Saat Terorisme Bersemayam di Sekolah
loading...
A
A
A
Akh Muzakki
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
PEMBERITAAN luas menyangkut penangkapan seorang kepala sekolah di Sumenep Jawa Timur atas dugaan tindak pidana terorisme pada Jumat, 5 November 2022 lalu menyita perhatian publik. Betapa publik makin gelisah bahwa terorisme sudah sangat dekat sekali dengan kehidupan mereka. Sekolah yang sejatinya menjadi kebutuhan pendidikan anak kini sudah tidak steril lagi dari tindak pidana terorisme.
Seperti diberitakan secara nasional, Densus 88 telah menangkap tiga orang terduga teroris di Sumenep awal November kemarin. Satu dari tiga orang yang ditangkap berprofesi sebagai kepala Sekolah Dasar (SD) Negeri di Kecamatan Manding, kabupaten di ujung timur Pulau Madura itu. Selain pria berinial AR yang berprofesi sebagai kepala sekolah dimaksud, ditangkap pula dua lainnya yang berinisial AR dan NH.
Publik pantas gelisah. Sekolah yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak untuk tumbuh dan berkembang dengan segala potensi fisik, psikis, mental-akademik hingga sosialnya ternyata gagal menampilkan diri sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi pertumbuhan anak warga bangsa. Alih-alih bahkan, anak-anak mereka berada dalam kerawanan tertentu karena mereka tumbuh di tangan orang yang tidak klir dari sisi nilai hidup dan kebangsaannya.
Darurat Antiterorisme
Tertangkapnya oknum kepala sekokah berinisial AR di Sumenep di atas memang tidak patut membuat kita semua melakukan praktik generalisasi. AR tidak bisa dijadikan sebagai sampel untuk menguji populasi yang besar atas guru.
Enam juta lebih guru tentu tidak bisa diwakili oleh seorang oknum berinisial AR. Itu karena nalar metodologisnya agak sulit dicarikan pembenarnya dari sisi legitimasi akademik.
Namun, kita semua penting untuk memahami bahwa teori gunung es (iceberg) berlaku pada fenomena terorisme. Yang muncul di permukaan bisa tampak kecil dari sisi jumlah atau volume, namun sejatinya yang berkembang cukup banyak.
Itu karena yang ada di bawah permukaan jauh lebih banyak dibanding yang muncul di atas permukaan. Itulah prinsip konseptual gunung es.
Prinsip konseptual gunung es patut diberlakukan pada fenomena terorisme. Ada dua alasan. Pertama, terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang tindak praktisnya dibangun di atas sebuah ideologi yang menggerakkan pelakunya untuk tidak hanya berpikir melainkan juga bertindak konkret untuk merealisasikannya dalam aksi nyata.
Kedua, sebagai akibat lanjutan dari karakter dan jenis kejahatannya. Terorisme selalu menggunakan strategi bawah tanah (underground movement) yang kemunculannya ke permukaan dilakukan hanya saat perhatian publik dan atau aparat keamanan menunjukkan tingkat rendahnya.
Karena itu, saat terorisme bersemayam di sekolah, saat itu pula perhatian publik harus segera dikonversi menjadi kewaspadaan tingkat tinggi. Hal itu lebih-lebih saat orang yang terpapar dan sekaligus kemudian menjadi pelaku aktifnya adalah guru yang menjabat sebagai kepala sekolah.
Dia tidak saja bertindak sebagai orang yang bertugas mendidik anak di sekolah, melainkan juga berkewenangan untuk membuat kebijakan apapun di sekolah dimaksud.
Model dan ukuran bisa beda. Tetapi sebagai sebuah fenomena, terorisme di sekolah melalui figur kepala sekolah seperti oknum AR di Sumenep di atas mengirimkan sinyal kuat bahwa sekolah sebagai ruang publik kini bukan saja tidak lagi steril dari terorisme.
