Gunakan Standar Euro 4, Pemerintah Kaji Penggunaan BBM Ramah Lingkungan

Sabtu, 11 Juli 2020 - 09:31 WIB
loading...
Gunakan Standar Euro...
Foto: dok/SINDOphoto
A A A
JAKARTA - Pemerintah mempertimbangkan menghapus BBM jenis premium dan pertalite . Kedua jenis ini memiliki angka oktan yang rendah sehingga termasuk tidak ramah lingkungan. Sebab, jenis teknologi mesin yang menggunakan premium dan pertalite adalah Euro 1 berkategori paling polutif.

Ke depan pemerintah akan mengganti penggunaan premium dan pertalite dengan bahan bakar minyak yang memenuhi standar Euro 4, yakni bensin dengan research octane number (RON) di atas 91 dan kadar sulfur maksimal 50 ppm. Premium dan pertalite yang selama ini beredar di bawah RON 91. Pertalite memiliki RON 90 dan premium memiliki nilai oktan 88 sehingga tidak sesuai standar Euro 4.

Manager Technical and Fuel Retail Marketing PT Pertamina Remigius Choerniadi Tomo mengatakan, secara ilmiah jika premium masih digunakan terus-menerus akan lebih banyak menghasilkan kerugian karena emisi yang dihasilkan sangat tinggi yang berakibat pencemaran udara. "Jika kita beralih dari mesin dengan standar Euro 1 ke mesin bensin dengan standar emisi Euro 2, tanpa kita sadari mobil kita akan menurunkan emisi sebanyak 82,9%," ungkapnya. (Baca: Tuntut Presiden Mundur, Demonstran Duduki Stasiun TV Pemerintah Mali)

Apalagi jika beralih ke mesin bensin dengan ke emisi gas buang Euro 3, maka emisi gas buangnya akan turun mencapai 87,5%. Terakhir, jika mesin bensin kendaraan sudah menggunakan Euro 4 maka emisi gas buang penurunannya mencapai 93,5%.

Menurut dia, jika kendaraan modern saat ini masih menggunakan bahan bakar premium, maka gas buang yang dihasilkan sangat kotor. "Pabrikan mobil saat ini sudah menggunakan compression ratio yang tinggi. Penggunaan premium sudah tidak tepat, jika premium dipaksa digunakan untuk mesin mobil modern maka akan terjadi nocking atau detonasi," tuturnya.

Detonasi ialah dua tumpukan di dalam ruang bakar sehingga menyebabkan penurunan daya pada mesin mobil berakibat emisi yang dihasilkan makin tinggi. Dalam jangka panjang mobil akan mengalami kerusakan.

Pakar ekonomi energi, Komaidi Notonegoro, menjelaskan, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian ESDM pernah mengeluarkan kebijakan tentang batasan RON (kategori bensin) dan itu sangat bagus. (Baca juga: Banyak Lembaga Pendidikan Gukung Tikar, Pemerintah Diminta Turun Tangan)

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute ini menjelaskan, pembatasan RON masuk dalam Perpres Nomor 191/2014 mengenai pembatasan pendistribusian terhadap premium pada wilayah Jawa, Madura dan Bali, hingga 2018. Hal ini membuat adanya penurunan signifikan pada polusi udara. Sayangnya, perpres ini direvisi menjelang Idul Fitri dan Pilpres 2019.

Akhirnya, pada 2018 terjadi kenaikan signifikan penggunaan premium. "Ketika premium hadir kembali dengan harga murah, tentu masyarakat akan kembali menggunakan premium. Prinsipnya masyarakat akan memilih yang lebih murah. Selama pemerintah memberikan opsi harga yang paling murah maka akan ada kecenderungan masyarakat ke sana," tuturnya. (Baca juga: Keluarkan Fatwa, MUI Soroti Masalah Salat Idul Adha dan Sembelih Kurban)

Sementara itu, ekonom Defian Ciri menilai penjualan premium oleh Pertamina berpotensi menguntungkan negara Rp60 triliun. Tetapi, demi kepentingan kesehatan masyarakat Indonesia dan sebagai perusahaan yang profesional mengabdi kepada kepentingan negara, harusnya hal ini tidak menjadi soal bagi Pertamina.

Apalagi, masyarakat sudah lebih peduli menggunakan BBM yang ramah lingkungan seiring dengan arus informasi dan gerakan yang serupa terjadi di dunia. Maka, kini giliran pemerintah yang wajib menunjukkan keseriusan. Terkait harga BBM pengganti premium nanti, Pertamina harusnya dapat membuat kebijakan harga yang mendekati premium sehingga kesadaran konsumen menjadi meningkat karena jarak harga tidak terlalu signifikan.

Komentar yang sama datang dari Organisasi Angkutan Darat (Organda) yang tidak mempermasalahkan bila premium dihapuskan. Selain untuk lingkungan, mereka juga memikirkan mesin kendaraan. Meskipun pemakaian premium hanya 3% dari keseluruhan angkutan. (Lihat videonya: Kapal Tak Bisa Sandar, Sapi Dilempar ke Laut)

Organda menyoroti distribusi di seluruh Indonesia karena kebutuhan angkutan bukan sesuatu yang bisa dikesampingkan begitu saja. "Kami ingin apa pun bahan bakarnya yang dikirim untuk angkutan umum kualitasnya bagus pada tingkat harga yang memang memadai, stabilitas harga menjadi kunci," ujar Sekjen DPP Organda Ateng Aryono. (Ananda Nararya)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1243 seconds (0.1#10.140)