QRIS: Regulasi Responsif yang Mendukung Green Economy
loading...
A
A
A
Saraswati Harsasi
Pemerhati dan Peneliti Hukum Fintech
TAHUKAH Anda bagaimana siklus hidup uang tunai, sejak dicetak sampai dimusnahkan? Seperti mahluk hidup, ternyata uang tunai berbentuk kertas dan logam mengalami hidup dan kematian. Bank Indonesia-lah yang menentukan “takdir” kehidupan uang ini.
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran.
Pengelolaan uang oleh BI membutuhkan biaya yang besar dan melibatkan sumber daya manusia yang banyak, baik sejak pencetakan, distribusi dan pemusnahannya. Selain masalah inefisiensi, pengelolaan uang juga berdampak terhadap lingkungan.
Baca Juga: koran-sindo.com
BI mendistribusikan uang dari Jakarta kepada masyarakat di seluruh penjuru Indonesia, bahkan sampai ke daerah terpencil yang sulit dijangkau. Puluhan ribu kilometer daratan, udara, dan lautan akan ditempuh dengan berbagai sarana transportasi berbahan bakar untuk mengedarkan uang agar dapat diakses oleh masyarakat.
Setelah sampai kepada masyarakat, uang kemudian mengalami perjalanan dari satu titik ke titik lain sampai kembali lagi ke BI melalui kegiatan penyetoran uang oleh bank. Di ujung perjalanannya sampai di BI, uang yang rusak dan tidak layak edar akan mengalami pemusnahan sebagai siklus terakhir pada hidupnya. Pada tahap ini, dibutuhkan proses pembakaran untuk membakar uang kertas maupun melebur uang logam.
Berdasarkan data BI, dalam tiga tahun terakhir telah dimusnahkan uang kertas senilai 205 triliun (2019), 166 triliun (2020), dan 153 triliun (2021). Penggunaan bahan bakar dalam proses hidup uang tersebut dapat memengaruhi emisi karbon yang berdampak negatif terhadap lingkungan.
Inefisensi yang disertai efek destruktif demikian perlu untuk diperhatikan guna menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembangnya green economy. Green economy adalah konsep pembangunan yang berupaya mengharmonisasikan pertumbuhan ekonomi menuju kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan.
Green economy juga diartikan sebagai gagasan ekonomi yang menekan emisi karbondioksida sehingga dapat mencegah kerusakan alam.
Paradigma ekonomi baru yang mulai agresif diadaptasi oleh negara-negara di dunia ini bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang mendorong bisnis tanpa mengurangi standar, keselamatan, keamanan dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, harapannya di masa mendatang seluruh kegiatan ekonomi harus berwawasan lingkungan, termasuk mengurangi penggunaan bahan bakar.
Sejalan dengan cita-cita ini, inovator di seluruh dunia berlomba-lomba untuk menciptakan teknologi digital yang efisien dan ramah lingkungan, termasuk dalam aktivitas sistem pembayaran. Bagi manusia yang hidup di zaman dulu, pembayaran digital akan dianggap sihir yang rasanya tidak mungkin dilakukan tanpa sarana nyata. Teknologi telah mendobrak limitasi pikiran manusia dan menstimulasi inovasi baru yang memudahkan kehidupan.
Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan salah satu “sihir” baru dalam sistem pembayaran Indonesia. Sihir inilah yang dapat mengurangi penggunaan uang tunai agar masa hidupnya dapat diperpanjang sehingga dapat mendukung pelestarian lingkungan.
QRIS diinisiasi oleh BI untuk digunakan dalam memfasilitasi transaksi pembayaran. BI memiliki otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan tugas dan wewenang, salah satunya mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam kapasitas ini, BI mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi QRIS. Dengan demikian, berbagai QR Code yang dikeluarkan oleh instrumen pembayaran yang berbeda-beda dapat difasilitasi oleh satu QR Code pembayaran yang sama.
QRIS juga hadir sebagai respons terhadap pencegahan penularan Covid-19 dengan menyediakan metode pemindaian yang nirsentuh untuk memproses transaksi pembayaran. Berbeda dengan transaksi tunai maupun menggunakan kartu, QRIS tidak membutuhkan perpindahan sarana pembayaran dari satu orang ke orang lainnya. QR Code cukup di-scan melalui smartphone, selanjutnya “sihir digital” akan memindahkan dana dari konsumen ke rekening pedagang, tanpa memerlukan pemindahan uang tunai secara fisik.
Manfaat QRIS bagi masyarakat adalah kemudahan melakukan transaksi pembayaran yang cepat, praktis, dan efektif. Selain dapat menyediakan pencatatan transaksi, QRIS memudahkan pedagang untuk dapat menerima pembayaran dari berbagai instrumen hanya dengan menampilkan satu QR Code. Tiap merchant memiliki kode unik yang digunakan untuk membayar layanan jasa/barang. QR Code ini di-scan pada gawai dan selanjutnya dapat dibayarkan melalui mobile banking maupun dompet elektronik seperti Go Pay, Shopee Pay, Dana, Ovo, dan sebagainya. Inilah kelebihan dari QRIS yang mampu mewujudkan interkoneksi dan interoperabilitas pembayaran, satu untuk semua.