Tetapi juga menjadi saluran strategis bagi pengembangan ideologi dan kader terorisme berbasis pengambil kebijakamn yang bernama kepala sekolah. Untuk itu, para pemangku kepentingan pendidikan penting menyalakan alarm darurat antiterorisme di lembaga pendidikan.
Langkah Konkret
Apa yang harus dilakukan dalam darurat antiterorisme di lembaga pendidikan? Minimal ada tiga langkah konkret untuk melabuhkan darurat antiterorisme di lembaga pendidikan.
Pertama, uji wawasan kebangsaan pendidik. Kepala sekolah menjadi bagian sentral dari uji wawasan kebangsaan pendidik ini. Pasalnya, kepala sekolah selalu berasal dari figur guru yang sudah memperoleh pengalaman memadai dalam bertugas sebagai pendidik dan kemudian memegang jabatan sebagai manajer sekolah.
Uji wawasan kebangsaan ini penting untuk segera memetakan profil pendidik Pancasila. Semua guru dan kepala sekolah wajib untuk lulus uji wawasan kebangsaan ini.
Alasaannya mereka pada hakikatnya adalah hulu dari semua transaksi, interaksi dan instruksi akademik yang mengalirkan informasi, pengetahuan, nilai dan praktik hidup kepada semua peserta didik. Karena berada pada wilayah hulu, maka posisi guru dan kepala sekolah wajib klir dari sisi kebangsaan agar “aliran air” yang berupa informasi, pengetahuan, nilai dan praktik hidup jernih pula untuk tumbuh dan berkembangnya nilai praksis kebangsaan peserta didik.
Kedua, pengembangan kurikulum antiterorisme melalui penguatan wawasan kebangsaan dengan cara pengarusutamaan antiteorirame sebagai materi garap lintas bidang (cross-cutting issue). Informasi, pengetahuan, nilai, dan praktik hidup antiterorisme tidak dikembangkan melalui materi pembelajaran yang terpisah, melainkan terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran.
Muatan antiterorisme tidak menjadikannya sebagai mata pelajaran tersendiri, melainkan menjadi inspirasi dan semangat yang mengilhami pembahasan seluruh materi pembelajaran.
Dengan begitu, kebutuhan terhadap pengembangan informasi, pengetahuan, nilai, dan praktik hidup antiterorisme tidak lalu membebani kurikulum dalam bentuk penyediaan mata pelajaran tersendiri, melainkan memperkaya dan memperdalam wawasan kebangsaan pada setiap pembelajaran yang ada di sekolah. Pembelajaran pun akhirnya tidak terbebani oleh keharusan adanya penambahan mata pelajaran, sedangkan muatan antiterorisme menjadi bagian penting dari praktik penyelenggaraan semua mata pelajaran.
Ketiga, pengayakan konten positif ideologi kebangsaan untuk pengembangan dan pengayaan bahan ajar. Bentuknya bisa berupa produksi video ataupun suara.
Strateginya, pembelajaran yang ada, apakah tematik atau berupa mata pelajaran yang terpisah,diperkaya dengan produksi konten positif tentang wawasan kebangsaan sebagai antitesis terhadap terorisme. Posisi konten positif diproduksi secara spesifik untuk kepentingan pendalaman dan sekaligus pengayaan substansi wawasan kebangsaan di dalam praktik pembelajaran.
Saat ketiga langkah di atas dilakukan secara simultan dalam keterkaitan yang erat, ruang gerak bagi penyemaian gagasan dan praktik terorisme untuk bisa bersemayam dan berkembang di sekolah akan semakin menyempit dengan sendirinya. Dengan cara begitu, darurat antiterorisme di sekolah bukan sekadar menjadi wacana kosong, melainkan sudah menemukan skema implementasi konkretnya dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Akhirnya, sekolah pun akan bisa menjadi ruang bersama yang aman dan nyaman bagi tumbuh dan berkembangnya anak warga bangsa di bawah semangat kebangsaan yang inklusif dan toleran.
