contohnya adalah kejadian di sepanjang 2015 yang penuh gejolak. Sebagai efeknya, kondisi psikologis baik bagi produsen (pelaku usaha) maupun konsumen menjadi begitu fluktuatif.

Pemerintah dituntut untuk mampu menahan tensi darah kedua belah pihak tidak meningkat signifikan, agar stabilitas perekonomian tidak menjadi lebih buruk. Pemerintah memang sempat "menyiksa" masyarakat melalui kenaikan harga BBM yang faktanya berbuntut panjang. Akan tetapi dengan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I-IX dan disertai penurunan kembali harga BBM, pemerintah masih tetap mampu menjaga perkembangan ekonomi menjadi tidak lebih buruk. Bahkan, ekspektasi pasar terhadap perekonomian nasional tetap berlanjut positif.

Ke depannya untuk menstabilkan kondisi ekonomi, poin yang perlu paling banyak diperhatikan adalah faktor harga, penyediaan lapangan kerja, sekaligus pengurangan pengangguran. Ketiga sendi ini yang nantinya mudah-mudahan tidak terabaikan, agar pertumbuhan ekonomi yang terus digaungkan tidak meninggalkan aspek inklusivitas di dalamnya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4731 seconds (0.1#10.140)