Uji Nyali Erick Thohir Benahi PSSI
loading...
A
A
A
Muhammad Muchlas Rowi
Mantan Sekjen Asprov PSSI DKI
BEBERAPA anak bermain bola di samping bahu jalan, bergelut dengan debu jalanan. Meski tak beralaskan sandal ataupun sepatu, mereka tetap ceria memainkan si kulit bundar dari kaki ke kaki. Membentuk tarian acak, mirip formasi tiki-taka. Sesekali, si kulit bundar lepas dari penguasaan mereka, lalu mengenai pengguna jalan.
Rasanya, cerita anak-anak kecil semacam ini terjadi di mana saja. Bukan hanya di Brazil (tempat Pele, Ronaldo, dan Neymar lahir), Argentina (tempat Maradona dan Lionel Messi menghabiskan masa kecil), atau Jepang (sebuah negara yang punya cara gila dalam membangun sepakbolanya). Tapi juga di sini, di depan mata kita yang juga pernah punya impian yang sama.
Entah sebuah kebetulan atau memang karena mimpi yang tertunda. Saya pun sempat mencicipi atmosfir sepakbola Tanah Air. Sekitar 2015, dengan menjadi sekretaris Asosiasi Provinsi (Asprov) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) DKI Jakarta.
Saat itu, saya berpikir, dengan masuk dan ikut mengurus federasi, saya bisa meneruskan dan mengembangkan cerita dan mimpi masa kecil dalam berbagai versi. Itu artinya, cerita dan mimpi kecil soal sepakbola akan lebih mudah diwujudkan. Namun rupanya, saya malah masuk ke dalam apa yang disebut Menteri BUMN Erick Thohir sebagai ‘lingkaran setan sepakbola.’
Lingkaran Setan
Lingkaran setan sepakbola, menurut Bung Erick terbentuk gegara pengelolaan manajemen, pemain, pelatih, dan suporter yang karut marut. Lalu menimbulkan sejumlah persoalan pelik dalam dunia sepakbola. Mulai dari pembinaan yang rapuh, dualisme kepemimpinan, pat gulipat dalam posisi manajer klub maupun federasi, hingga mental pemain maupun pengurus federasi yang rapuh.
Pembinaan adalah basic sepakbola. Karena akan berpengaruh pada regenerasi pemain sepakbola di masa depan. Tanpa pembinaan yang baik, talenta tak akan berarti apa-apa. Mimpi hanya sekadar mimpi yang tak pernah terealisasi. Sebaliknya jika anak-anak Indonesia dibina sejak dini dengan tepat, benar, dan berkesinambungan, akan muncul generasi emas yang bisa membuahkan prestasi di level apa pun.
Perlu diingat, di usia 3 tahun, seorang Lionel Messi menurut cerita Luca Caioli di buku The Inside Story of The Boy Who Became a Legend, sama sekali tak mengenal sepakbola. Sampai suatu ketika, saat Messi berulang tahun yang keempat, sang ayah memberinya hadiah sebuah bola.
Sejak itu, jika kedua kakaknya atau siapa pun memainkan si kulit bundar, Messi selalu turut serta. Sejak saat itu pula bakat dan luapan kesukaan Messi akan sepakbola terwadahi dengan baik, terutama setelah dia dibina di La Masia.
Saya juga melihat ada persoalan manajemen, baik dalam federasi maupun klub yang menaungi para talenta sepakbola. Sehingga untuk urusan pelatih, pengaturan kompetisi, hingga managemen timnas menjadi rumit dan tricky.
Joseph Erwiyanto, seorang wartawan senior yang terkenal kritis untuk urusan sepakbola. Pada 2020 dia pernah melempat kabar soal adanya jual-beli jabatan di level klub maupun federasi. Kabar itu pun bergulir bak bola salju dan viral. Hati saya meringis, karena kabar itu seolah membenarkan apa yang pernah saya lihat.
