Menakar Perppu Cipta Kerja

Senin, 02 Januari 2023 - 08:55 WIB
loading...
Menakar Perppu Cipta Kerja
Rio Christiawan. FOTO/KORAN SINDO
A A A
Rio Christiawan
Associate Professor bidang Hukum
Pengajar Universitas Prasetiya Mulya

Pemerintah dalam hal ini Presiden baru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 (Perppu 2/2022). Aturan tersebut dirilis pada hari kerja terakhir di 2022 yakni pada 30 Desember 2022.

Banyak pro-kontra yang muncul di masyarakat mengenai terbitnya Perppu 2/2022, khususnya polemik mengenai terbitnya Perppu 2/2022 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (UUCK), sedangkan UUCK sendiri dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Dalam Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020.

MK dalam putusannya menyatakan bahwa, intinya UUCK dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena pembentukannya mengandung cacat formal sehingga perlu perbaikan dan diuji kembali dalam waktu dua tahun sejak putusan tersebut dibacakan pada akhir 2021 lalu.

Judul dari artikel ini menggunakan kalimat masa depan cipta kerja dimaksudkan untuk menjernihkan kembali esensi mengenai tujuan dibuatnya aturan cipta kerja.

Tujuan dari dibuatnya UUCK pada awalnya adalah untuk meningkatkan investasi yang terkendala karena banyaknya tumpang tindih perundangan sehingga UUCK dibuat dengan metode omnibus. Sebagaimana dijelaskan oleh Ginder (2001), omnibus adalah metode harmonisasi dan sinkronisasi berbagai aturan hukum dalam satu aturan payung. Diharapkan dengan teratasinya persoalan tumpang tindih aturan maka investasi akan berkembang dan dapat menyerap lapangan kerja.

Jika dicermati secara teliti Putusan MK No 91/PUU -XVIII/2020 hanya menyoal mengenai cacat formal dan bukan cacat materiil. Sehingga secara esensial persoalan UUCK adalah secara formal pembentukannya dan bukan substansinya.

Terbitnya Perppu 2/2022 sebetulnya tidak dapat hanya dimaknai secara legalistik saja, tetapi perlu dimaknai dalam tiga perspektif yakni ekonomi, politik dan hukum itu sendiri.

Sebagaimana konsep sibernetika hukum yang diuraikan oleh Parsons (1967), yang menguraikan bahwa hukum bukanlah sub sistem yang berdiri sendiri dan tidak terpengaruh oleh sub sistem lainnya.

Dalam teori sibernetika hukum, dimaknai bahwa subsistem hukum dipengaruhi oleh sub sistem politik (pembentukan hukum akan sangat bergantung pada konstelasi politik) dan sub sistem politik akan sangat bergantung pada kepentingan ekonomi (subsistem ekonomi) sehingga nampak jelas bahwa kepentingan ekonomi memiliki aspek urgensitas yang besar didalam hukum.

Hal ini terlihat jelas dalam pidato menteri koordinator perekonomian saat merilis Perppu 2/2022 yang sarat akan alasan ekonomi, seperti dampak perekonomian perang Rusia-Ukraina.

Memahami Sibernetika
Perppu 2/2022 harus dipahami dengan pendekatan sibernetika artinya Perppu tersebut perlu dipahami dengan tiga perspektif yakni ekonomi, politik dan hukum itu sendiri. Artinya terbitnya Perppu 2/2022 akan sulit dipahami jika hanya menggunakan pendekatan legalistik dan kembali masuk pada ranah perdebatan ‘keabsahan formal’.

Jika kita merunut pada lahirnya UUCK itu sendiri maka filosofi (legal spirit) yang mendasarinya adalah kepentingan ekonomi, dalam hal ini adalah
kepentingan mempermudah investasi di Indonesia dan meningkatkan jumlah investasi dengan demikian maka akan terbuka banyak lapangan pekerjaan.
UUCK dipandang sebagai sebuah solusi atas persoalan tingkat kemudahan berusaha (ease of doing business) di Indonesia yang masih rendah, beberapa tahun terakhir Indonesia berada di peringkat 73.

Kondisi tersebut disebabkan karena banyaknya ketidakpastian hukum karena banyaknya tumpang tindih peraturan perundang-undangan, demikian juga dengan fakta masih tingginya angka pengangguran di Indonesia karena tidak terserap lapangan kerja sehingga dapatlah dipahami dari aspek legal drafting latar belakang kata ‘Cipta Kerja’ dalam UUCK itu sendiri.

Secara politis latar belakang ekonomi ini dipandang serius karena kondisi tersebut diungkapkan dalam pidato pertama Presiden Joko Widodo saat dilantik pada periode kedua masa jabatannya. Demikian pula pemerintah dalam berbagai forum selalu mengatakan bahwa UUCK merupakan game changer bagi dunia investasi dan akan ada banyak kemudahan bagi investor, sebaliknya dalam berbagai kesempatan pemerintah juga menyampaikan bahwa UUCK akan membawa keterserapan angkatan kerja yang lebih tinggi sehingga angka pengangguran akan berkurang secara drastis.

Persoalannya adalah secara formal pada saat disusunnya UUCK dalam Undang-Undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) belum dikenal metode pembuatan perundangan model omnibus, selanjutnya UU PPP telah diperbaharui dengan Undang-Undang 15 tahun 2019 kondisi inilah yang oleh MK melalui Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020 dinyatakan bahwa UUCK inkonstitusional bersyarat karena mengandung cacat formal.

Dampak Ekonomi
Putusan MK tersebut perlu dipahami dengan pendekatan economic analysis of law yakni pendekatan mengenai dampak ekonomi dari Putusan MK tersebut, khususnya pada amar Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020 ketujuh yakni “Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”.

Kondisi inilah yang dipandang menyebabkan ketidakpastian hukum mengingat di satu sisi UUCK masih dinyatakan berlaku namun sebaliknya ada pembatasan pada amar ketujuh Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020 sehingga kondisi ini dipandang akan menyebabkan hambatan bisnis (business interruption) yang disebabkan ketidakpastian hukum. Dalam hal ini seperti yang diungkapkan pemerintah misalnya dalam penyusunan upah minimum menggunakan aturan yang berbasis pada UUCK.

Secara prosedural formal dalam hal penerbitan Perppu 2/2022 presiden dapat dibenarkan karena Presiden memiliki norma subjektif untuk menilai keadaan negara mendesak maupun genting. Meskipun selanjutnya Perppu tetap harus diajukan ke DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU) atau dianulir.

Demikian juga dalam kaitannya dengan amar ke enam Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020 “Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan 417 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen”, dapat dimaknai bahwa penerbitan Perppu 2/2022 adalah bentuk perbaikan sebagaimana diperintahkan dalam Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020.

Demikian juga dalam hal ini penting bagi seluruh elemen untuk memahami esensi dan urgensitas dari aturan cipta kerja itu sendiri apapun bentuk formalnya. Seluruh elemen masyarakat perlu kembali pada filosofis (legal spirit) dan esensi dari pembentukan aturan cipta kerja dibanding terus menerus berpolemik dengan perspektif legalistik mengenai bentuk formal dan keabsahan mekanisme formal pembentukan perundangan cipta kerja itu sendiri.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1418 seconds (0.1#10.140)