Fadli Zon Ungkap 2 Hal Penting Perlu Dikawal agar Konsolidasi Demokrasi Tak Terus Terkikis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon mengungkapkan dua hal penting yang perlu dikawal agar konsolidasi demokrasi Indonesia tidak terus terkikis. Pertama, kata dia, menjaga kepastian penyelenggaraan Pemilu 2024 .
“Pada 14 Desember lalu, pemilu sudah masuk ke dalam tahapan penetapan peserta. Ada 17 Parpol dan 6 Parpol lokal Aceh yang telah ditetapkan KPU. Namun, bukan berarti penyelenggaraan pemilu 2024 sudah aman dari ancaman penundaan,” kata Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya mengenai catatan politik akhir tahun, Rabu (28/12/2022).
Dia menuturkan, bulan lalu misalnya, sejumlah media melaporkan masih adanya wacana penundaan pemilu yang datang dari aktor-aktor politik. Sebagai wacana yang inkonstitusional, lanjut dia, pemerintah hendaknya tak lagi membiarkan ketidakpastian penyelenggaraan pemilu, karena bisa merusak aspek konstitusionalitas, struktural, dan politis pada sistem demokrasi Indonesia.
Ironisnya, kata Fadli Zon, wacana penundaan pemilu didorong dalam kondisi ekonomi Indonesia yang diklaim pemerintah bergerak impresif. “Ini terlihat dari ekonomi Indonesia yang mampu tumbuh sebesar 5,72% (yoy) ketika banyak negara mengalami pertumbuhan ekonomi negatif,” tuturnya.
Dia berpendapat, semestinya kinerja ekonomi yang impresif ini justru dapat menjadi katalis untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan dan kualitas demokrasi, nukan sebaliknya. “Inilah yang oleh Willaim J. Bernstein dalam bukunya The Birth of Plenty, yang dengan tegas menyimpulkan bahwa economic prosperity seharusnya merupakan faktor kunci lahir dan bertahannya demokrasi, bukan justru mematikan demokrasi,” imbuhnya.
Kedua, kata Fadli Zon, yang perlu dikawal bersama di tahun politik 2023 adalah kualitas jalannya pemilu itu sendiri. “Kita perlu ambil pelajaran berharga dari Pemilu 2019. Belajar dari pengalaman, Pemilu 2019 menyisakan sejumlah problem mendasar yang sangat serius,” ujarnya.
Dia melanjutkan, mulai dari persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT), netralitas penyelenggara pemilu, problem hitung cepat, hingga meninggalnya ratusan petugas pemilu, yang hingga kini belum diungkap penyebabnya secara tuntas. “Di luar persoalan prosedural tersebut, perjalanan pemilu 2019 juga tak lepas dari ancaman jaminan kebebasan sipil dan berpendapat. Itu semua harus menjadi catatan serius yang perlu diantisipasi agar tidak terulang di Pemilu 2024,” jelasnya.
Dia mengatakan, tahun 2023 akan menjadi sejarah sekaligus tikungan baru dalam perjalanan demokrasi kita. Dia menambahkan, dalam kondisi demokrasi yang masih cacat (flawed democracy), bangsa ini dihadapkan dengan satu agenda besar yaitu pemilu serentak.
“Karenanya tak berlebihan kalau tahun 2023 dapat dikatakan sebagai momen pertaruhan bagi konsolidasi demokrasi Indonesia. Apakah bergerak maju atau semakin terkikis,” ucapnya.
Menurutnya, 2022 menjadi tahun yang sangat kritikal bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Kata Fadli Zon, selain akibat residu dari badai pandemi Covid-19 yang telah menggerus komitmen pemerintah dalam berdemokrasi, bangsa ini juga menghadapi perangkap wacana ekonomi-politik yang mengikis konsolidasi demokrasi yang tengah dibangun.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir, pandemi berperan penting dalam membuktikan buruknya komitmen pemerintah dalam berdemokrasi. Mulai dari praktik pembatasan informasi yang berdampak pada kebebasan sipil, hingga melemahnya check and balances antar-lembaga pemerintah.
“Mengutip pandangan Colin Crouch, seorang sosilog dari London School of Economics, dua aspek tersebut, setidaknya menjadi sebagian dari tanda-tanda negara yang mengalami post-democracy, yakni kondisi kemunduran demokrasi akut meski tak sampai kepada bentuk authoritarian. Sebenarnya, tanda-tanda post-democracy telah muncul sebelum pandemi,” kata Fadli Zon.
Menurutnya, badai pandemi semakin membuktikan bahwa demokrasi Indonesia benar-benar sedang bergerak mundur. “Meski pandemi hampir berakhir dan kebijakan pemerintah yang minim check and balances, seperti UU Cipta Kerja, akhirnya mengalami koreksi konstitusional oleh MK, namun residu yang telah mengikis komitmen demokrasi pemerintah masih melekat kuat,” kata dia.
Bahayanya, sambung dia, residu tersebut terus menjalar pada wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang jelas-jelas inkonstitusional. Tak heran, ujar dia, meskipun menurut laporan indeks demokrasi yang diterbitkan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2022 peringkat Indonesia naik dari 64 menjadi 52 dari 167 negara, namun Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat).
