KPU Kaji Pemilihan Tertutup, Andi Mallarangeng Sarankan Distrik Campuran
loading...
A
A
A
Namun, Andi memastikan bahwa sistem proporsional terbuka menghasilkan anggota parlemen yang akuntabilitasnya kuat kepada rakyat. Kalaupun sudah terpilih, tidak ada jaminan dia bisa terpilih kembali, biarpun caleg petahana itu mendapat nomor urut 1, karena itu semua tergantung bagaimana penilaian rakyat terhadap kinerjanya sebagai wakil rakyat.
"Ini yang berbeda dengan sistem proporsional tertutup. Seseorang bisa terpilih dan terpilih kembali walau kinerjanya sebagai wakil rakyat tidak jelas. Selama dia dekat dengan pimpinan partai, dia bisa terus dapat nomor urut 1, dan kemungkinan besar terpilih kembali," terang Andi.
Dengan demikian, dia menambahkan, kalau sistem proporsional tertutup kembali terjadi, yang akan tampil di DPR dan DPRD adalah para elit partai dan orang-orang yang jago cari muka di hadapan pimpinan partai. Mereka bukanlah wakil rakyat yang sejati dan terjadi kemunduran dalam demokrasi. "Kalau benar kita kembali ke sistem proporsional tertutup, itu adalah kemunduran demokrasi di Indonesi," tukasnya.
Lebih dari itu, Andi mengusulkan agar semestinya Indonesia mulai mengarah pada sistem distrik atau first past the post. Dalam sistem ini, wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat, dimana satu dapil hanya ada satu kursi. Dapilnya kecil sehingga hubungan antara rakyat dan wakilnya jelas dan akuntabilitas kuat. "Tapi kita tahu sejak dulu mayoritas parpol tidak percaya diri dengan sistem distrik," imbuhnya.
Karena itu, menurut Andi, malau parpol Indonesia belum mampu mengadopsi sistem distrik, mestinya maju ke arah sistem campuran distrik dan proporsional, seperti di Jerman yang diusulkan Tim 7 kala itu. Dengan sistem ini, mayoritas anggota parlemen dipilih dengan sistem distrik, namun ada sebagian kursi diperebutkan dengan sistem proporsional tertutup. Sehingga, mengkombinasikan akuntabilitas yang kuat kepada rakyat dengan kebutuhan partai untuk menempatkan elitnya di parlemen.
"Kalau toh sistem campuran ala Jerman ini tetap dianggap masih terlalu "menakutkan" bagi elit partai, ya sudah, marilah kita tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, yang tetap memberikan peluang bagi rakyat untuk memilih langsung wakilnya," ujarnya.
"Janganlah hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri dengan mundur ke sistem proporsional tertutup," tandas mantan Menpora ini.
"Ini yang berbeda dengan sistem proporsional tertutup. Seseorang bisa terpilih dan terpilih kembali walau kinerjanya sebagai wakil rakyat tidak jelas. Selama dia dekat dengan pimpinan partai, dia bisa terus dapat nomor urut 1, dan kemungkinan besar terpilih kembali," terang Andi.
Dengan demikian, dia menambahkan, kalau sistem proporsional tertutup kembali terjadi, yang akan tampil di DPR dan DPRD adalah para elit partai dan orang-orang yang jago cari muka di hadapan pimpinan partai. Mereka bukanlah wakil rakyat yang sejati dan terjadi kemunduran dalam demokrasi. "Kalau benar kita kembali ke sistem proporsional tertutup, itu adalah kemunduran demokrasi di Indonesi," tukasnya.
Lebih dari itu, Andi mengusulkan agar semestinya Indonesia mulai mengarah pada sistem distrik atau first past the post. Dalam sistem ini, wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat, dimana satu dapil hanya ada satu kursi. Dapilnya kecil sehingga hubungan antara rakyat dan wakilnya jelas dan akuntabilitas kuat. "Tapi kita tahu sejak dulu mayoritas parpol tidak percaya diri dengan sistem distrik," imbuhnya.
Karena itu, menurut Andi, malau parpol Indonesia belum mampu mengadopsi sistem distrik, mestinya maju ke arah sistem campuran distrik dan proporsional, seperti di Jerman yang diusulkan Tim 7 kala itu. Dengan sistem ini, mayoritas anggota parlemen dipilih dengan sistem distrik, namun ada sebagian kursi diperebutkan dengan sistem proporsional tertutup. Sehingga, mengkombinasikan akuntabilitas yang kuat kepada rakyat dengan kebutuhan partai untuk menempatkan elitnya di parlemen.
"Kalau toh sistem campuran ala Jerman ini tetap dianggap masih terlalu "menakutkan" bagi elit partai, ya sudah, marilah kita tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, yang tetap memberikan peluang bagi rakyat untuk memilih langsung wakilnya," ujarnya.
"Janganlah hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri dengan mundur ke sistem proporsional tertutup," tandas mantan Menpora ini.
(muh)