Mendorong Optimisme Menuju 2023

Senin, 05 Desember 2022 - 08:04 WIB
loading...
A A A
Di sisi lain, menjaga nilai ekspor Indonesia juga penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, meski tak mudah. Data kuartal III/2022 menunjukkan bahwa ekspor dan impor masih mampu mencatatkan surplus secara berkesinambungan. Pada periode ini, pertumbuhan ekonomi didukung ekspor barang dan jasa yang naik 21,64% secara tahunan (yoy) dengan kontribusi mencapai 26,23%, meningkat dari kontribusi pada kuartal II/2022 dengan persentase sebesar 24,74%.

Artinya, ekspor tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.Windfallekspor masih berlanjut namun cenderung melemah akibat harga beberapa komoditas global yang lebih kompetitif serta kurs transaksi beli rupiah terhadap dollar AS yang melemah (terdepresiasi). Alhasil, pertumbuhan impor secara persentase berhasil melampaui pertumbuhan ekspor, sehingga ke depannya perlu diwaspadai di tengah terus menguatnya dollar AS.

Meski cukup berat, menjaga neraca perdagangan untuk tetap surplus di tengah ancaman perlambatan ekonomi perlu terus diupayakan. Hingga saat ini, China masih menempati posisi pertama sebagai negara mitra dagang Indonesia dengan nilai ekspor USD17,34 miliar pada kuartal III/2022.

Oleh sebab itu, dalam memitigasi risiko perlambatan tersebut, pemerintah perlu melakukan sejumlah langkah strategis di antaranya dengan meningkatkan akses pasar ekspor ke pasar nontradisional, khususnya di kawasan Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah baik melalui promosi, misi dagang, maupun perjanjian kerja sama.

Sinergi, Kebersamaan, dan Kolaborasi
Selain optimisme, yang juga perlu dijaga adalah aspek kewaspadaan. Apalagi jika dilihat tugas berat karena banyaknya faktor negatif yang membayangi perekonomian di tahun depan, terutama tantangan inflasi.

Merespons ini, BI telah menaikkan suku bunga demi menjangkar ekspektasi inflasi, menjaga nilai tukar rupiah, dan mengantisipasi kebijakan agresif bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed). BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 basis points (bps) hanya dalam kurun waktu empat bulan terakhir menjadi 5,25%. BI mengerek suku bunga sebesar 25 bps pada Agustus dan menaikkan masing-masing sebesar 50 bps pada September-November.

Akan tetapi, kebijakan moneter ketat BI bukannya tanpa risiko. Kenaikan suku bunga acuan yang sangat agresif bisa berdampak kepada pertumbuhan ekonomi, permintaan kredit, hingga perlambatan konsumsi. Meski demikian, berdasarkan laporan Uang Beredar November 2022, pertumbuhan kredit masih meningkat menjadi 11,7% (yoy) pada Oktober dari 10,8% pada September 2022.

Kenaikan suku bunga sebesar 50 bps adalah hal yang tepat dan seharusnya tidak dihentikan dalam waktu dekat mengingat Bank sentral negara maju seperti Swiss, Eropa, Amerika Serikat (AS), hingga negara Asia seperti Korea Selatan telah mulai mengerek suku bunga sebelum pertengahan tahun. Pun The Fed telah mulai mengerek suku bunga acuan sejak Maret 2022. Sepanjang tahun ini, The Fed bahkan telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 375 bps menjadi 3,75-4,0%.

Kolaborasi sinergi yang solid antara kebijakan moneter dan fiskal menjadi kunci untuk mengatasi ancaman inflasi dan perlambatan ekonomi, ditengah ketidakpastian ekonomi global. Pengendalian inflasi yang tidak cukup dengan menaikkan suku bunga oleh Bank Indonesia saja, melainkan juga dengan mengintervensi dari sisi fiskal.

Pemerintah perlu memberikan stimulus fiskal untuk melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat memberikan bantalan sosial (bansos). Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 500/4825/SJ tentang Penggunaan Belanja Tidak Terduga Dalam Rangka Pengendalian Inflasi Daerah untuk menjaga keterjangkauan harga dan daya beli masyarakat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2071 seconds (0.1#10.140)