China Bangun Pangkalan Militer di LCS, PII: Ancaman Kedaulatan Negara di Asia Tenggara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Meski status Laut China Selatan (LCS) belum jelas dan masih menjadi sengketa beberapa negara, namun China secara terang-terangan membangun pangkalan militer dan mengklaim wilayah tersebut bagian dari wilayahnya.
Terkait hal itu, Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) meminta pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk mengajukan nota protes keras kepada China, atas tindakannya membangun pulau buatan dan pangkalan militer sepihak, di Laut China Selatan.
Wakil Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia, Furqan Raka menyebut langkah China jelas merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
“Perlu diingat kembali, Beijing mengklaim hampir 90% kepemilikan Laut China Selatan yang tentunya membuat China harus berhadapan dengan sejumlah negara termasuk Asia Tenggara, seperti Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, Vietnam termasuk Indonesia di Laut Natura Utara. Apalagi, pembangunan pangkalan militer di pulau buatan China, dekat dengan Palawan Filiphina yang jaraknya hanya 1.295 kilometer dari Indonesia,” kata Furqan Raka, Jumat, (18/11/2022).
Beberapa analis China menggambarkan pangkalan ini memiliki 20 pos terdepan di Kepulauan Paracel, di mana Pulau Woody adalah yang terbesar, dan tujuh di Kepulauan Spratly sebagai ‘kapal induk yang tidak dapat tenggelam’. PLA juga telah memasang sensor berteknologi tinggi di Cuarteron, Fiery Cross, Gaven, Hughes, Johnson, Mischief, dan Subi Reefs. Beijing juga memasang citra satelit dan udara, termasuk infrastruktur penunjang militer seperti landasan pacu, tempat berlabuh, hanggar, barak, radar, senjata angkatan laut, dan pertahanan udara.
“Lucunya, China pernah mengklaim bahwa fasilitas di Kepulauan Spratly dibangun bukan untuk kepentingan mereka semata namun bagi negara-negara lainnya. Namun ketika ada pesawat atau kapal mendekat khususnya dalam keadaan darurat, Tiongkok jelas melarangnya,” jelas Furqan Raka.
Ambisi China membangun kekuatan militer di LCS memiliki konsekuensi besar yang harus ditanggung Beijing, setelah banyak peneliti dan ahli geomorfologis, yang mempertanyakan feasibility studies pulau buatan China tersebut.
Profesor Collin Koh, Rekan Peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies Singapura, yang menyebut pulau-pulau buatan ini dibangun dengan tergesa-gesa. “Penilaian dampak lingkungan dan studi kelayakan struktural yang sepatutnya wajib hukumnya, disingkirkan untuk mempercepat proyek, sehingga secara geomorfologis, pulau buatan ini tidak stabil,” kata Furqan Raka.
Dari hasil riset, kajian dan penelitian terhadap kondisi alam Laut Cina Selatan, penetrasi difusi klorida dalam beton biasa sekitar 1-2 kali lipat lebih besar daripada daerah pendinginan sedang seperti Eropa.
Kondisi alam ini membuat Beijing terkunci dalam pertempuran abadi melawan korosi laut di Laut Cina Selatan, ditambah lagi temperatur tinggi, kelembapan ekstrem, kabut garam tinggi, dan radiasi matahari secara signifikan mempercepat laju korosi. “Belum lagi minimnya sumber air tawar di sana, seolah mengisyaratkan alam semesta tidak me ridhoi pulau buatan dan berdirinya pangkalan militer di Laut China Selatan,” ucapnya.
Terkait hal itu, Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) meminta pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk mengajukan nota protes keras kepada China, atas tindakannya membangun pulau buatan dan pangkalan militer sepihak, di Laut China Selatan.
Wakil Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia, Furqan Raka menyebut langkah China jelas merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
“Perlu diingat kembali, Beijing mengklaim hampir 90% kepemilikan Laut China Selatan yang tentunya membuat China harus berhadapan dengan sejumlah negara termasuk Asia Tenggara, seperti Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, Vietnam termasuk Indonesia di Laut Natura Utara. Apalagi, pembangunan pangkalan militer di pulau buatan China, dekat dengan Palawan Filiphina yang jaraknya hanya 1.295 kilometer dari Indonesia,” kata Furqan Raka, Jumat, (18/11/2022).
Baca Juga
Beberapa analis China menggambarkan pangkalan ini memiliki 20 pos terdepan di Kepulauan Paracel, di mana Pulau Woody adalah yang terbesar, dan tujuh di Kepulauan Spratly sebagai ‘kapal induk yang tidak dapat tenggelam’. PLA juga telah memasang sensor berteknologi tinggi di Cuarteron, Fiery Cross, Gaven, Hughes, Johnson, Mischief, dan Subi Reefs. Beijing juga memasang citra satelit dan udara, termasuk infrastruktur penunjang militer seperti landasan pacu, tempat berlabuh, hanggar, barak, radar, senjata angkatan laut, dan pertahanan udara.
“Lucunya, China pernah mengklaim bahwa fasilitas di Kepulauan Spratly dibangun bukan untuk kepentingan mereka semata namun bagi negara-negara lainnya. Namun ketika ada pesawat atau kapal mendekat khususnya dalam keadaan darurat, Tiongkok jelas melarangnya,” jelas Furqan Raka.
Ambisi China membangun kekuatan militer di LCS memiliki konsekuensi besar yang harus ditanggung Beijing, setelah banyak peneliti dan ahli geomorfologis, yang mempertanyakan feasibility studies pulau buatan China tersebut.
Profesor Collin Koh, Rekan Peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies Singapura, yang menyebut pulau-pulau buatan ini dibangun dengan tergesa-gesa. “Penilaian dampak lingkungan dan studi kelayakan struktural yang sepatutnya wajib hukumnya, disingkirkan untuk mempercepat proyek, sehingga secara geomorfologis, pulau buatan ini tidak stabil,” kata Furqan Raka.
Dari hasil riset, kajian dan penelitian terhadap kondisi alam Laut Cina Selatan, penetrasi difusi klorida dalam beton biasa sekitar 1-2 kali lipat lebih besar daripada daerah pendinginan sedang seperti Eropa.
Kondisi alam ini membuat Beijing terkunci dalam pertempuran abadi melawan korosi laut di Laut Cina Selatan, ditambah lagi temperatur tinggi, kelembapan ekstrem, kabut garam tinggi, dan radiasi matahari secara signifikan mempercepat laju korosi. “Belum lagi minimnya sumber air tawar di sana, seolah mengisyaratkan alam semesta tidak me ridhoi pulau buatan dan berdirinya pangkalan militer di Laut China Selatan,” ucapnya.
(cip)