Laku lampah para mafia dalam lingkaran setan sepakbola tersebut akhirnya membuat kita lemah secara mental. Sehingga setiap kali Timnas Indonesia berlaga, antusiasme hanya muncul di awal laga. Lalu setelah itu, cerita sudah dapat diduga.
Begitu mudah kita bersorak sorai atas keberhasilan Timnas Indonesia seperti saat mengalahkan Curacao. Permainan anak asuhan Shin Tae-yong pun dipuja puji, karena berhasil menyajikan permainan apik dan mengalahkan tim yang dihuni beberapa pemain EPL itu.
Sesaat membuat kita bangga dan membusungkan dada. Namun, kebanggaan itu pun langsung hilang, seiring terjadinya tragedi kemanusiaan pascalaga Arema Malang versus Persebaya di Stadion Kanjuruhan. Ibarat ‘menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri’, tragedi Kanjuruhan membuat kita disorot dan dikecam publik sepakbola dunia.
Uji Nyali
Saat sepakbola terasa hambar dan nyaris bernasib serupa dengan batu akik atau permainan lato-lato, Erick Thohir lantas tampil ke muka mencegah sanksi FIFA. Tak perlu banyak kata, di tengah ancaman sanksi, Erick Thohir gercep menemui presiden FIFA dan memastikan adanya perubahan besar sepakbola Indonesia.
Kini, eks presiden Inter Milan tersebut secara mengejutkan menyatakan kesiapannya untuk menjadi kandidat Ketua Umum PSSI dalam Kongres Luar Biasa (KLB) yang akan digelar 16 Februari 2023. Erick Thohir tentu tidak sedang berupaya masuk dalam lingkaran setan yang dia sebut.
Erick juga sedang tidak bermaksud mengubur harapan sejumlah pihak yang memintanya maju dalam Pilpres 2024. Namun lebih sebagai panggilan hati. Apalagi saat ini, dirinya merupakan sosok yang jadi tumpuan asa dari publik sepak bola Indonesia.
Erick tak sampai hati membiarkan krisis yang terjadi dalam sepakbola yang ia cintai. Karena itu, dia bersedia dan merasa punya nyali menjadi bagian dari suksesi sepak bola.
Mendiang Kyai Syukri, mantan pimpinan Ponpes Gontor pernah berujar, sumber kelemahan mental siapapun dalam hidup adalah nyali atau keberanian. Menurut dia, seseorang bisa bernyali karena menguasai masalah.
Dalam konteks ini, keberanian Erick Thohir memang berdasar. Pertama, karena Erick Thohir pernah beberapa kali hadir untuk menyelematkan sejumlah klub sepakbola. Inter Milan dan DC United buktinya.
Saat Erick Thohir datang, keduanya sedang mengalami krisis keuangan, bahkan nyaris kolaps. Pembelian saham oleh Erick Thohir mampu menyelamatkan kedua klub tersebut. Setelah dibeli, Inter Milan mampu bangkit dan tak lama kemudian menjadi juara. Sementara DC United bisa membangun stadion baru dan membeli beberapa pemain hebat.
Kedua, selama di BUMN Erick Thohir terbukti mampu membawa semangat dan perubahan besar, sehingga terjadi transformasi besar-besaran di tubuh BUMN. Erick berhasil melakukan restrukturisasi dan penguatan sumber daya manusia, sehingga di eranya BUMN menjadi untung, bukan buntung.
Dari pengalaman dan keberanian yang dimiliki Erick Thohir tersebut, maka wajar jika publik sepakbola kita saat ini banyak bertumpu kepadanya, meski tetap tidak tahu akan seperti apa.
Karena, sepakbola tetap sepakbola punya petitih lama yang selalu menyimpan misteri, ‘bahwa bola itu bundar’. Dalam sepakbola siapa pun bisa kalah dan menang, bisa sukses bisa pula gagal. Seperti Maroko yang tetiba bisa mengandaskan 3 raksasa Eropa di Piala Dunia kemarin.