“Salah satu alasannya, karena proses elektoral dan pluralisme tak bergerak di skor 7,92. Begitu pun dengan indikator budaya politik yang juga masih berada di angka 4,38. Di kawasan Asia Tenggara, kualitas budaya demokrasi Indonesia masih lebih rendah dari Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06),” pungkasnya.
“Pada 14 Desember lalu, pemilu sudah masuk ke dalam tahapan penetapan peserta. Ada 17 Parpol dan 6 Parpol lokal Aceh yang telah ditetapkan KPU. Namun, bukan berarti penyelenggaraan pemilu 2024 sudah aman dari ancaman penundaan,” kata Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya mengenai catatan politik akhir tahun, Rabu (28/12/2022).
Dia menuturkan, bulan lalu misalnya, sejumlah media melaporkan masih adanya wacana penundaan pemilu yang datang dari aktor-aktor politik. Sebagai wacana yang inkonstitusional, lanjut dia, pemerintah hendaknya tak lagi membiarkan ketidakpastian penyelenggaraan pemilu, karena bisa merusak aspek konstitusionalitas, struktural, dan politis pada sistem demokrasi Indonesia.
Ironisnya, kata Fadli Zon, wacana penundaan pemilu didorong dalam kondisi ekonomi Indonesia yang diklaim pemerintah bergerak impresif. “Ini terlihat dari ekonomi Indonesia yang mampu tumbuh sebesar 5,72% (yoy) ketika banyak negara mengalami pertumbuhan ekonomi negatif,” tuturnya.
Dia berpendapat, semestinya kinerja ekonomi yang impresif ini justru dapat menjadi katalis untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan dan kualitas demokrasi, nukan sebaliknya. “Inilah yang oleh Willaim J. Bernstein dalam bukunya The Birth of Plenty, yang dengan tegas menyimpulkan bahwa economic prosperity seharusnya merupakan faktor kunci lahir dan bertahannya demokrasi, bukan justru mematikan demokrasi,” imbuhnya.
Kedua, kata Fadli Zon, yang perlu dikawal bersama di tahun politik 2023 adalah kualitas jalannya pemilu itu sendiri. “Kita perlu ambil pelajaran berharga dari Pemilu 2019. Belajar dari pengalaman, Pemilu 2019 menyisakan sejumlah problem mendasar yang sangat serius,” ujarnya.
Dia melanjutkan, mulai dari persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT), netralitas penyelenggara pemilu, problem hitung cepat, hingga meninggalnya ratusan petugas pemilu, yang hingga kini belum diungkap penyebabnya secara tuntas. “Di luar persoalan prosedural tersebut, perjalanan pemilu 2019 juga tak lepas dari ancaman jaminan kebebasan sipil dan berpendapat. Itu semua harus menjadi catatan serius yang perlu diantisipasi agar tidak terulang di Pemilu 2024,” jelasnya.
Dia mengatakan, tahun 2023 akan menjadi sejarah sekaligus tikungan baru dalam perjalanan demokrasi kita. Dia menambahkan, dalam kondisi demokrasi yang masih cacat (flawed democracy), bangsa ini dihadapkan dengan satu agenda besar yaitu pemilu serentak.
“Karenanya tak berlebihan kalau tahun 2023 dapat dikatakan sebagai momen pertaruhan bagi konsolidasi demokrasi Indonesia. Apakah bergerak maju atau semakin terkikis,” ucapnya.
Menurutnya, 2022 menjadi tahun yang sangat kritikal bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Kata Fadli Zon, selain akibat residu dari badai pandemi Covid-19 yang telah menggerus komitmen pemerintah dalam berdemokrasi, bangsa ini juga menghadapi perangkap wacana ekonomi-politik yang mengikis konsolidasi demokrasi yang tengah dibangun.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir, pandemi berperan penting dalam membuktikan buruknya komitmen pemerintah dalam berdemokrasi. Mulai dari praktik pembatasan informasi yang berdampak pada kebebasan sipil, hingga melemahnya check and balances antar-lembaga pemerintah.
“Mengutip pandangan Colin Crouch, seorang sosilog dari London School of Economics, dua aspek tersebut, setidaknya menjadi sebagian dari tanda-tanda negara yang mengalami post-democracy, yakni kondisi kemunduran demokrasi akut meski tak sampai kepada bentuk authoritarian. Sebenarnya, tanda-tanda post-democracy telah muncul sebelum pandemi,” kata Fadli Zon.
Menurutnya, badai pandemi semakin membuktikan bahwa demokrasi Indonesia benar-benar sedang bergerak mundur. “Meski pandemi hampir berakhir dan kebijakan pemerintah yang minim check and balances, seperti UU Cipta Kerja, akhirnya mengalami koreksi konstitusional oleh MK, namun residu yang telah mengikis komitmen demokrasi pemerintah masih melekat kuat,” kata dia.
Bahayanya, sambung dia, residu tersebut terus menjalar pada wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang jelas-jelas inkonstitusional. Tak heran, ujar dia, meskipun menurut laporan indeks demokrasi yang diterbitkan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2022 peringkat Indonesia naik dari 64 menjadi 52 dari 167 negara, namun Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat).
“Salah satu alasannya, karena proses elektoral dan pluralisme tak bergerak di skor 7,92. Begitu pun dengan indikator budaya politik yang juga masih berada di angka 4,38. Di kawasan Asia Tenggara, kualitas budaya demokrasi Indonesia masih lebih rendah dari Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06),” pungkasnya.
(rca)