Namun demikian, masih ada kendala dalam implementasi QRIS. Terdapat biaya transaksi yang dibebankan pada merchant non UMKM berkisar 0,4-0,7% dari nilai transaksi. Biaya ini terlihat kecil untuk per transaksi, namun akan terasa besar apabila seluruh transaksi dikalkulasikan dalam sebulan misalnya. Ujung-ujungnya, biaya akan ditanggung oleh konsumen yang dimasukkan pada harga barang/jasa. Oleh karena itu, pembebanan biaya ini perlu dikaji ulang atau diberikan insentif yang signifikan agar sarana cerdas ini dapat menjadi piranti utama pembayaran masyarakat.
Batasan nilai transaksi QRIS juga menjadi kendala bagi merchant yang akan menerapkan transaksi di atas 10 juta, sehingga QRIS lekat dengan sebutan pembayaran receh. Selain itu, masyarakat juga masih terkendala keterbatasan konektivitas karena kurangnya infrastrukur jaringan, khususnya di daerah pelosok. Yang lebih krusial, tingkat pendapatan yang masih rendah dan minimnya literasi keuangan menjadi hambatan nyata pada masyarakat menengah ke bawah.
Permasalahan ini perlu untuk segera diselesaikan sehingga QRIS dapat optimal melayani masyarakat. Pemerintah dan BI harus meningkatkan koordinasi untuk menciptakan ekosistem yang ideal bagi ekonomi digital melalui berbagai regulasi, kebijakan, dan fasilitasi tepat sasaran.
Terlepas dari kendala yang ada, QRIS sebagai bagian dari Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), juga turut serta mendukung konservasi dan restorasi lingkungan melalui pengurangan penggunaan uang tunai. Inisiatif BI sebagai regulator sistem pembayaran dimaksud merupakan langkah responsif untuk secara nyata mendukung green economy melalui perangkat ketentuan hukum.
Regulasi yang dibuat mampu merespons kebutuhan-kebutuhan sosial yang mendesak dan relevan diterapkan sehingga tidak hanya mewujudkan keadilan sosial, tetapi mampu menjadi fasilitator kebutuhan dan aspirasi masyarakat terhadap kebutuhan lingkungan yang sehat. Tidak sekadar menawarkan fleksibilitas pembayaran, lebih dari itu, QRIS sebagai salah satu bentuk layanan keuangan digital diharapkan berangsur-angsur akan mengubah pola pikir masyarakat untuk berorientasi pada aktivitas yang ramah lingkungan.
Pemerhati dan Peneliti Hukum Fintech
TAHUKAH Anda bagaimana siklus hidup uang tunai, sejak dicetak sampai dimusnahkan? Seperti mahluk hidup, ternyata uang tunai berbentuk kertas dan logam mengalami hidup dan kematian. Bank Indonesia-lah yang menentukan “takdir” kehidupan uang ini.
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran.
Pengelolaan uang oleh BI membutuhkan biaya yang besar dan melibatkan sumber daya manusia yang banyak, baik sejak pencetakan, distribusi dan pemusnahannya. Selain masalah inefisiensi, pengelolaan uang juga berdampak terhadap lingkungan.
Baca Juga: koran-sindo.com
BI mendistribusikan uang dari Jakarta kepada masyarakat di seluruh penjuru Indonesia, bahkan sampai ke daerah terpencil yang sulit dijangkau. Puluhan ribu kilometer daratan, udara, dan lautan akan ditempuh dengan berbagai sarana transportasi berbahan bakar untuk mengedarkan uang agar dapat diakses oleh masyarakat.
Setelah sampai kepada masyarakat, uang kemudian mengalami perjalanan dari satu titik ke titik lain sampai kembali lagi ke BI melalui kegiatan penyetoran uang oleh bank. Di ujung perjalanannya sampai di BI, uang yang rusak dan tidak layak edar akan mengalami pemusnahan sebagai siklus terakhir pada hidupnya. Pada tahap ini, dibutuhkan proses pembakaran untuk membakar uang kertas maupun melebur uang logam.
Berdasarkan data BI, dalam tiga tahun terakhir telah dimusnahkan uang kertas senilai 205 triliun (2019), 166 triliun (2020), dan 153 triliun (2021). Penggunaan bahan bakar dalam proses hidup uang tersebut dapat memengaruhi emisi karbon yang berdampak negatif terhadap lingkungan.
Inefisensi yang disertai efek destruktif demikian perlu untuk diperhatikan guna menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembangnya green economy. Green economy adalah konsep pembangunan yang berupaya mengharmonisasikan pertumbuhan ekonomi menuju kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan.
Green economy juga diartikan sebagai gagasan ekonomi yang menekan emisi karbondioksida sehingga dapat mencegah kerusakan alam.
Paradigma ekonomi baru yang mulai agresif diadaptasi oleh negara-negara di dunia ini bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang mendorong bisnis tanpa mengurangi standar, keselamatan, keamanan dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, harapannya di masa mendatang seluruh kegiatan ekonomi harus berwawasan lingkungan, termasuk mengurangi penggunaan bahan bakar.