Paling-paling kita bisa meraba, salah satunya dari salah satu pernyataannya soal kesedian menahkodai PSSI ke depan. Bahwa pertama, kata dia, dirinya akan melakukan ‘bongkar total’ induk sepakbola di Indonesia ini. Tentu saja kata bongkar yang dimaksud adalah semacam pembenahan besar PSSI dari segala aspek.
Mulai dari kultur, manajemen (tata kelola), sponsorship, maupun media. Pihak-pihak tersebut adalah faktor penting bagi Erick Thohir. Namun Erick Thohir juga tak menampik, jika perubahan dari sisi mental adalah hal penting. Bahkan Erick menyebut harus dikedepankan dibanding yang lain.
Karena itu, jika melihat apa yang dilakukannya di BUMN, maka yang dilakukannnya pertama kali adalah semacam mendiagnosa akar persoalan, lalu merumuskan solusi malakukan perubahan dalam sistem dan tata kelola organisasi PSSI. Karena bagi Erick Thohir, tata kelola yang baik lahir dari tangan-tangan yang berakhlak baik.
Menariknya, saat bicara perombakan Erick Thohir tak pernah sekalipun menyinggung soal pihak-pihak mana saja yang perlu dirombak. Itu artinya, Erick Thohir tidak mau terjebak dalam konflik. Baginya yang terpenting adalah bagaimana melakukan perubahan secepat mungkin.
Hal menarik lain yang dapat kita saksikan ke depan, setelah Erick Thohir memutuskan maju dalam bursa calon ketua umum PSSI di KLB mendatang adalah bukan sebatas uji nyali namun juga pertaruhan karier politiknya. Di titik ini, kita harus memberikan acungan jempol. Karena di saat para pemimpin kita lebih memilih bermain kata dan citra di media jelang perhelatan akbar pesta demokrasi, Erick Thohir malah memilih uji nyali.
Apalagi dalam waktu dekat Indonesia akan menghelat ajang Piala Dunia U-20 pada Mei-Juni 2023 mendatang. Itu artinya, jika sukses memimpin PSSI dan menggelar Piala Dunia U-20, maka seperti cinta, sepakbola pun tak mengenal agama. Erick Thohir tidak perlu membuktikan apa-apa, karena vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
Mantan Sekjen Asprov PSSI DKI
BEBERAPA anak bermain bola di samping bahu jalan, bergelut dengan debu jalanan. Meski tak beralaskan sandal ataupun sepatu, mereka tetap ceria memainkan si kulit bundar dari kaki ke kaki. Membentuk tarian acak, mirip formasi tiki-taka. Sesekali, si kulit bundar lepas dari penguasaan mereka, lalu mengenai pengguna jalan.
Rasanya, cerita anak-anak kecil semacam ini terjadi di mana saja. Bukan hanya di Brazil (tempat Pele, Ronaldo, dan Neymar lahir), Argentina (tempat Maradona dan Lionel Messi menghabiskan masa kecil), atau Jepang (sebuah negara yang punya cara gila dalam membangun sepakbolanya). Tapi juga di sini, di depan mata kita yang juga pernah punya impian yang sama.
Entah sebuah kebetulan atau memang karena mimpi yang tertunda. Saya pun sempat mencicipi atmosfir sepakbola Tanah Air. Sekitar 2015, dengan menjadi sekretaris Asosiasi Provinsi (Asprov) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) DKI Jakarta.
Saat itu, saya berpikir, dengan masuk dan ikut mengurus federasi, saya bisa meneruskan dan mengembangkan cerita dan mimpi masa kecil dalam berbagai versi. Itu artinya, cerita dan mimpi kecil soal sepakbola akan lebih mudah diwujudkan. Namun rupanya, saya malah masuk ke dalam apa yang disebut Menteri BUMN Erick Thohir sebagai ‘lingkaran setan sepakbola.’
Lingkaran Setan
Lingkaran setan sepakbola, menurut Bung Erick terbentuk gegara pengelolaan manajemen, pemain, pelatih, dan suporter yang karut marut. Lalu menimbulkan sejumlah persoalan pelik dalam dunia sepakbola. Mulai dari pembinaan yang rapuh, dualisme kepemimpinan, pat gulipat dalam posisi manajer klub maupun federasi, hingga mental pemain maupun pengurus federasi yang rapuh.