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
PEMBERITAAN luas menyangkut penangkapan seorang kepala sekolah di Sumenep Jawa Timur atas dugaan tindak pidana terorisme pada Jumat, 5 November 2022 lalu menyita perhatian publik. Betapa publik makin gelisah bahwa terorisme sudah sangat dekat sekali dengan kehidupan mereka. Sekolah yang sejatinya menjadi kebutuhan pendidikan anak kini sudah tidak steril lagi dari tindak pidana terorisme.
Seperti diberitakan secara nasional, Densus 88 telah menangkap tiga orang terduga teroris di Sumenep awal November kemarin. Satu dari tiga orang yang ditangkap berprofesi sebagai kepala Sekolah Dasar (SD) Negeri di Kecamatan Manding, kabupaten di ujung timur Pulau Madura itu. Selain pria berinial AR yang berprofesi sebagai kepala sekolah dimaksud, ditangkap pula dua lainnya yang berinisial AR dan NH.
Publik pantas gelisah. Sekolah yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak untuk tumbuh dan berkembang dengan segala potensi fisik, psikis, mental-akademik hingga sosialnya ternyata gagal menampilkan diri sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi pertumbuhan anak warga bangsa. Alih-alih bahkan, anak-anak mereka berada dalam kerawanan tertentu karena mereka tumbuh di tangan orang yang tidak klir dari sisi nilai hidup dan kebangsaannya.
Darurat Antiterorisme
Tertangkapnya oknum kepala sekokah berinisial AR di Sumenep di atas memang tidak patut membuat kita semua melakukan praktik generalisasi. AR tidak bisa dijadikan sebagai sampel untuk menguji populasi yang besar atas guru.
Enam juta lebih guru tentu tidak bisa diwakili oleh seorang oknum berinisial AR. Itu karena nalar metodologisnya agak sulit dicarikan pembenarnya dari sisi legitimasi akademik.
Namun, kita semua penting untuk memahami bahwa teori gunung es (iceberg) berlaku pada fenomena terorisme. Yang muncul di permukaan bisa tampak kecil dari sisi jumlah atau volume, namun sejatinya yang berkembang cukup banyak.
Itu karena yang ada di bawah permukaan jauh lebih banyak dibanding yang muncul di atas permukaan. Itulah prinsip konseptual gunung es.
Prinsip konseptual gunung es patut diberlakukan pada fenomena terorisme. Ada dua alasan. Pertama, terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang tindak praktisnya dibangun di atas sebuah ideologi yang menggerakkan pelakunya untuk tidak hanya berpikir melainkan juga bertindak konkret untuk merealisasikannya dalam aksi nyata.
Kedua, sebagai akibat lanjutan dari karakter dan jenis kejahatannya. Terorisme selalu menggunakan strategi bawah tanah (underground movement) yang kemunculannya ke permukaan dilakukan hanya saat perhatian publik dan atau aparat keamanan menunjukkan tingkat rendahnya.
Karena itu, saat terorisme bersemayam di sekolah, saat itu pula perhatian publik harus segera dikonversi menjadi kewaspadaan tingkat tinggi. Hal itu lebih-lebih saat orang yang terpapar dan sekaligus kemudian menjadi pelaku aktifnya adalah guru yang menjabat sebagai kepala sekolah.
Dia tidak saja bertindak sebagai orang yang bertugas mendidik anak di sekolah, melainkan juga berkewenangan untuk membuat kebijakan apapun di sekolah dimaksud.
Model dan ukuran bisa beda. Tetapi sebagai sebuah fenomena, terorisme di sekolah melalui figur kepala sekolah seperti oknum AR di Sumenep di atas mengirimkan sinyal kuat bahwa sekolah sebagai ruang publik kini bukan saja tidak lagi steril dari terorisme.
