KPU Kaji Pemilihan Tertutup, Andi Mallarangeng Sarankan Distrik Campuran

Jum'at, 30 Desember 2022 - 07:47 WIB
loading...
KPU Kaji Pemilihan Tertutup, Andi Mallarangeng Sarankan Distrik Campuran
KPU mewacanakan untuk menguba sistem pemilihan menjadi proporsional tertutup. Foto/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari melemparkan wacana bahwa terbuka kemungkinan Pemilu 2024 menggunakan daftar calon legislatif (caleg) terutup atau sistem proporsional tertutup. Sistem ini pernah diterapkan dalam pemilu selama masa Orde Baru (Orba).

Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng mengusulkan KPU menggunakan sistem distrik campuran. Sistem ini pernah diusulkan Tim 7 pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie dalam rangka merevisi Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu). Distrik campuran pernah disetujui dalam rangka memperkuat akuntabilitas anggota parlemen.

"Saya masih ingat ketika kami dari Tim 7 yang dipimpin oleh Prof. Ryaas Rasyid diminta untuk menyusun draft UU Pemilu baru yang demokratis oleh Pemerintahan Presiden Habibie. Ketika itu, dalam semangat reformasi kami mengusulkan, dan disetujui oleh Presiden, sistem distrik campuran untuk pemilu legislatif. Alasannya, untuk memperkuat akuntabilitas anggota parlemen kepada rakyat yang diwakilinya," kata Andi kepada wartawan, Jumat (30/12/2022).



Selama Orba, Andi melanjutkan, dengan sistem proporsional tertutup, yang terjadi adalah tampilnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya, karena rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih dasarnya adalah nomor urut caleg yang orangnya ditentukan oleh parpol.

"Yang muncul adalah kader-kader jenggot yang berakar ke atas, tidak mengakar ke rakyat. Oligarki partai merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri," ujarnya.

Menurut Juru Bicara (Jubir) Presiden era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, dalam sistem proporsional tertutup, perjuangannya adalah bagaimana mendapatkan nomor urut kecil, bahkan kalau bisa dapat nomor urut 1. Maka resepnya adalah bagaimana agar lebih dekat dengan pimpinan parpol, bukan rakyat.

"Yang penting branding partai tetap kuat di dapil. Biarlah tokoh utama partai yang berkampanye keliling, kita tinggal memasang gambar partai dan tokohnya. Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih. Oh, yang kerja keras mungkin caleg no 2, karena hanya kalau partai dapat 2 kursi baru dia bisa terpilih. Nomor urut 3 dan seterusnya cuma pelengkap, hampir tidak ada harapan terpilih," kritik Andi.

Soal adanya kritik bahwa sistem proporsional terbuka mengakibatkan biaya politik tinggi karena persaingan antar calon di dalam partai dan juga politik uang, ia menjelaskan, politik uang tidak berasal dari sistem pemilu tapi justru pada budaya politik masyarakat dan elit itu sendiri. Dan budaya bagi-bagi sembako jelang pemilu sudah terjadi sejak masa Orba dengan proporsional tertutup.

"Kalau soal politik biaya tinggi, itu relatif, tergantung orangnya dan daerahnya, serta campaign financing system. Apalagi, sekarang ada medsos yang gratis," tegasnya.

Namun, Andi memastikan bahwa sistem proporsional terbuka menghasilkan anggota parlemen yang akuntabilitasnya kuat kepada rakyat. Kalaupun sudah terpilih, tidak ada jaminan dia bisa terpilih kembali, biarpun caleg petahana itu mendapat nomor urut 1, karena itu semua tergantung bagaimana penilaian rakyat terhadap kinerjanya sebagai wakil rakyat.

"Ini yang berbeda dengan sistem proporsional tertutup. Seseorang bisa terpilih dan terpilih kembali walau kinerjanya sebagai wakil rakyat tidak jelas. Selama dia dekat dengan pimpinan partai, dia bisa terus dapat nomor urut 1, dan kemungkinan besar terpilih kembali," terang Andi.

Dengan demikian, dia menambahkan, kalau sistem proporsional tertutup kembali terjadi, yang akan tampil di DPR dan DPRD adalah para elit partai dan orang-orang yang jago cari muka di hadapan pimpinan partai. Mereka bukanlah wakil rakyat yang sejati dan terjadi kemunduran dalam demokrasi. "Kalau benar kita kembali ke sistem proporsional tertutup, itu adalah kemunduran demokrasi di Indonesi," tukasnya.



Lebih dari itu, Andi mengusulkan agar semestinya Indonesia mulai mengarah pada sistem distrik atau first past the post. Dalam sistem ini, wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat, dimana satu dapil hanya ada satu kursi. Dapilnya kecil sehingga hubungan antara rakyat dan wakilnya jelas dan akuntabilitas kuat. "Tapi kita tahu sejak dulu mayoritas parpol tidak percaya diri dengan sistem distrik," imbuhnya.

Karena itu, menurut Andi, malau parpol Indonesia belum mampu mengadopsi sistem distrik, mestinya maju ke arah sistem campuran distrik dan proporsional, seperti di Jerman yang diusulkan Tim 7 kala itu. Dengan sistem ini, mayoritas anggota parlemen dipilih dengan sistem distrik, namun ada sebagian kursi diperebutkan dengan sistem proporsional tertutup. Sehingga, mengkombinasikan akuntabilitas yang kuat kepada rakyat dengan kebutuhan partai untuk menempatkan elitnya di parlemen.

"Kalau toh sistem campuran ala Jerman ini tetap dianggap masih terlalu "menakutkan" bagi elit partai, ya sudah, marilah kita tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, yang tetap memberikan peluang bagi rakyat untuk memilih langsung wakilnya," ujarnya.

"Janganlah hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri dengan mundur ke sistem proporsional tertutup," tandas mantan Menpora ini.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2030 seconds (0.1#10.140)