Pemerintah Gandeng Penyuluh Informasi Publik Sosialisasikan RKUHP di Wilayah 3T

Sabtu, 19 November 2022 - 07:50 WIB
loading...
Pemerintah Gandeng Penyuluh Informasi Publik Sosialisasikan RKUHP di Wilayah 3T
Sosialisasi RUU KUHP secara virtual yang diikuti oleh ratusan peserta, termasuk Penyuluh Informasi Publik (PIP) wilayah Indonesia Bagian Tengah, Sabtu (19/11/2022). FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Pemerintah menggandeng Penyuluh Informasi Publik (PIP) untuk menyosialiasikan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RUU KUHP ). PIP merupakan mitra strategis dalam membantu menyebarluaskan program dan kebijakan pemerintah khususnya di wilayah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal).

Direktur Informasi Komunikasi Polhukam Kementerian Kominfo Bambang Gunawan mengatakan, PIP memiliki peran penting dalam penyebaran informasi terkait RKUHP kepada masyarakat. Bambang menyebut beberapa pasal yang terdapat dalam RKUHP amat berkaitan langsung terhadap kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di daerah-daerah. Misalnya terkait aturan mengenai masalah peternakan dan pertanian di RKUHP.

"Perwujudan negara hukum berdasarkan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis melalui upaya pembangunan hukum. Salah satunya dengan melakukan revisi terhadap KUHP," kata Bambang dalam Sosialisasi RUU KUHP secara virtual yang diikuti oleh ratusan peserta, termasuk Penyuluh Informasi Publik (PIP) wilayah Indonesia Bagian Tengah, Sabtu (19/11/2022).

Baca juga: Soal RKUHP, Pakar Sebut Warisan Kolonial Belanda

"Dengan adanya kegiatan ini semoga para rekan-rekan PIP bisa menyebarluaskan informasi baik terkait RKUHP dengan bahasa yang lebih mudah diterima oleh masyarakat," ujar Bambang.

Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi Informasi dan Aparatur Kemenko Polhukam Arif Mustofa menjelaskan, penerapan hukum pidana yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat menuntut diperbaharuinya KUHP yang sebelumnya merupakan warisan hukum nasional dari era kolonial Belanda. Pasalnya, kehidupan bermasyarakat di Indonesia saat ini sudah jauh berubah dibandingkan dengan zaman pendudukan Belanda. Pemerintah menyesuaikan perubahan tersebut melalui RKUHP.

"Dibutuhkan KUHP baru untuk menggantikan KUHP buatan Belanda. Ada hal yang berubah secara drastis. Pemerintah menyesuaikan perubahan tersebut melalui RKUHP. Pemerintah ingin menyusun suatu sistem rekodifikasi hukum pidana nasional pengganti hukum pidana lama buatan Belanda," katanya.

Pembahasan RKUHP sudah dilakukan dalam waktu yang sangat panjang sejak 1958 hingga saat ini. RKUHP disusun melalui nilai-nilai keindonesiaan sebagai upaya dekolonisasi dari sistem pidana Indonesia. RKUHP juga mengedepankan demokratisasi dalam masa pembahasan substansinya yang sudah melalui 7 periode kepemimpinan presiden.

"Terdapat 15 Kementerian serta 17 Profesor dan ahli hukum pidana yang terlibat. Pemerintah mulai merancang RKUHP sejak tahun 1970 untuk mengganti KUHP yang berlaku saat ini. Proses pembahasan KUHP sangat panjang," katanya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Yenti Ganarsih menjelaskan, RKUHP yang disusun oleh pemerintah memiliki 17 keunggulan sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan modern. Dalam menyusun RKUHP pemerintah mempertimbangkan asas keseimbangan hingga rekodifikasi hukum pidana yang terbuka dan terbatas.

"Beberapa pasal RKUHP juga mengutamakan pidana pokok yang lebih ringan hingga perluasan jenis pidana pokok seperti pengawasan dan kerja sosial. Pidana denda juga diatur dalam 8 kategori," kata Yenti.

Menurut Yenti, RKUHP memberikan payung hukum bagi hakim untuk mengeluarkan putusan yang bersifat pemaafan. Hakim dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan pidana. Hakim akan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian, hingga segi keadilan dan kemanusiaan.

"Ini adalah pemaafan oleh hakim, sudah masuk di persidangan. Seperti restorative justice yang telah masuk lebih dulu di tahap penyidikan. Harus dinyatakan betul dalam putusannya memang dimaafkan hakim dalam pertimbangannya," ujar yenti.

Akademisi Universitas Indonesia (UI) Surastini Fitriasih menjelaskan, pemerintah telah memperbaharui beberapa pasal yang ada dari draf awal RKUHP. Tim penyusun KUHP terus menerus melakukan rapat-rapat membahas masukan dari masyarakat tentang RKUHP khususnya terkait 14 pasal isu krusial yang ada dalam RKUHP. "Draf RKUHP versi 18 September ada 14 isu krusial yang menjadi perhatian masyarakat dan didengar oleh pemerintah," katapnya.

Salah satu isu krusial RKUHP yang menjadi perhatian masyarakat ialah pasal terkait penghinaan presiden yang diatur dalam Pasal 218 RKUHP. Surastini memastikan pasal tersebut tidak dimaksudkan untuk menghidupkan kembali pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden yang telah dianulir oleh MK.

"Tetapi justru mengacu pada Pertimbangan dan Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 mengenai Pasal 207 KUHP yang menyatakan bahwa dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden atau Wakil Presiden selaku pejabat tepat bisa dituntut dengan Pasal Penghinaan Terhadap Penguasa Umum tapi sebagai Delik Aduan," ujarnya.

Surastini memastikan Pasal 218 RKUHP tidak akan membatasi kebebasan demokrasi dan berpendapat. Karena pasal tersebut telah memberikan batasan yang jelas terkait kritik dan penghinaan yang bisa masuk dalam ranah pidana. Dijelaskan bahwa kritik dimaksudkan untuk kepentingan umum sehingga tidak bisa dipidana.

"Ketentuan ini selaras dengan pengaturan penghinaan terhadap kepala negara sahabat, dan juga merupakan pemberian dari penghinaan terhadap warga negara biasa dan penghinaan terhadap pejabat," katanya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1330 seconds (0.1#10.140)