Aspek Hukum dan HAM tentang Penahanan
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
SISTEM peradilan pidana Indonesia yang berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah saatnya diperbarui seiring dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) baru yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023 dan dinyatakan efektif berlaku tanggal 2 Januari 2026.
KUHP baru 2023 menganut filosofi restorative dan pemasyarakatan yang menegasikan filosofi penjeraan/pembalasan- an eye for an eye, a tooth for a tooth; pemulihan hubungan keseimbangan hak dan kewajiban pelaku dan korban dalam kejahatan. Filosofi UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP juga berbeda dengan filosofi yang dianut KUHAP yaitu negative wettelijke beginsel- pembuktian negative yang diartikan bahwa hakim tidak menjatuhkan pidana kecuali berdasarkan dua alat bukti hakim berdasarkan keyakinannya bahwa terdakwa bersalah telah melakukan kejahatan.
Perbedaan filosofi pemidanaan dalam KUHP 2023/hukum pidana materiil tersebut berdampak terhadap bagaimana perlakuan hukum yang sepatutnya terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersngka. Salah satu tindakan hukum yang dibenarkan menurut UU adalah penahanan (detention). Penahanan secara normatif diterjemahkan sebagai salah satu tindakan aparatur hukum penyidik menempatkan seseorang di dalam rumah tahanan dengan alasan bahwa dikhawatirkan melarikan diri, merusak dokumen/alat bukti/barang bukti, atau melakukan kejahatan kembali. Intinya, penahanan adalah hak subjektif negara untuk membatasi kemerdekaan bergerak seseorang yang diduga telah melakukan kejahatan.
Di dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang undang ini. Dari segi tata bahasa, pembentuk UU menekankan bahwa penahanan harus berdasarkan mandat dari suatu undang-undang oleh seorang penyidik (Pasal 20), dan dilaksanakan atas perintah hanya terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21).
Namun, dalam praktik penahanan sering terjadi dan dilakukan oleh penyidik melampaui batas yang dibolehkan menurut UU/KUHAP atau bahkan sewenang-wenang atau tanpa dasar hukum dan alasan yang dibenarkan menurut KUHAP. Peristiwa tersebut terjadi di mana-mana di setiap negara sehingga masyarakat internasional melalui Kovenan Internasional PBB telah menetapkan ketentuan-ketentuan universal tentang Perlindungan Hak Asasi bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa termasuk pemidanaan yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Tindakan eksesif penyidik dengan alasan apa pun apalagi berlatar belakang kepentingan selain kepentingan hukum jelas merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang meliputi melampaui batas wewenang, mencampuradukkan wewenang dan tindakan sewenang-wenang (Pasal 17 jo Pasal 18 UU Nomor 30 Tahun 2014). Tindakan tersebut dapat diajukan perlawanan hukum/upaya hukum, melalui praperadilan.
Kelemahan dalam ketentuan penahahan adalah bahwa KUHAP tidak mengatur secara rinci tentang batas/tenggat waktu penahanan yang sepatutnya terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Hanya diatur batas waktu tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam tahap penyidikan. Namun, sering terjadi masa penahanan lebih dari 60 (enam puluh) hari, jika tenggat waktu dilampaui harus segera dilimpahkan ke penuntutan kecuali ditetapkan penghentian penyidikan.
Dampak buruk tindakan penahanan, terlepas dari terbukti tidaknya kemudian dalam sidang pengadilan, adalah terhentinya status tersangka dari pekerjaan dan dampak sosial yang dialami keluarganya sedangkan belum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam hal inilah, kita sering dihadapkan, terutama advokat pada umumnya, khususnya ahli hukum, tentang masalah rentannya perlindungan Hak Asasi Manusia dalam proses penahanan sekalipun berdasarkan mandat undang-undang.
SISTEM peradilan pidana Indonesia yang berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah saatnya diperbarui seiring dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) baru yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023 dan dinyatakan efektif berlaku tanggal 2 Januari 2026.
KUHP baru 2023 menganut filosofi restorative dan pemasyarakatan yang menegasikan filosofi penjeraan/pembalasan- an eye for an eye, a tooth for a tooth; pemulihan hubungan keseimbangan hak dan kewajiban pelaku dan korban dalam kejahatan. Filosofi UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP juga berbeda dengan filosofi yang dianut KUHAP yaitu negative wettelijke beginsel- pembuktian negative yang diartikan bahwa hakim tidak menjatuhkan pidana kecuali berdasarkan dua alat bukti hakim berdasarkan keyakinannya bahwa terdakwa bersalah telah melakukan kejahatan.
Perbedaan filosofi pemidanaan dalam KUHP 2023/hukum pidana materiil tersebut berdampak terhadap bagaimana perlakuan hukum yang sepatutnya terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersngka. Salah satu tindakan hukum yang dibenarkan menurut UU adalah penahanan (detention). Penahanan secara normatif diterjemahkan sebagai salah satu tindakan aparatur hukum penyidik menempatkan seseorang di dalam rumah tahanan dengan alasan bahwa dikhawatirkan melarikan diri, merusak dokumen/alat bukti/barang bukti, atau melakukan kejahatan kembali. Intinya, penahanan adalah hak subjektif negara untuk membatasi kemerdekaan bergerak seseorang yang diduga telah melakukan kejahatan.
Di dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang undang ini. Dari segi tata bahasa, pembentuk UU menekankan bahwa penahanan harus berdasarkan mandat dari suatu undang-undang oleh seorang penyidik (Pasal 20), dan dilaksanakan atas perintah hanya terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21).
Namun, dalam praktik penahanan sering terjadi dan dilakukan oleh penyidik melampaui batas yang dibolehkan menurut UU/KUHAP atau bahkan sewenang-wenang atau tanpa dasar hukum dan alasan yang dibenarkan menurut KUHAP. Peristiwa tersebut terjadi di mana-mana di setiap negara sehingga masyarakat internasional melalui Kovenan Internasional PBB telah menetapkan ketentuan-ketentuan universal tentang Perlindungan Hak Asasi bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa termasuk pemidanaan yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Tindakan eksesif penyidik dengan alasan apa pun apalagi berlatar belakang kepentingan selain kepentingan hukum jelas merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang meliputi melampaui batas wewenang, mencampuradukkan wewenang dan tindakan sewenang-wenang (Pasal 17 jo Pasal 18 UU Nomor 30 Tahun 2014). Tindakan tersebut dapat diajukan perlawanan hukum/upaya hukum, melalui praperadilan.
Kelemahan dalam ketentuan penahahan adalah bahwa KUHAP tidak mengatur secara rinci tentang batas/tenggat waktu penahanan yang sepatutnya terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Hanya diatur batas waktu tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam tahap penyidikan. Namun, sering terjadi masa penahanan lebih dari 60 (enam puluh) hari, jika tenggat waktu dilampaui harus segera dilimpahkan ke penuntutan kecuali ditetapkan penghentian penyidikan.
Dampak buruk tindakan penahanan, terlepas dari terbukti tidaknya kemudian dalam sidang pengadilan, adalah terhentinya status tersangka dari pekerjaan dan dampak sosial yang dialami keluarganya sedangkan belum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam hal inilah, kita sering dihadapkan, terutama advokat pada umumnya, khususnya ahli hukum, tentang masalah rentannya perlindungan Hak Asasi Manusia dalam proses penahanan sekalipun berdasarkan mandat undang-undang.