Isu Polusi Udara Perlu Jadi Perhatian Capres Cawapres 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Isu polusi udara dinilai perlu menjadi perhatian setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Masing-masing kandidat perlu memiliki gagasan untuk mengatasi persoalan tersebut.
Peneliti di Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Edbert Gani Suryahudaya menilai komitmen sektor politik terhadap isu polusi udara masih belum memadai, meskipun kesadaran masyarakat mengenai isu ini semakin meningkat.
“Politisi maupun pemangku kebijakan kita masih sedikit sekali yang punya kesadaran terhadap isu polusi udara. Tinggal bagaimana mereka yang punya akses, mereka yang punya kekuasaan, mereka yang punya relative bargaining power. Kepada para politisi yang mau meng-capture isu ini layak untuk diperbincangkan,” kata Gani dalam keterangannya, Rabu (1/11/2023).
Menurut dia, isu polusi udara kurang mendapat perhatian dalam diskusi politik, dibandingkan dengan isu-isu lain seperti lapangan kerja dan kebutuhan dasar. Namun, dia melihat potensi peningkatan kesadaran, terutama di kalangan masyarakat kelas menengah perkotaan, seiring dengan munculnya dampak buruk polusi udara yang semakin nyata.
“Jadi memang kalau kita berkaca pada pandangan umum, mungkin isu polusi udara ke depan akan semakin berkembang dari level masyarakat. Sedangkan dari level pemerintah memang bisa dibilang lebih minim lagi, karena memang politisi maupun pemangku kebijakan kita masih sedikit sekali yang punya kesadaran terhadap isu polusi udara,” tuturnya.
Dia menekankan bahwa masih ada jalan panjang terkait dimensi politik polusi udara. Langkah pertama adalah membuat masyarakat peduli tentang isu lingkungan. Begitu isu lingkungan menjadi perhatian umum di antara warga, politikus tidak punya pilihan selain menghadapinya dengan serius.
“Bagian yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita bisa memobilisasi, merubah pola pikir cara pandang masyarakat terhadap hak mereka akan udara bersih. Sehingga mau tidak mau ketika pandangan publik terhadap udara bersih sudah semakin umum, bahwa itu adalah hak yang harus dipenuhi oleh seorang politisi maupun pemangku kebijakan publik,” katanya.
“Pada akhirnya nanti politisi pasti harus mengadopsi itu sebagai sebuah kebijakan karena kalau tidak dia tidak akan mendapatkan dukungan,” sambungnya.
Dia berpendapat urgensi pemangku kebijakan maupun politikus terkait dengan polusi udara bisa terbilang masih minim. Akan tetapi, dia tidak menampik adanya potensi topik ini berkembang lebih luas lagi.
Dia pun menegaskan pentingnya mempengaruhi lanskap politik. Pemilu 2024 dianggapnya menjadi peluang terutama dengan bertambahnya jumlah pemilih muda dan pemilih pemula.
Namun, dia menekankan perlunya mereka yang memiliki pengaruh dan kekuatan tawar untuk mendukung isu udara bersih, menjadikannya topik sentral dalam diskusi politik. “Paling penting adalah untuk orang-orang yang ingin mengadvokasi isu terkait polusi udara, harus berpikir bagaimana kita memberikan insentif secara politik bagi para pemangku kebijakan,” imbuhnya.
“Jadi tidak bisa kita hanya sendiri saja berjuang untuk udara bersih, tapi mereka semua, karena yang menghirup udara bersih itu bukan cuma masyarakat saja, tapi elite sendiri, politisi, pengusaha, kita semua menghirup udara yang sama,” tandasnya.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
Peneliti di Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Edbert Gani Suryahudaya menilai komitmen sektor politik terhadap isu polusi udara masih belum memadai, meskipun kesadaran masyarakat mengenai isu ini semakin meningkat.
“Politisi maupun pemangku kebijakan kita masih sedikit sekali yang punya kesadaran terhadap isu polusi udara. Tinggal bagaimana mereka yang punya akses, mereka yang punya kekuasaan, mereka yang punya relative bargaining power. Kepada para politisi yang mau meng-capture isu ini layak untuk diperbincangkan,” kata Gani dalam keterangannya, Rabu (1/11/2023).
Menurut dia, isu polusi udara kurang mendapat perhatian dalam diskusi politik, dibandingkan dengan isu-isu lain seperti lapangan kerja dan kebutuhan dasar. Namun, dia melihat potensi peningkatan kesadaran, terutama di kalangan masyarakat kelas menengah perkotaan, seiring dengan munculnya dampak buruk polusi udara yang semakin nyata.
“Jadi memang kalau kita berkaca pada pandangan umum, mungkin isu polusi udara ke depan akan semakin berkembang dari level masyarakat. Sedangkan dari level pemerintah memang bisa dibilang lebih minim lagi, karena memang politisi maupun pemangku kebijakan kita masih sedikit sekali yang punya kesadaran terhadap isu polusi udara,” tuturnya.
Dia menekankan bahwa masih ada jalan panjang terkait dimensi politik polusi udara. Langkah pertama adalah membuat masyarakat peduli tentang isu lingkungan. Begitu isu lingkungan menjadi perhatian umum di antara warga, politikus tidak punya pilihan selain menghadapinya dengan serius.
“Bagian yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita bisa memobilisasi, merubah pola pikir cara pandang masyarakat terhadap hak mereka akan udara bersih. Sehingga mau tidak mau ketika pandangan publik terhadap udara bersih sudah semakin umum, bahwa itu adalah hak yang harus dipenuhi oleh seorang politisi maupun pemangku kebijakan publik,” katanya.
“Pada akhirnya nanti politisi pasti harus mengadopsi itu sebagai sebuah kebijakan karena kalau tidak dia tidak akan mendapatkan dukungan,” sambungnya.
Dia berpendapat urgensi pemangku kebijakan maupun politikus terkait dengan polusi udara bisa terbilang masih minim. Akan tetapi, dia tidak menampik adanya potensi topik ini berkembang lebih luas lagi.
Dia pun menegaskan pentingnya mempengaruhi lanskap politik. Pemilu 2024 dianggapnya menjadi peluang terutama dengan bertambahnya jumlah pemilih muda dan pemilih pemula.
Namun, dia menekankan perlunya mereka yang memiliki pengaruh dan kekuatan tawar untuk mendukung isu udara bersih, menjadikannya topik sentral dalam diskusi politik. “Paling penting adalah untuk orang-orang yang ingin mengadvokasi isu terkait polusi udara, harus berpikir bagaimana kita memberikan insentif secara politik bagi para pemangku kebijakan,” imbuhnya.
“Jadi tidak bisa kita hanya sendiri saja berjuang untuk udara bersih, tapi mereka semua, karena yang menghirup udara bersih itu bukan cuma masyarakat saja, tapi elite sendiri, politisi, pengusaha, kita semua menghirup udara yang sama,” tandasnya.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
(rca)