Perludem: Pemilu Serentak 2024 Picu Munculnya Politik Jual Beli
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, Pemilu 2024 yang dilakukan secara serentak memicu adanya politik jual beli. Sebab pemilu serentak berpotensi memunculkan rekayasa politik.
“Pemilu legislatif dan pemilihan presiden yang serentak menimbulkan efek ekor jas atau coat tail effect. Mereka akan memilih partai politik yang juga mengusung atau mengusulkan calon presiden yang juga dia pilih," ujar Titi dalam diskusi KedaiKopi bertajuk 'Partai Politik Bisa Dibeli? Gosip Atau Fakta?' Minggu (20/11/2022).
Oleh sebab itu, kata Titi, Indonesia perlu belajar dari Brazil. Menurut Titi, Brazil sukses menggelar pemilu serentak hingga memiliki 11 pasangan calon presiden dan wakil presiden. "Indonesia dengan sistem yang sama namun karena ambang ada batas pencalonan presiden yang angkanya berasal dari pemilu masa lampau, menjadikan sistem presidensial rasa parlementer," tuturnya.
Titi mengklaim, adanya ambang batas menimbulkan potensi terbukanya ruang transaksi politik apabila persentase partai tidak mencapai ambang batas.
"Terlebih, masih ada 11 bulan lagi masyarakat akan terus disajikan berita mengenai pertemuan antarelite politik dan selama itu pula kita tidak bisa mengakses isi pertemuan. Karena tadi ya pragmatisme akhirnya sistem yang kita hasilkan adalah anomali dari praktik yang sepertinya bisa kita manfaatkan untuk memperbaiki situasi politik dan pemerintahan kita," ucapnya.
Lihat Juga: Partai Perindo dan Perludem Diskusi Revisi UU Pemilu, Ferry Kurnia: Demi Kontribusi Positif untuk Demokrasi
“Pemilu legislatif dan pemilihan presiden yang serentak menimbulkan efek ekor jas atau coat tail effect. Mereka akan memilih partai politik yang juga mengusung atau mengusulkan calon presiden yang juga dia pilih," ujar Titi dalam diskusi KedaiKopi bertajuk 'Partai Politik Bisa Dibeli? Gosip Atau Fakta?' Minggu (20/11/2022).
Oleh sebab itu, kata Titi, Indonesia perlu belajar dari Brazil. Menurut Titi, Brazil sukses menggelar pemilu serentak hingga memiliki 11 pasangan calon presiden dan wakil presiden. "Indonesia dengan sistem yang sama namun karena ambang ada batas pencalonan presiden yang angkanya berasal dari pemilu masa lampau, menjadikan sistem presidensial rasa parlementer," tuturnya.
Titi mengklaim, adanya ambang batas menimbulkan potensi terbukanya ruang transaksi politik apabila persentase partai tidak mencapai ambang batas.
"Terlebih, masih ada 11 bulan lagi masyarakat akan terus disajikan berita mengenai pertemuan antarelite politik dan selama itu pula kita tidak bisa mengakses isi pertemuan. Karena tadi ya pragmatisme akhirnya sistem yang kita hasilkan adalah anomali dari praktik yang sepertinya bisa kita manfaatkan untuk memperbaiki situasi politik dan pemerintahan kita," ucapnya.
Lihat Juga: Partai Perindo dan Perludem Diskusi Revisi UU Pemilu, Ferry Kurnia: Demi Kontribusi Positif untuk Demokrasi
(cip)