Pembinaan adalah basic sepakbola. Karena akan berpengaruh pada regenerasi pemain sepakbola di masa depan. Tanpa pembinaan yang baik, talenta tak akan berarti apa-apa. Mimpi hanya sekadar mimpi yang tak pernah terealisasi. Sebaliknya jika anak-anak Indonesia dibina sejak dini dengan tepat, benar, dan berkesinambungan, akan muncul generasi emas yang bisa membuahkan prestasi di level apa pun.
Perlu diingat, di usia 3 tahun, seorang Lionel Messi menurut cerita Luca Caioli di buku The Inside Story of The Boy Who Became a Legend, sama sekali tak mengenal sepakbola. Sampai suatu ketika, saat Messi berulang tahun yang keempat, sang ayah memberinya hadiah sebuah bola.
Sejak itu, jika kedua kakaknya atau siapa pun memainkan si kulit bundar, Messi selalu turut serta. Sejak saat itu pula bakat dan luapan kesukaan Messi akan sepakbola terwadahi dengan baik, terutama setelah dia dibina di La Masia.
Saya juga melihat ada persoalan manajemen, baik dalam federasi maupun klub yang menaungi para talenta sepakbola. Sehingga untuk urusan pelatih, pengaturan kompetisi, hingga managemen timnas menjadi rumit dan tricky.
Joseph Erwiyanto, seorang wartawan senior yang terkenal kritis untuk urusan sepakbola. Pada 2020 dia pernah melempat kabar soal adanya jual-beli jabatan di level klub maupun federasi. Kabar itu pun bergulir bak bola salju dan viral. Hati saya meringis, karena kabar itu seolah membenarkan apa yang pernah saya lihat.
Laku lampah para mafia dalam lingkaran setan sepakbola tersebut akhirnya membuat kita lemah secara mental. Sehingga setiap kali Timnas Indonesia berlaga, antusiasme hanya muncul di awal laga. Lalu setelah itu, cerita sudah dapat diduga.
Begitu mudah kita bersorak sorai atas keberhasilan Timnas Indonesia seperti saat mengalahkan Curacao. Permainan anak asuhan Shin Tae-yong pun dipuja puji, karena berhasil menyajikan permainan apik dan mengalahkan tim yang dihuni beberapa pemain EPL itu.
Sesaat membuat kita bangga dan membusungkan dada. Namun, kebanggaan itu pun langsung hilang, seiring terjadinya tragedi kemanusiaan pascalaga Arema Malang versus Persebaya di Stadion Kanjuruhan. Ibarat ‘menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri’, tragedi Kanjuruhan membuat kita disorot dan dikecam publik sepakbola dunia.
Uji Nyali
Saat sepakbola terasa hambar dan nyaris bernasib serupa dengan batu akik atau permainan lato-lato, Erick Thohir lantas tampil ke muka mencegah sanksi FIFA. Tak perlu banyak kata, di tengah ancaman sanksi, Erick Thohir gercep menemui presiden FIFA dan memastikan adanya perubahan besar sepakbola Indonesia.
Kini, eks presiden Inter Milan tersebut secara mengejutkan menyatakan kesiapannya untuk menjadi kandidat Ketua Umum PSSI dalam Kongres Luar Biasa (KLB) yang akan digelar 16 Februari 2023. Erick Thohir tentu tidak sedang berupaya masuk dalam lingkaran setan yang dia sebut.
Erick juga sedang tidak bermaksud mengubur harapan sejumlah pihak yang memintanya maju dalam Pilpres 2024. Namun lebih sebagai panggilan hati. Apalagi saat ini, dirinya merupakan sosok yang jadi tumpuan asa dari publik sepak bola Indonesia.
Erick tak sampai hati membiarkan krisis yang terjadi dalam sepakbola yang ia cintai. Karena itu, dia bersedia dan merasa punya nyali menjadi bagian dari suksesi sepak bola.