Sejalan dengan cita-cita ini, inovator di seluruh dunia berlomba-lomba untuk menciptakan teknologi digital yang efisien dan ramah lingkungan, termasuk dalam aktivitas sistem pembayaran. Bagi manusia yang hidup di zaman dulu, pembayaran digital akan dianggap sihir yang rasanya tidak mungkin dilakukan tanpa sarana nyata. Teknologi telah mendobrak limitasi pikiran manusia dan menstimulasi inovasi baru yang memudahkan kehidupan.
Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan salah satu “sihir” baru dalam sistem pembayaran Indonesia. Sihir inilah yang dapat mengurangi penggunaan uang tunai agar masa hidupnya dapat diperpanjang sehingga dapat mendukung pelestarian lingkungan.
QRIS diinisiasi oleh BI untuk digunakan dalam memfasilitasi transaksi pembayaran. BI memiliki otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan tugas dan wewenang, salah satunya mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam kapasitas ini, BI mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi QRIS. Dengan demikian, berbagai QR Code yang dikeluarkan oleh instrumen pembayaran yang berbeda-beda dapat difasilitasi oleh satu QR Code pembayaran yang sama.
QRIS juga hadir sebagai respons terhadap pencegahan penularan Covid-19 dengan menyediakan metode pemindaian yang nirsentuh untuk memproses transaksi pembayaran. Berbeda dengan transaksi tunai maupun menggunakan kartu, QRIS tidak membutuhkan perpindahan sarana pembayaran dari satu orang ke orang lainnya. QR Code cukup di-scan melalui smartphone, selanjutnya “sihir digital” akan memindahkan dana dari konsumen ke rekening pedagang, tanpa memerlukan pemindahan uang tunai secara fisik.
Manfaat QRIS bagi masyarakat adalah kemudahan melakukan transaksi pembayaran yang cepat, praktis, dan efektif. Selain dapat menyediakan pencatatan transaksi, QRIS memudahkan pedagang untuk dapat menerima pembayaran dari berbagai instrumen hanya dengan menampilkan satu QR Code. Tiap merchant memiliki kode unik yang digunakan untuk membayar layanan jasa/barang. QR Code ini di-scan pada gawai dan selanjutnya dapat dibayarkan melalui mobile banking maupun dompet elektronik seperti Go Pay, Shopee Pay, Dana, Ovo, dan sebagainya. Inilah kelebihan dari QRIS yang mampu mewujudkan interkoneksi dan interoperabilitas pembayaran, satu untuk semua.
Namun demikian, masih ada kendala dalam implementasi QRIS. Terdapat biaya transaksi yang dibebankan pada merchant non UMKM berkisar 0,4-0,7% dari nilai transaksi. Biaya ini terlihat kecil untuk per transaksi, namun akan terasa besar apabila seluruh transaksi dikalkulasikan dalam sebulan misalnya. Ujung-ujungnya, biaya akan ditanggung oleh konsumen yang dimasukkan pada harga barang/jasa. Oleh karena itu, pembebanan biaya ini perlu dikaji ulang atau diberikan insentif yang signifikan agar sarana cerdas ini dapat menjadi piranti utama pembayaran masyarakat.
Batasan nilai transaksi QRIS juga menjadi kendala bagi merchant yang akan menerapkan transaksi di atas 10 juta, sehingga QRIS lekat dengan sebutan pembayaran receh. Selain itu, masyarakat juga masih terkendala keterbatasan konektivitas karena kurangnya infrastrukur jaringan, khususnya di daerah pelosok. Yang lebih krusial, tingkat pendapatan yang masih rendah dan minimnya literasi keuangan menjadi hambatan nyata pada masyarakat menengah ke bawah.
Permasalahan ini perlu untuk segera diselesaikan sehingga QRIS dapat optimal melayani masyarakat. Pemerintah dan BI harus meningkatkan koordinasi untuk menciptakan ekosistem yang ideal bagi ekonomi digital melalui berbagai regulasi, kebijakan, dan fasilitasi tepat sasaran.
Terlepas dari kendala yang ada, QRIS sebagai bagian dari Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), juga turut serta mendukung konservasi dan restorasi lingkungan melalui pengurangan penggunaan uang tunai. Inisiatif BI sebagai regulator sistem pembayaran dimaksud merupakan langkah responsif untuk secara nyata mendukung green economy melalui perangkat ketentuan hukum.
Regulasi yang dibuat mampu merespons kebutuhan-kebutuhan sosial yang mendesak dan relevan diterapkan sehingga tidak hanya mewujudkan keadilan sosial, tetapi mampu menjadi fasilitator kebutuhan dan aspirasi masyarakat terhadap kebutuhan lingkungan yang sehat. Tidak sekadar menawarkan fleksibilitas pembayaran, lebih dari itu, QRIS sebagai salah satu bentuk layanan keuangan digital diharapkan berangsur-angsur akan mengubah pola pikir masyarakat untuk berorientasi pada aktivitas yang ramah lingkungan.
(bmm)