Perempuan dalam Pusaran RUU Kekerasan Seksual
loading...
A
A
A
R. Valentina Sagala
Senior Independent Advisor on Legal, Policy, Human Rights, Pendiri Institut Perempuan, dan Penulis Buku “Ketika Negara Mengatur Kekerasan Seksual”
DIKELUARKANNYA Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 mengundang kekecewaan publik, khususnya kelompok aktivis perempuan yang gigih mendorong lahirnya sebuah undang-undang yang bisa melindungi perempuan dari kekerasan seksual.
Perempuan dan Kekerasan Seksual
Mengapa perempuan sangat berkepentingan terhadap RUU PKS? Pertama, meski tidak melulu menimpa perempuan, fakta menunjukkan perempuanlah kelompok terbanyak yang menjadi korban. Catatan Komnas Perempuan menunjukkan selama 2001– 2012 sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Tahun 2019 tercatat kekerasan seksual mencapai 4.898 kasus.
Kedua, dalam masyarakat patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai superordinat dan subjek, sedangkan perempuan subordinat dan objek, tubuh perempuan adalah sasaran kekerasan seksual. Hal ini karena kekerasan seksual merupakan wujud ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban. Belum lagi pengalaman perempuan rentan, seperti perempuan penyandang disabilitas ataupun anak perempuan.
Ketiga, kekerasan seksual merupakan kejahatan kompleks dan spesifik. Selain relasi kuasa gender pelaku dan korban, kekerasan seksual menyentuh ranah seksualitas yang penuh dengan nilai dan tafsir masyarakat. Ini mengapa misalnya, budaya victims’ blaming atau menyalahkan korban masih tumbuh, dan tentu membuat korban kesulitan melaporkan pengalamannya guna memperoleh keadilan hukum. Ini pula mengapa banyak pihak meyakini tidak pernah ada data sebenarnya tentang kekerasan seksual karena yang muncul hanya ibarat puncak gunung es saja.
Dengan berbagai masalah ini, bisa dipahami bahwa para penentang RUU PKS sesungguhnya adalah mereka yang berpandangan patriarki, tersebar dari tidak memahami makna kesetaraan gender hingga tahu dan menolaknya. Siapakah mereka, saya tak bisa menjawabnya dengan pasti.
RUU PKS sebenarnya bukan “barang baru”. RUU ini menjadi inisiatif DPR sejak 2017. Dua tahun berikutnya, barulah Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII RUU PKS dengan pemerintah masuk dalam proses pembahasan. Media massa mencatat beberapa nama perempuan anggota Panja yang terus berupaya menggolkan RUU ini agar disahkan menjadi UU. Namun sayangnya, segala upaya itu berakhir dengan “kegagalan”. RUU PKS belum disahkan. RUU ini kemudian masuk Prolegnas Prioritas 2020, bukan sebagai “carry-over”. Dapat ditafsirkan, proses penyusunan RUU ini mulai dari awal, kemungkinan besar tidak menggunakan Naskah Akademik dan RUU yang dulu (2017). Sayangnya, alih-alih dibahas, RUU ini dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020.
Substansi RUU
Seperti apa ideal isi RUU yang akan diperjuangkan DPR ke depan? Dari segi substansi, hemat saya, RUU PKS semestinya berpijak pada kerangka filosofis sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila dan UUD 1945, dengan negara hadir melindungi setiap orang untuk mencegah, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku, serta mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU versi 2017, yaitu pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Kesembilannya perlu dipertahankan. Perlu diatur tindak pidana pelecehan seksual sebagai tindakan fisik dan nonfisik yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang serta terkait dengan keinginan seksual.
RUU juga perlu mengatur empat jenis kekerasan seksual menggunakan term “pemaksaan”, yaitu pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan pelacuran, yang unsurnya mengandung perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, ataupun menggunakan kondisi kerentanan seseorang (korban). Dalam hal perkosaan, pembuat RUU ditantang untuk merumuskan norma khusus sebagai argumentasi utama tindak pidana ini diatur tersendiri di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Karenanya, bisa diatur perkosaan sebagai perbuatan dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya, atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, dan bagian tubuh orang lain.
