Bangun Budaya Sadar Bencana Sejak Dini
loading...
A
A
A
Anak-anak menjadi kelompok paling rentan menjadi korban saat terjadi bencana alam seperti gempa bumi. Ini terbukti saatgempa magnitudo (M) 5,6 melanda wilayah Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21/11).
KepalaBadan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto saat merilis data korban pada Rabu (23/11) menyebut jumlah anak-anak yang meninggal dunia pada kejadian tersebut mencapai 37% (saat itu korban jiwa dilaporkan sebanyak 271 orang).HinggaJumat(25/11), jumlah korban jiwa gempa Cianjur kembali bertambah hingga menjadi 310 orang.
Indonesia termasuk negara yang sangat rawan gempa karena berada di atas lempeng tektonik dan memiliki banyak sesar yang bisa sewaktu-waktu bergeser, patah, sehingga menimbulkan kerusakan dahsyat.
Maka sangat penting untuk mendidik masyarakat tentang pengetahuan kebencanaan baik sebelum, saat terjadi, maupun pascabencana melanda. Pendidikan kebencanaan sangat penting agar masyarakat memiliki pengetahuan yang benar dan bisa mengambil tindakan cepat saat bencana gempa terjadi sehingga menghindarkannya dari risiko fatal.
Pendidikan kebencanaan ini adalah bagian dari upaya mitigasi. Diakui atau tidak, mitigas bencana di Indonesia masih tergolong lemah. Hal ini yang memicu korban banyak berjatuhan saat bencana terjadi. Kendala dalam mitigasi bencana meliputi lemahnya pengetahuan dan pemahaman guru tentang manajemen kebencanaan, materi ajar kebencanaan untuk murid yang masih minim di sekolah, dan kondisi bangunan sekolah yang banyak tidak tahan gempa,
Saat gempa terjadi, risiko besar mengintai anak-anak terutama saat berada di dalam kelas. Data menunjukkan banyak sekali bangunan sekolah yang berada di daerah bencana. Dilansir bukuPendidikan Tangguh Bencana(Kemendikbud, 2019), sejumlah satuan pendidikan dasar dan menengah berada di wilayah risiko bencana sedang dan tinggi.
Sebanyak 52.902 sekolah (24,05%) berada di wilayah rawan gempa, 2.417 sekolah (1,10%) berada di wilayah rawan tsunami, 1.685 sekolah (0,77%) berada di wilayah rawan letusan gunung api, 54.080 sekolah (24,59%) berada di wilayah rawan banjir, 15.597 sekolah (7,09%) berada di wilayah rawan longsor.
Melihat data di atas, maka tidak ada pilihan lain selain membekali anak-anak pengetahuan tentang kebencanaan. Pemahaman yang diberikan sejak dini akan menjadi bekal bagi mereka saat tumbuh dewasa sehingga menjadikan dirinya pribadi yang tanggap dan antisipatif.
Umum terjadi, isu tentang pentingnya pendidikan kebencanaan mengemuka tatkala bencana besar terjadi. Namun, setelah itu, isu kerap meredup lalu tidak lagi menjadi perbincangan utama. Sejak lama muncul usulan agar pendidikan mitigasi bencana dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, namun faktanya itu belum menjadi kenyataan.
Sebenarnya upaya sudah dilakukan pemerintah denganmenerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Pemendikbud) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggraaan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Melalui SPAB berbagai petunjuk teknis diberikan untuk menumbuhkan sikap dan keterampilan mengelola bencana baik pada fase sebelum, pada saat terjadi, dan pascabencana.
Aturan ini menjadi panduan bagi sekolah untuk menegakkan tiga pilar SPAB, yaitu pertama, fasilitas sekolah aman, keduam manajemen bencana di sekolah, dan ketiga pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana.Dari sana diharapkan berkembang pemahaman sehingga siswa dan guru bisa lebih antisipatif terhadap bencana.
Pertanyaannya, sudahkah SPAB ini diterapkan secara baik sejak diterbitkan? Sudahkan anak-anak dibekali pengetahuan yang cukup untuk menghindarkan mereka dari risiko fatal ketika gempa terjadi? Faktanya, di setiap kejadian gempa, korban meninggal kerap berjatuhan dalam jumlah besar, termasuk di antaranya adalah anak-anak.
Belajar dari kejadian gempa Cianjur dan juga bencana lain sebelumnya, sudah sepatutnya kembali mendorong pemerintah agar mengarusutamakan pendidikan kebencanaan dalam kurikulum. Di pendidikan dasar, mitigasi bencana bisa dimasukkan ke dalam mata pelajaran IPA-IPS. Bahkan, ekstrakurikuler siswa perlu menambahkan pelajaran tentang mitigasi bencana ini. Di jenjang perguruan tinggi, kampus perlu membuka program studi tentang disaster manajemen.
