Titik Terendah Negara Demokrasi Konstitusional
loading...
A
A
A
Jika hakim MK tidak boleh membatalkan UU yang dibuat oleh DPR dan Presiden, artinya, DPR juga sudah tidak menginginkan adanya MK. Paling tidak, DPR sudah mengingkari salah satu kewenangan mahkota yang dimiliki oleh MK, yakni menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945.
Pemahaman ini jelas bertentangan dan pelanggaran serius terhadap konstitusi. Atau dalam keinginan yang lain, ke depannya bisa saja DPR menginginkan MK hanya menjadi pajangan.
Lembaga dan hakimnya ada, tetapi tidak boleh membatalkan UU, meskipun dari pemeriksaan dan persidangan di MK, suatu pasal, ayat, atau keseluruhan materi UU bertentangan dengan UUD NRI 1945. Jika memang hal tersebut yang diinginkan, jelas ini malpraktik negara hukum yang sangat berbahaya dan mengancam.
Kedua, pernyataan DPR yang mengatakan bahwa Aswanto adalah wakil DPR di MK, sepenuhnya pernyataan yang keliru. MK bukan lembaga perwakilan. Kewenangan DPR terhadap hakim konstitusi, hanyalah terbatas pada pengusulan saja. Hakikat pengusulan hakim konstitusi oleh DPR, lagi-lagi bertujuan untuk memberikan fungsi keseimbangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal ini pengisian hakim konstitusi.
Dari sembilan hakim konstitusi, tidak hanya DPR yang diberikan mandat oleh konstitusi untuk mengusulkan hakim. Melainkan juga ada presiden dan Mahkamah Agung yang masing-masing diberikan kewenangan mengusulkan masing-masing tiga orang hakim konstitusi.
Artinya, kewenangan DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung di dalam pengisian hakim konstitusi, berhenti sampai di tahapan pengusulan saja.
Dalam pemecatan Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah, DPR juga melakukan pelanggaran yang sangat mendasar. Mekanisme pemilihan Guntur Hamzah dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan UU MK yang dibuat oleh DPR dan Presiden.
Ketiga, alasan mekanisme pemberhentian Aswanto merupakan tindakan yang bertentangan dengan UU Mahkamah Konstitusi. Di dalam UU Mahkamah Konstitusi, pemberhentian hakim konstitusi hanya dapat terjadi dengan dua kondisi. Pertama pemberhentian dengan hormat, dan kedua pemberhentian dengan tidak hormat. Pemberhentian dengan hormat, hanya terjadi atas dasar beberpa sebab. Beberapa di antaranya mengundurkan diri, memasuki masa pensiun, habis masa jabatan, atau meninggal dunia.
Selanjutnya pemberhentian dengan tidak hormat, hanya terjadi jika hakim konstitusi melakukan tindak pidana atau pelanggaran etik. Proses pemberhentian secara tidak hormat ini juga wajib didahului dengan proses pemeriksaan melalui Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Kondisi faktual pemecatan Aswanto, sama sekali tidak memenuhi situasi pemberhentian secara hormat ataupun pemberhentian secara tidak hormat. Artinya, ada masalah yang sangat mendasar dari DPR di dalam melakukan tindakan pemecatan terhadap Aswanto.
Pemahaman ini jelas bertentangan dan pelanggaran serius terhadap konstitusi. Atau dalam keinginan yang lain, ke depannya bisa saja DPR menginginkan MK hanya menjadi pajangan.
Lembaga dan hakimnya ada, tetapi tidak boleh membatalkan UU, meskipun dari pemeriksaan dan persidangan di MK, suatu pasal, ayat, atau keseluruhan materi UU bertentangan dengan UUD NRI 1945. Jika memang hal tersebut yang diinginkan, jelas ini malpraktik negara hukum yang sangat berbahaya dan mengancam.
Kedua, pernyataan DPR yang mengatakan bahwa Aswanto adalah wakil DPR di MK, sepenuhnya pernyataan yang keliru. MK bukan lembaga perwakilan. Kewenangan DPR terhadap hakim konstitusi, hanyalah terbatas pada pengusulan saja. Hakikat pengusulan hakim konstitusi oleh DPR, lagi-lagi bertujuan untuk memberikan fungsi keseimbangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal ini pengisian hakim konstitusi.
Dari sembilan hakim konstitusi, tidak hanya DPR yang diberikan mandat oleh konstitusi untuk mengusulkan hakim. Melainkan juga ada presiden dan Mahkamah Agung yang masing-masing diberikan kewenangan mengusulkan masing-masing tiga orang hakim konstitusi.
Artinya, kewenangan DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung di dalam pengisian hakim konstitusi, berhenti sampai di tahapan pengusulan saja.
Dalam pemecatan Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah, DPR juga melakukan pelanggaran yang sangat mendasar. Mekanisme pemilihan Guntur Hamzah dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan UU MK yang dibuat oleh DPR dan Presiden.
Ketiga, alasan mekanisme pemberhentian Aswanto merupakan tindakan yang bertentangan dengan UU Mahkamah Konstitusi. Di dalam UU Mahkamah Konstitusi, pemberhentian hakim konstitusi hanya dapat terjadi dengan dua kondisi. Pertama pemberhentian dengan hormat, dan kedua pemberhentian dengan tidak hormat. Pemberhentian dengan hormat, hanya terjadi atas dasar beberpa sebab. Beberapa di antaranya mengundurkan diri, memasuki masa pensiun, habis masa jabatan, atau meninggal dunia.
Selanjutnya pemberhentian dengan tidak hormat, hanya terjadi jika hakim konstitusi melakukan tindak pidana atau pelanggaran etik. Proses pemberhentian secara tidak hormat ini juga wajib didahului dengan proses pemeriksaan melalui Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Kondisi faktual pemecatan Aswanto, sama sekali tidak memenuhi situasi pemberhentian secara hormat ataupun pemberhentian secara tidak hormat. Artinya, ada masalah yang sangat mendasar dari DPR di dalam melakukan tindakan pemecatan terhadap Aswanto.