Eksploitasi seksual perlu dibunyikan sebagai perbuatan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama identitas atau martabat palsu, penyalahgunaan kepercayaan, penyalahgunaan wewenang, atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, dan ketergantungan seseorang agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut, yang terkait keinginan seksual dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Perihal perbudakan seksual, perlu menekankan adanya unsur pembatasan ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan untuk penyiksaan seksual, perlu diatur kekhasan karena selalu diwarnai paksaan korban, saksi, atau orang ketiga memberikan atau tidak memberikan keterangan dan/atau menghakimi atau memberikan penghukuman atas suatu perbuatan yang diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang lain untuk mempermalukan atau merendahkan martabatnya, dan/atau tujuan lain yang didasarkan pada diskriminasi.
Tantangan
Substansi bisa dibenahi, namun perkara yang tak kalah penting tentu adalah politik hukum. Karena RUU ini adalah inisiatif DPR, posisi DPR menjadi sorotan utama.
Menarik jika kita melihat keterwakilan perempuan di parlemen saat ini. Gerakan perempuan boleh berbangga hati dengan adanya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen periode sekarang dibandingkan sebelumnya. Dari 575 anggota DPR, 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan 711 anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (yang merupakan gabungan anggota DPR dan DPD), 120 kursi atau 20,87 persen diisi perempuan. Jumlah tersebut meningkat 22 persen dibandingkan sebelumnya yang hanya mengisi 97 kursi. Sementara di Dewan Perwakilan Daerah ada 45 perempuan. Tujuh puluh persen dari mereka “baru” menduduki posisi sebagai wakil rakyat.
Nah, apakah para anggota legislatif perempuan ini bisa membawa perubahan pada politik hukum terkait RUU PKS? Apakah benar bahwa para penolak RUU PKS adalah anggota legislatif laki-laki? Akankah anggota legislatif perempuan bersatu padu memuluskan perjalanan RUU ini dari awal (lagi) hingga berhasil disahkan menjadi UU? Saya tidak tahu pasti. Namun yang jelas, ribuan bahkan jutaan perempuan Indonesia berada dalam kerentanan pusaran kekerasan seksual.
Senior Independent Advisor on Legal, Policy, Human Rights, Pendiri Institut Perempuan, dan Penulis Buku “Ketika Negara Mengatur Kekerasan Seksual”
DIKELUARKANNYA Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 mengundang kekecewaan publik, khususnya kelompok aktivis perempuan yang gigih mendorong lahirnya sebuah undang-undang yang bisa melindungi perempuan dari kekerasan seksual.
Perempuan dan Kekerasan Seksual
Mengapa perempuan sangat berkepentingan terhadap RUU PKS? Pertama, meski tidak melulu menimpa perempuan, fakta menunjukkan perempuanlah kelompok terbanyak yang menjadi korban. Catatan Komnas Perempuan menunjukkan selama 2001– 2012 sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Tahun 2019 tercatat kekerasan seksual mencapai 4.898 kasus.
Kedua, dalam masyarakat patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai superordinat dan subjek, sedangkan perempuan subordinat dan objek, tubuh perempuan adalah sasaran kekerasan seksual. Hal ini karena kekerasan seksual merupakan wujud ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban. Belum lagi pengalaman perempuan rentan, seperti perempuan penyandang disabilitas ataupun anak perempuan.
Ketiga, kekerasan seksual merupakan kejahatan kompleks dan spesifik. Selain relasi kuasa gender pelaku dan korban, kekerasan seksual menyentuh ranah seksualitas yang penuh dengan nilai dan tafsir masyarakat. Ini mengapa misalnya, budaya victims’ blaming atau menyalahkan korban masih tumbuh, dan tentu membuat korban kesulitan melaporkan pengalamannya guna memperoleh keadilan hukum. Ini pula mengapa banyak pihak meyakini tidak pernah ada data sebenarnya tentang kekerasan seksual karena yang muncul hanya ibarat puncak gunung es saja.
Dengan berbagai masalah ini, bisa dipahami bahwa para penentang RUU PKS sesungguhnya adalah mereka yang berpandangan patriarki, tersebar dari tidak memahami makna kesetaraan gender hingga tahu dan menolaknya. Siapakah mereka, saya tak bisa menjawabnya dengan pasti.