Tetapi juga menjadi saluran strategis bagi pengembangan ideologi dan kader terorisme berbasis pengambil kebijakamn yang bernama kepala sekolah. Untuk itu, para pemangku kepentingan pendidikan penting menyalakan alarm darurat antiterorisme di lembaga pendidikan.
Langkah Konkret
Apa yang harus dilakukan dalam darurat antiterorisme di lembaga pendidikan? Minimal ada tiga langkah konkret untuk melabuhkan darurat antiterorisme di lembaga pendidikan.
Pertama, uji wawasan kebangsaan pendidik. Kepala sekolah menjadi bagian sentral dari uji wawasan kebangsaan pendidik ini. Pasalnya, kepala sekolah selalu berasal dari figur guru yang sudah memperoleh pengalaman memadai dalam bertugas sebagai pendidik dan kemudian memegang jabatan sebagai manajer sekolah.
Uji wawasan kebangsaan ini penting untuk segera memetakan profil pendidik Pancasila. Semua guru dan kepala sekolah wajib untuk lulus uji wawasan kebangsaan ini.
Alasaannya mereka pada hakikatnya adalah hulu dari semua transaksi, interaksi dan instruksi akademik yang mengalirkan informasi, pengetahuan, nilai dan praktik hidup kepada semua peserta didik. Karena berada pada wilayah hulu, maka posisi guru dan kepala sekolah wajib klir dari sisi kebangsaan agar “aliran air” yang berupa informasi, pengetahuan, nilai dan praktik hidup jernih pula untuk tumbuh dan berkembangnya nilai praksis kebangsaan peserta didik.
Kedua, pengembangan kurikulum antiterorisme melalui penguatan wawasan kebangsaan dengan cara pengarusutamaan antiteorirame sebagai materi garap lintas bidang (cross-cutting issue). Informasi, pengetahuan, nilai, dan praktik hidup antiterorisme tidak dikembangkan melalui materi pembelajaran yang terpisah, melainkan terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran.
Muatan antiterorisme tidak menjadikannya sebagai mata pelajaran tersendiri, melainkan menjadi inspirasi dan semangat yang mengilhami pembahasan seluruh materi pembelajaran.
Dengan begitu, kebutuhan terhadap pengembangan informasi, pengetahuan, nilai, dan praktik hidup antiterorisme tidak lalu membebani kurikulum dalam bentuk penyediaan mata pelajaran tersendiri, melainkan memperkaya dan memperdalam wawasan kebangsaan pada setiap pembelajaran yang ada di sekolah. Pembelajaran pun akhirnya tidak terbebani oleh keharusan adanya penambahan mata pelajaran, sedangkan muatan antiterorisme menjadi bagian penting dari praktik penyelenggaraan semua mata pelajaran.
Ketiga, pengayakan konten positif ideologi kebangsaan untuk pengembangan dan pengayaan bahan ajar. Bentuknya bisa berupa produksi video ataupun suara.
Strateginya, pembelajaran yang ada, apakah tematik atau berupa mata pelajaran yang terpisah,diperkaya dengan produksi konten positif tentang wawasan kebangsaan sebagai antitesis terhadap terorisme. Posisi konten positif diproduksi secara spesifik untuk kepentingan pendalaman dan sekaligus pengayaan substansi wawasan kebangsaan di dalam praktik pembelajaran.
Saat ketiga langkah di atas dilakukan secara simultan dalam keterkaitan yang erat, ruang gerak bagi penyemaian gagasan dan praktik terorisme untuk bisa bersemayam dan berkembang di sekolah akan semakin menyempit dengan sendirinya. Dengan cara begitu, darurat antiterorisme di sekolah bukan sekadar menjadi wacana kosong, melainkan sudah menemukan skema implementasi konkretnya dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Akhirnya, sekolah pun akan bisa menjadi ruang bersama yang aman dan nyaman bagi tumbuh dan berkembangnya anak warga bangsa di bawah semangat kebangsaan yang inklusif dan toleran.
(poe)