Tujuan pendidikan mitigas bencana diperkuat adalah agar sejak dini masyarakat punya pemahaman yang benar dan bisa bertindak sendiri secara tepat untuk mengurangi risiko fatal bencana. Budaya sadar bencana harus dibangun sejak dini.
KepalaBadan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto saat merilis data korban pada Rabu (23/11) menyebut jumlah anak-anak yang meninggal dunia pada kejadian tersebut mencapai 37% (saat itu korban jiwa dilaporkan sebanyak 271 orang).HinggaJumat(25/11), jumlah korban jiwa gempa Cianjur kembali bertambah hingga menjadi 310 orang.
Indonesia termasuk negara yang sangat rawan gempa karena berada di atas lempeng tektonik dan memiliki banyak sesar yang bisa sewaktu-waktu bergeser, patah, sehingga menimbulkan kerusakan dahsyat.
Maka sangat penting untuk mendidik masyarakat tentang pengetahuan kebencanaan baik sebelum, saat terjadi, maupun pascabencana melanda. Pendidikan kebencanaan sangat penting agar masyarakat memiliki pengetahuan yang benar dan bisa mengambil tindakan cepat saat bencana gempa terjadi sehingga menghindarkannya dari risiko fatal.
Pendidikan kebencanaan ini adalah bagian dari upaya mitigasi. Diakui atau tidak, mitigas bencana di Indonesia masih tergolong lemah. Hal ini yang memicu korban banyak berjatuhan saat bencana terjadi. Kendala dalam mitigasi bencana meliputi lemahnya pengetahuan dan pemahaman guru tentang manajemen kebencanaan, materi ajar kebencanaan untuk murid yang masih minim di sekolah, dan kondisi bangunan sekolah yang banyak tidak tahan gempa,
Saat gempa terjadi, risiko besar mengintai anak-anak terutama saat berada di dalam kelas. Data menunjukkan banyak sekali bangunan sekolah yang berada di daerah bencana. Dilansir bukuPendidikan Tangguh Bencana(Kemendikbud, 2019), sejumlah satuan pendidikan dasar dan menengah berada di wilayah risiko bencana sedang dan tinggi.
Sebanyak 52.902 sekolah (24,05%) berada di wilayah rawan gempa, 2.417 sekolah (1,10%) berada di wilayah rawan tsunami, 1.685 sekolah (0,77%) berada di wilayah rawan letusan gunung api, 54.080 sekolah (24,59%) berada di wilayah rawan banjir, 15.597 sekolah (7,09%) berada di wilayah rawan longsor.
Melihat data di atas, maka tidak ada pilihan lain selain membekali anak-anak pengetahuan tentang kebencanaan. Pemahaman yang diberikan sejak dini akan menjadi bekal bagi mereka saat tumbuh dewasa sehingga menjadikan dirinya pribadi yang tanggap dan antisipatif.
Umum terjadi, isu tentang pentingnya pendidikan kebencanaan mengemuka tatkala bencana besar terjadi. Namun, setelah itu, isu kerap meredup lalu tidak lagi menjadi perbincangan utama. Sejak lama muncul usulan agar pendidikan mitigasi bencana dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, namun faktanya itu belum menjadi kenyataan.
Sebenarnya upaya sudah dilakukan pemerintah denganmenerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Pemendikbud) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggraaan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Melalui SPAB berbagai petunjuk teknis diberikan untuk menumbuhkan sikap dan keterampilan mengelola bencana baik pada fase sebelum, pada saat terjadi, dan pascabencana.
Aturan ini menjadi panduan bagi sekolah untuk menegakkan tiga pilar SPAB, yaitu pertama, fasilitas sekolah aman, keduam manajemen bencana di sekolah, dan ketiga pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana.Dari sana diharapkan berkembang pemahaman sehingga siswa dan guru bisa lebih antisipatif terhadap bencana.
Pertanyaannya, sudahkah SPAB ini diterapkan secara baik sejak diterbitkan? Sudahkan anak-anak dibekali pengetahuan yang cukup untuk menghindarkan mereka dari risiko fatal ketika gempa terjadi? Faktanya, di setiap kejadian gempa, korban meninggal kerap berjatuhan dalam jumlah besar, termasuk di antaranya adalah anak-anak.
Belajar dari kejadian gempa Cianjur dan juga bencana lain sebelumnya, sudah sepatutnya kembali mendorong pemerintah agar mengarusutamakan pendidikan kebencanaan dalam kurikulum. Di pendidikan dasar, mitigasi bencana bisa dimasukkan ke dalam mata pelajaran IPA-IPS. Bahkan, ekstrakurikuler siswa perlu menambahkan pelajaran tentang mitigasi bencana ini. Di jenjang perguruan tinggi, kampus perlu membuka program studi tentang disaster manajemen.
Tujuan pendidikan mitigas bencana diperkuat adalah agar sejak dini masyarakat punya pemahaman yang benar dan bisa bertindak sendiri secara tepat untuk mengurangi risiko fatal bencana. Budaya sadar bencana harus dibangun sejak dini.
(ynt)