Perempuan dalam Pusaran RUU Kekerasan Seksual

Kamis, 09 Juli 2020 - 07:27 WIB
loading...
A A A
Eksploitasi seksual perlu dibunyikan sebagai perbuatan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama identitas atau martabat palsu, penyalahgunaan kepercayaan, penyalahgunaan wewenang, atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, dan ketergantungan seseorang agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut, yang terkait keinginan seksual dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Perihal perbudakan seksual, perlu menekankan adanya unsur pembatasan ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan untuk penyiksaan seksual, perlu diatur kekhasan karena selalu diwarnai paksaan korban, saksi, atau orang ketiga memberikan atau tidak memberikan keterangan dan/atau menghakimi atau memberikan penghukuman atas suatu perbuatan yang diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang lain untuk mempermalukan atau merendahkan martabatnya, dan/atau tujuan lain yang didasarkan pada diskriminasi.

Tantangan
Substansi bisa dibenahi, namun perkara yang tak kalah penting tentu adalah politik hukum. Karena RUU ini adalah inisiatif DPR, posisi DPR menjadi sorotan utama.

Menarik jika kita melihat keterwakilan perempuan di parlemen saat ini. Gerakan perempuan boleh berbangga hati dengan adanya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen periode sekarang dibandingkan sebelumnya. Dari 575 anggota DPR, 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan 711 anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (yang merupakan gabungan anggota DPR dan DPD), 120 kursi atau 20,87 persen diisi perempuan. Jumlah tersebut meningkat 22 persen dibandingkan sebelumnya yang hanya mengisi 97 kursi. Sementara di Dewan Perwakilan Daerah ada 45 perempuan. Tujuh puluh persen dari mereka “baru” menduduki posisi sebagai wakil rakyat.

Nah, apakah para anggota legislatif perempuan ini bisa membawa perubahan pada politik hukum terkait RUU PKS? Apakah benar bahwa para penolak RUU PKS adalah anggota legislatif laki-laki? Akankah anggota legislatif perempuan bersatu padu memuluskan perjalanan RUU ini dari awal (lagi) hingga berhasil disahkan menjadi UU? Saya tidak tahu pasti. Namun yang jelas, ribuan bahkan jutaan perempuan Indonesia berada dalam kerentanan pusaran kekerasan seksual.
(ras)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0688 seconds (0.1#10.140)