RUU PKS sebenarnya bukan “barang baru”. RUU ini menjadi inisiatif DPR sejak 2017. Dua tahun berikutnya, barulah Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII RUU PKS dengan pemerintah masuk dalam proses pembahasan. Media massa mencatat beberapa nama perempuan anggota Panja yang terus berupaya menggolkan RUU ini agar disahkan menjadi UU. Namun sayangnya, segala upaya itu berakhir dengan “kegagalan”. RUU PKS belum disahkan. RUU ini kemudian masuk Prolegnas Prioritas 2020, bukan sebagai “carry-over”. Dapat ditafsirkan, proses penyusunan RUU ini mulai dari awal, kemungkinan besar tidak menggunakan Naskah Akademik dan RUU yang dulu (2017). Sayangnya, alih-alih dibahas, RUU ini dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020.
Substansi RUU
Seperti apa ideal isi RUU yang akan diperjuangkan DPR ke depan? Dari segi substansi, hemat saya, RUU PKS semestinya berpijak pada kerangka filosofis sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila dan UUD 1945, dengan negara hadir melindungi setiap orang untuk mencegah, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku, serta mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU versi 2017, yaitu pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Kesembilannya perlu dipertahankan. Perlu diatur tindak pidana pelecehan seksual sebagai tindakan fisik dan nonfisik yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang serta terkait dengan keinginan seksual.
RUU juga perlu mengatur empat jenis kekerasan seksual menggunakan term “pemaksaan”, yaitu pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan pelacuran, yang unsurnya mengandung perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, ataupun menggunakan kondisi kerentanan seseorang (korban). Dalam hal perkosaan, pembuat RUU ditantang untuk merumuskan norma khusus sebagai argumentasi utama tindak pidana ini diatur tersendiri di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Karenanya, bisa diatur perkosaan sebagai perbuatan dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya, atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, dan bagian tubuh orang lain.
Eksploitasi seksual perlu dibunyikan sebagai perbuatan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama identitas atau martabat palsu, penyalahgunaan kepercayaan, penyalahgunaan wewenang, atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, dan ketergantungan seseorang agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut, yang terkait keinginan seksual dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Perihal perbudakan seksual, perlu menekankan adanya unsur pembatasan ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan untuk penyiksaan seksual, perlu diatur kekhasan karena selalu diwarnai paksaan korban, saksi, atau orang ketiga memberikan atau tidak memberikan keterangan dan/atau menghakimi atau memberikan penghukuman atas suatu perbuatan yang diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang lain untuk mempermalukan atau merendahkan martabatnya, dan/atau tujuan lain yang didasarkan pada diskriminasi.
Tantangan
Substansi bisa dibenahi, namun perkara yang tak kalah penting tentu adalah politik hukum. Karena RUU ini adalah inisiatif DPR, posisi DPR menjadi sorotan utama.
Menarik jika kita melihat keterwakilan perempuan di parlemen saat ini. Gerakan perempuan boleh berbangga hati dengan adanya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen periode sekarang dibandingkan sebelumnya. Dari 575 anggota DPR, 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan 711 anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (yang merupakan gabungan anggota DPR dan DPD), 120 kursi atau 20,87 persen diisi perempuan. Jumlah tersebut meningkat 22 persen dibandingkan sebelumnya yang hanya mengisi 97 kursi. Sementara di Dewan Perwakilan Daerah ada 45 perempuan. Tujuh puluh persen dari mereka “baru” menduduki posisi sebagai wakil rakyat.
Nah, apakah para anggota legislatif perempuan ini bisa membawa perubahan pada politik hukum terkait RUU PKS? Apakah benar bahwa para penolak RUU PKS adalah anggota legislatif laki-laki? Akankah anggota legislatif perempuan bersatu padu memuluskan perjalanan RUU ini dari awal (lagi) hingga berhasil disahkan menjadi UU? Saya tidak tahu pasti. Namun yang jelas, ribuan bahkan jutaan perempuan Indonesia berada dalam kerentanan pusaran kekerasan seksual.
(ras)