Harapan terhadap Muhammadiyah

Senin, 03 Agustus 2015 - 10:29 WIB
Harapan terhadap Muhammadiyah
Harapan terhadap Muhammadiyah
A A A
Abd Rohim Ghazali
Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina, Wakil Ketua Fokal IMM

Sejumlah harapan mengemuka menyambut Muktamar Ke-4 Muhammadiyah, 3-7 Agustus di Makassar, Sulawesi Selatan. Publik memberikan sambutan yang cukup antusias.

Selama kurang lebih sebulan sebelum muktamar, setiap hari ada berita atau isu yang muncul terkait Muktamar Muhammadiyah. Berbagai pemikiran dan gagasan (baik yang benar-benar baru maupun lama, tapi diperbarui) untuk memajukan Muhammadiyah bermunculan dari kalangan akademisi dan cendekiawan, baik dari mereka yang merasa dirinya punya attachment dengan Muhammadiyah ataupun tidak.

Bagi sebagian kalangan, Muhammadiyah merupakan magnet yang dipersepsi bisa mempersatukan berbagai ide dan gagasan di tengah pola hidup kompetitif akibat perputaran roda zaman yang kian cepat dan mengakibatkan banyak orang terpelanting atau hanyut dalam arus yang tidak selamanya konstruktif baik bagi dirinya maupun bagi lingkungan sosialnya. Ketika berbicara tentang suksesi kepemimpinan, siapa yang akan menggantikan Prof Din Syamsuddin?

Banyak sekali kader berkualitas yang sudah menyatakan kesediaan untuk menjadi pemimpin Muhammadiyah. Sebagian besar cukup mumpuni di bidangnya dengan menyandang gelar PdD atau doktor, dan bahkan Guru Besar. Selain itu, banyak pula kader-kader muda yang belum bersedia menjadi pimpinan, tapi diprediksi akan menjadi pemimpin-pemimpin Muhammadiyah pada masa yang akan datang.

Mereka ini para doktor lulusan luar negeri dengan prestasi akademik yang membanggakan atau para mantan ketua organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah yang sudah melewati proses kaderisasi pada tingkat paripurna. Tapi, di balik harapan-harapan itu, ada juga kekhawatirankekhawatiran yang muncul setelah melihat dan mencermati kenyataan objektif yang berkembang di luar Muhammadiyah.

Tiga pekerjaan (amal usaha) utama Muhammadiyah yakni dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial, meskipun secara kuantitatif belum bisa ditandingi organisasi mana pun, secara kualitatif relatif tertinggal dari yang “sekadar” dimiliki yayasan atau bahkan perorangan.

Mengenai banyaknya gagasan yang muncul, ada juga kekhawatiran akan menjadi gagasan semata karena belum tersedianya infrastruktur organisasi yang kompatibel dengan gagasan- gagasan tersebut misalnya gagasan tentang “Islam Berkemajuan” atau “Indonesia Berkemajuan” yang diusung menjadi tema Muktamar Muhammadiyah.

Masih ada sejumlah prasyarat berkemajuan yang belum dimiliki Muhammadiyah misalnya dalam bidang penguasaan media massa baik cetak, elektronik, maupun daring. Soal siapa pengganti Din Syamsuddin yang dalam aturan main (Pasal 13 ayat [1-2] Anggaran Dasar Muhammadiyah) tidak bisa lagi menjadi ketua umum karena sudah dua periode berturut-turut ini juga masih dalam tanda tanya besar.

Memang banyak yang ingin menggantikannya, tapi yang memiliki leverage yang setara di tingkat nasional atau internasional harus diakui belum ada. Apalagi kalau ingin mencari yang lebih. Untuk mengatasi kekhawatiran- kekhawatiran ini, diperlukan langkah-langkah strategis dan progresif. Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah perlu melakukan terobosan-terobosan dengan mendirikan lembaga pendidikan percontohan dengan standar mutu yang tinggi untuk setiap jenjang.

Misalnya di tiap-tiap provinsi untuk jenjang perguruan tinggi/ universitas; di tiap kabupaten untuk jenjang sekolah menengah pertama dan atas; dan di tiap kecamatan untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah. Begitu pun dalam amal usaha bidang kesehatan, Muhammadiyah perlu memiliki rumah sakit percontohan dengan standar pelayanan yang excellence.

Atau, bisa juga dengan mendirikan rumah sakit yang benarbenar gratis untuk masyarakat miskin tanpa harus memiliki asuransi kesehatan terlebih dahulu dengan birokrasi yang berbelit- belit. Dalam pelayanan sosial, Muhammadiyah sudah waktunya meninggalkan manajemen panti asuhan yang dikelola ala kadarnya.

Panti bukan sekadar tempat menampung mereka yang kurang beruntung, melainkan untuk menolong dan memberdayakan melalui program- program yang sesuai kapasitas, namun memiliki nilai manfaat yang produktif sekaligus kompetitif pada saat sudah keluar dari panti.

Untuk penanganan (korban) bencana alam dan pengelolaan filantropi, peran-peran Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dan Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (LazisMU) perlu ditingkatkan dan diperluas, setidaknya bisa melebihi kapasitas lembaga-lembaga yang sama yang “hanya” ditangani lembaga swadaya masyarakat( LSM) atauormaslainyang jika dibandingkan dengan Muhammadiyah jauh lebih kecil.

Agak sulit diterima akal sehat, Muhammadiyah yang begitu besar, dengan memiliki pedoman hidup islami dan sejumlah perangkat aturan keislaman yang lain, dalam mengelola zakat yang menjadi salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dijalankan, masih jauh tertinggal dibandingkan dengan amil zakat yang dimiliki LSM.

Karena itu, langkah-langkah strategis dan progresif ini merupakan keniscayaan jika benarbenar ingin menjadikan Muhammadiyah mampu menampilkan “Islam Berkemajuan” dan atau “Indonesia Berkemajuan”.

Caranya antara lain dengan menampilkan kepemimpinan yang kondusif, yang berpikiran maju (progresif) dan terbuka (inklusif), memiliki kapasitas (mumpuni), dan berpengaruh baik di tingkat nasional maupun internasional. Jika pemimpin yang terpilih tidak memadai, usulan-usulan ini kemungkinan besar akan menjadi sebatas gagasan yang tidak bisa direalisasikan.

(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7230 seconds (0.1#10.140)