Mendiang Kyai Syukri, mantan pimpinan Ponpes Gontor pernah berujar, sumber kelemahan mental siapapun dalam hidup adalah nyali atau keberanian. Menurut dia, seseorang bisa bernyali karena menguasai masalah.
Dalam konteks ini, keberanian Erick Thohir memang berdasar. Pertama, karena Erick Thohir pernah beberapa kali hadir untuk menyelematkan sejumlah klub sepakbola. Inter Milan dan DC United buktinya.
Saat Erick Thohir datang, keduanya sedang mengalami krisis keuangan, bahkan nyaris kolaps. Pembelian saham oleh Erick Thohir mampu menyelamatkan kedua klub tersebut. Setelah dibeli, Inter Milan mampu bangkit dan tak lama kemudian menjadi juara. Sementara DC United bisa membangun stadion baru dan membeli beberapa pemain hebat.
Kedua, selama di BUMN Erick Thohir terbukti mampu membawa semangat dan perubahan besar, sehingga terjadi transformasi besar-besaran di tubuh BUMN. Erick berhasil melakukan restrukturisasi dan penguatan sumber daya manusia, sehingga di eranya BUMN menjadi untung, bukan buntung.
Dari pengalaman dan keberanian yang dimiliki Erick Thohir tersebut, maka wajar jika publik sepakbola kita saat ini banyak bertumpu kepadanya, meski tetap tidak tahu akan seperti apa.
Karena, sepakbola tetap sepakbola punya petitih lama yang selalu menyimpan misteri, ‘bahwa bola itu bundar’. Dalam sepakbola siapa pun bisa kalah dan menang, bisa sukses bisa pula gagal. Seperti Maroko yang tetiba bisa mengandaskan 3 raksasa Eropa di Piala Dunia kemarin.
Paling-paling kita bisa meraba, salah satunya dari salah satu pernyataannya soal kesedian menahkodai PSSI ke depan. Bahwa pertama, kata dia, dirinya akan melakukan ‘bongkar total’ induk sepakbola di Indonesia ini. Tentu saja kata bongkar yang dimaksud adalah semacam pembenahan besar PSSI dari segala aspek.
Mulai dari kultur, manajemen (tata kelola), sponsorship, maupun media. Pihak-pihak tersebut adalah faktor penting bagi Erick Thohir. Namun Erick Thohir juga tak menampik, jika perubahan dari sisi mental adalah hal penting. Bahkan Erick menyebut harus dikedepankan dibanding yang lain.
Karena itu, jika melihat apa yang dilakukannya di BUMN, maka yang dilakukannnya pertama kali adalah semacam mendiagnosa akar persoalan, lalu merumuskan solusi malakukan perubahan dalam sistem dan tata kelola organisasi PSSI. Karena bagi Erick Thohir, tata kelola yang baik lahir dari tangan-tangan yang berakhlak baik.
Menariknya, saat bicara perombakan Erick Thohir tak pernah sekalipun menyinggung soal pihak-pihak mana saja yang perlu dirombak. Itu artinya, Erick Thohir tidak mau terjebak dalam konflik. Baginya yang terpenting adalah bagaimana melakukan perubahan secepat mungkin.
Hal menarik lain yang dapat kita saksikan ke depan, setelah Erick Thohir memutuskan maju dalam bursa calon ketua umum PSSI di KLB mendatang adalah bukan sebatas uji nyali namun juga pertaruhan karier politiknya. Di titik ini, kita harus memberikan acungan jempol. Karena di saat para pemimpin kita lebih memilih bermain kata dan citra di media jelang perhelatan akbar pesta demokrasi, Erick Thohir malah memilih uji nyali.
Apalagi dalam waktu dekat Indonesia akan menghelat ajang Piala Dunia U-20 pada Mei-Juni 2023 mendatang. Itu artinya, jika sukses memimpin PSSI dan menggelar Piala Dunia U-20, maka seperti cinta, sepakbola pun tak mengenal agama. Erick Thohir tidak perlu membuktikan apa-apa, karena vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
(poe)