Fadli Zon Ungkap 2 Hal Penting Perlu Dikawal agar Konsolidasi Demokrasi Tak Terus Terkikis
loading...
A
A
A
Menurutnya, 2022 menjadi tahun yang sangat kritikal bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Kata Fadli Zon, selain akibat residu dari badai pandemi Covid-19 yang telah menggerus komitmen pemerintah dalam berdemokrasi, bangsa ini juga menghadapi perangkap wacana ekonomi-politik yang mengikis konsolidasi demokrasi yang tengah dibangun.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir, pandemi berperan penting dalam membuktikan buruknya komitmen pemerintah dalam berdemokrasi. Mulai dari praktik pembatasan informasi yang berdampak pada kebebasan sipil, hingga melemahnya check and balances antar-lembaga pemerintah.
“Mengutip pandangan Colin Crouch, seorang sosilog dari London School of Economics, dua aspek tersebut, setidaknya menjadi sebagian dari tanda-tanda negara yang mengalami post-democracy, yakni kondisi kemunduran demokrasi akut meski tak sampai kepada bentuk authoritarian. Sebenarnya, tanda-tanda post-democracy telah muncul sebelum pandemi,” kata Fadli Zon.
Menurutnya, badai pandemi semakin membuktikan bahwa demokrasi Indonesia benar-benar sedang bergerak mundur. “Meski pandemi hampir berakhir dan kebijakan pemerintah yang minim check and balances, seperti UU Cipta Kerja, akhirnya mengalami koreksi konstitusional oleh MK, namun residu yang telah mengikis komitmen demokrasi pemerintah masih melekat kuat,” kata dia.
Bahayanya, sambung dia, residu tersebut terus menjalar pada wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang jelas-jelas inkonstitusional. Tak heran, ujar dia, meskipun menurut laporan indeks demokrasi yang diterbitkan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2022 peringkat Indonesia naik dari 64 menjadi 52 dari 167 negara, namun Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat).
“Salah satu alasannya, karena proses elektoral dan pluralisme tak bergerak di skor 7,92. Begitu pun dengan indikator budaya politik yang juga masih berada di angka 4,38. Di kawasan Asia Tenggara, kualitas budaya demokrasi Indonesia masih lebih rendah dari Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06),” pungkasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir, pandemi berperan penting dalam membuktikan buruknya komitmen pemerintah dalam berdemokrasi. Mulai dari praktik pembatasan informasi yang berdampak pada kebebasan sipil, hingga melemahnya check and balances antar-lembaga pemerintah.
“Mengutip pandangan Colin Crouch, seorang sosilog dari London School of Economics, dua aspek tersebut, setidaknya menjadi sebagian dari tanda-tanda negara yang mengalami post-democracy, yakni kondisi kemunduran demokrasi akut meski tak sampai kepada bentuk authoritarian. Sebenarnya, tanda-tanda post-democracy telah muncul sebelum pandemi,” kata Fadli Zon.
Menurutnya, badai pandemi semakin membuktikan bahwa demokrasi Indonesia benar-benar sedang bergerak mundur. “Meski pandemi hampir berakhir dan kebijakan pemerintah yang minim check and balances, seperti UU Cipta Kerja, akhirnya mengalami koreksi konstitusional oleh MK, namun residu yang telah mengikis komitmen demokrasi pemerintah masih melekat kuat,” kata dia.
Bahayanya, sambung dia, residu tersebut terus menjalar pada wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang jelas-jelas inkonstitusional. Tak heran, ujar dia, meskipun menurut laporan indeks demokrasi yang diterbitkan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2022 peringkat Indonesia naik dari 64 menjadi 52 dari 167 negara, namun Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat).
“Salah satu alasannya, karena proses elektoral dan pluralisme tak bergerak di skor 7,92. Begitu pun dengan indikator budaya politik yang juga masih berada di angka 4,38. Di kawasan Asia Tenggara, kualitas budaya demokrasi Indonesia masih lebih rendah dari Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06),” pungkasnya.
(rca)