Titik Terendah Negara Demokrasi Konstitusional
loading...
A
A
A
Fadli Ramadhanil
Manager Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
PEMECATAN hakim konstitusi Aswanto dan diiringi dengan pelantikan Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi dapat dikatakan sebagai titik terendah Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional. Cabang-cabang kekuasaan negara, mulai dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dirasa semakin menjauh dari konstitusi.
Seluruh piranti-piranti negara hukum dan demokrasi sepertinya sudah ditebas oleh DPR dan Presiden. Kedua lembaga seperti bisa mewujudkan apa yang saja diinginkan, tanpa bisa dihalangi, apalagi dihentikan. Batasan-batasan ketentuan hukum sebagai pedoman di dalam menjalankan negara dan pemerintahan dikesampingkan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Bahkan, dalam banyak kesempatan, untuk kasus pemecetan hakim konstitusi Aswanto, penjelasan DPR dan Sekretariat Negara yang menjadi corong Presiden sungguh memprihatinkan. Keduanya seperti menjalankan kekuasaan dan pemerintahan tanpa ingin memahami dan mematuhi nilai-nilai hukum yang berlaku.
Gagal Paham DPR
Ketua Komisi Hukum DPR, Bambang Wuryanto, mengatakan bahwa alasan pemberhentian Aswanto disebabkan oleh seringnya produk undang-undang yang dihasilkan oleh DPR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Bambang, Aswanto sebaga wakil DPR di MK, mestinya melindungi produk hukum yang dihasilkan oleh DPR. Sampai pada titik ini, ada tiga kesalahan fatal DPR di dalam memberhentikan Aswanto.
Pertama, secara kewenangan, fungsi, dan tujuan didirikannya MK, hakikatnya memang untuk membatalkan undang-undang yang dihasilkan oleh DPR dan Presiden. Kewenangan pembatalan undang-undang yang dimiliki oleh undang-undang tentu bukan berasal dari selera hakim konstitusi saja.
Kewenangan pembatalan undang-undang ini adalah impelementasi dari teoricheks and balancesantarcabang kekuasaan negara di dalam menjalankan pemerintahan. Undang-undang sebagai produk politik, yang materinya akan mengatur kehidupan orang banyak, perlu dipastikan tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, serta tidak merugikan hak-hak konstitusional warga negara.
Keberadaan MK juga merupakan bagian penting untuk mewujudkan negara hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan menjaga Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional.
Semua kewenangan, tugas, dan fungsi MK, tertulis eksplisit di dalam UUD NRI 1945. Bahkan, secara kelembagaan terdapat UU khusus yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi. Ketentuan UU yang mengatur tentang MK juga belum lama ini diubah oleh DPR dan Presiden. Artinya, jika sekarang Ketua Komisi Hukum DPR mengatakan kesalahan atau alasan pemberhentian karena Aswanto sebagai hakim konstitusi sering membatalkan UU yang dibuat oleh DPR, jelas itu merupakan alasan yang mengada-ada.
Manager Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
PEMECATAN hakim konstitusi Aswanto dan diiringi dengan pelantikan Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi dapat dikatakan sebagai titik terendah Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional. Cabang-cabang kekuasaan negara, mulai dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dirasa semakin menjauh dari konstitusi.
Seluruh piranti-piranti negara hukum dan demokrasi sepertinya sudah ditebas oleh DPR dan Presiden. Kedua lembaga seperti bisa mewujudkan apa yang saja diinginkan, tanpa bisa dihalangi, apalagi dihentikan. Batasan-batasan ketentuan hukum sebagai pedoman di dalam menjalankan negara dan pemerintahan dikesampingkan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Bahkan, dalam banyak kesempatan, untuk kasus pemecetan hakim konstitusi Aswanto, penjelasan DPR dan Sekretariat Negara yang menjadi corong Presiden sungguh memprihatinkan. Keduanya seperti menjalankan kekuasaan dan pemerintahan tanpa ingin memahami dan mematuhi nilai-nilai hukum yang berlaku.
Gagal Paham DPR
Ketua Komisi Hukum DPR, Bambang Wuryanto, mengatakan bahwa alasan pemberhentian Aswanto disebabkan oleh seringnya produk undang-undang yang dihasilkan oleh DPR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Bambang, Aswanto sebaga wakil DPR di MK, mestinya melindungi produk hukum yang dihasilkan oleh DPR. Sampai pada titik ini, ada tiga kesalahan fatal DPR di dalam memberhentikan Aswanto.
Pertama, secara kewenangan, fungsi, dan tujuan didirikannya MK, hakikatnya memang untuk membatalkan undang-undang yang dihasilkan oleh DPR dan Presiden. Kewenangan pembatalan undang-undang yang dimiliki oleh undang-undang tentu bukan berasal dari selera hakim konstitusi saja.
Kewenangan pembatalan undang-undang ini adalah impelementasi dari teoricheks and balancesantarcabang kekuasaan negara di dalam menjalankan pemerintahan. Undang-undang sebagai produk politik, yang materinya akan mengatur kehidupan orang banyak, perlu dipastikan tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, serta tidak merugikan hak-hak konstitusional warga negara.
Keberadaan MK juga merupakan bagian penting untuk mewujudkan negara hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan menjaga Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional.
Semua kewenangan, tugas, dan fungsi MK, tertulis eksplisit di dalam UUD NRI 1945. Bahkan, secara kelembagaan terdapat UU khusus yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi. Ketentuan UU yang mengatur tentang MK juga belum lama ini diubah oleh DPR dan Presiden. Artinya, jika sekarang Ketua Komisi Hukum DPR mengatakan kesalahan atau alasan pemberhentian karena Aswanto sebagai hakim konstitusi sering membatalkan UU yang dibuat oleh DPR, jelas itu merupakan alasan yang mengada-ada.