Cermati Serius Tren Kenaikan Kasus Covid-19
loading...
A
A
A
TREN kasus baru Covid-19 tampak terus bertambah dalam beberapa hari terakhir. Lonjakan ini tidak bisa dianggap remeh karena juga diikuti dengan peningkatan angka kematian. Merujuk pada data Senin (7/11), tercatat ada 3.828 kasus baru korona yang menjangkiti warga Indonesia. Dalam sepekan terakhir, tren kasus harian juga terus bertahan berkisar pada angka 3.000 hingga 5.000-an. Angka kematian rata-rata sebanyak 33 orang.
Stabilnya penambahan kasus baru di atas angka 3.000 ini harus menjadi kewaspadaan bersama. Sebab pada periode awal Agustus atau kala merebaknya subvarian Omicron BA.2 lalu, angka 3.000 ini baru terakumulasi dalam waktu sekitar sepekan. Dengan fakta ini, kewaspadaan terhadap wabah ini adalah suatu keniscayaan meski situasinya tidak separah ketika ada varian Delta pada medio 2021 silam.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menduga peningkatan kasus ini dipicu adanya subvarian XBB yang merupakan mutasi dari subvarian BA.2. Meski tergolong baru, varian ini tergolong cepat menyebar. Potensi penularannya 1,7 lebih cepat ketimbang Omicron, Delta maupun Alpha. Bahkan Kemenkes telah memprediksi bahwa tren peningkatan kasus baru Covid-19 ini akan terus terjadi hingga puncaknya pada akhir 2022 hingga awal 2023.
Meski sudah membuat prediksi awal, Kemenkes belum mendata seberapa banyak penderita baru Covid-19 ini yang terpapar varian XBB. Namun terlepas dari itu, penambahan kasus baru ini telah berbanding lurus dengan jumlah kasus yang meninggal.
Situasi ini tentu patut menjadi perhatian. Sebab, jika merujuk pada data Satgas Covid-19, jumlah warga Indonesia yang telah mendapat vaksinasi tahap awal mencapai 205 juta jiwa per Sabtu (5/11). Adapun warga yang telah mendapat vaksin penguat (booster) mencapai 65 juta jiwa atau 27,85% dari yang ditargetkan, yakni sebanyak 234.666.020 jiwa.
Angka-angka itu tentu melegakan karena menjadi gambaran bahwa kesadaran masyarakat untuk mendapatkan vaksinasi terbilang tinggi. Namun banyaknya orang yang terpapar kasus baru ini juga bisa menjadi indikasi bahwa tingkat imunitas telah menurun. Sinyalemen ini tidak berlebihan. Ada banyak kasus baru ini diketahui menimpa orang yang sebelumnya pernah terpapar Covid-19 dan sudah melakukan vaksinasi booster.
Belum lagi jika ternyata diketahui, kasus baru ini akan lebih rawan jika menimpa mereka yang memiliki imunitas tubuh rendah seperti lansia atau mereka yang memiliki penyakit penyerta.
Melihat fakta-fakta di atas, sudah seharusnya pemerintah membuat mitigasi yang jelas agar pengalaman buruk penanganan wabah seperti pada 2020 dan 2021 tidak terulang. Bahkan jika sebagai bentuk kewaspadaan, sangat memungkinkan pemerintah melakukan pengetatan aktivitas publik tanpa harus membuat kebijakan penguncian (lockdown).
Langkah ini mungkin bagi sebagian besar masyarakat dikeluhkan karena tampak ada pembatasan sehingga mengganggu sektor kehidupan, utamanya ekonomi. Namun langkah pahit ini harus dilakukan sebagai antisipasi dini agar pandemi terus bisa terkendali.
Pengetatan-pengetatan ini jelas lebih efektif ketimbang hanya seruan dan imbauan agar publik terus taat dengan protokol kesehatan. Apalagi di tengah pelonggaran saat ini, tampaknya kebijakan yang sifatnya tidak mengikat juga tidak akan mengakar kuat. Memang pemerintah telah memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) lewat Inmendagri Nomor 47/2022. Tapi, seberapa efektif kebijakan terbaru ini?
Pembatasan ini pun tidak boleh kaku dan membabi buta. Namun harus menyesuaikan dengan situasi dan kebutuhan masyarakat. Dengan cara ini, publik akan memiliki kesadaran tinggi tanpa merasa terpaksa untuk menjalaninya.
Stabilnya penambahan kasus baru di atas angka 3.000 ini harus menjadi kewaspadaan bersama. Sebab pada periode awal Agustus atau kala merebaknya subvarian Omicron BA.2 lalu, angka 3.000 ini baru terakumulasi dalam waktu sekitar sepekan. Dengan fakta ini, kewaspadaan terhadap wabah ini adalah suatu keniscayaan meski situasinya tidak separah ketika ada varian Delta pada medio 2021 silam.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menduga peningkatan kasus ini dipicu adanya subvarian XBB yang merupakan mutasi dari subvarian BA.2. Meski tergolong baru, varian ini tergolong cepat menyebar. Potensi penularannya 1,7 lebih cepat ketimbang Omicron, Delta maupun Alpha. Bahkan Kemenkes telah memprediksi bahwa tren peningkatan kasus baru Covid-19 ini akan terus terjadi hingga puncaknya pada akhir 2022 hingga awal 2023.
Meski sudah membuat prediksi awal, Kemenkes belum mendata seberapa banyak penderita baru Covid-19 ini yang terpapar varian XBB. Namun terlepas dari itu, penambahan kasus baru ini telah berbanding lurus dengan jumlah kasus yang meninggal.
Situasi ini tentu patut menjadi perhatian. Sebab, jika merujuk pada data Satgas Covid-19, jumlah warga Indonesia yang telah mendapat vaksinasi tahap awal mencapai 205 juta jiwa per Sabtu (5/11). Adapun warga yang telah mendapat vaksin penguat (booster) mencapai 65 juta jiwa atau 27,85% dari yang ditargetkan, yakni sebanyak 234.666.020 jiwa.
Angka-angka itu tentu melegakan karena menjadi gambaran bahwa kesadaran masyarakat untuk mendapatkan vaksinasi terbilang tinggi. Namun banyaknya orang yang terpapar kasus baru ini juga bisa menjadi indikasi bahwa tingkat imunitas telah menurun. Sinyalemen ini tidak berlebihan. Ada banyak kasus baru ini diketahui menimpa orang yang sebelumnya pernah terpapar Covid-19 dan sudah melakukan vaksinasi booster.
Belum lagi jika ternyata diketahui, kasus baru ini akan lebih rawan jika menimpa mereka yang memiliki imunitas tubuh rendah seperti lansia atau mereka yang memiliki penyakit penyerta.
Melihat fakta-fakta di atas, sudah seharusnya pemerintah membuat mitigasi yang jelas agar pengalaman buruk penanganan wabah seperti pada 2020 dan 2021 tidak terulang. Bahkan jika sebagai bentuk kewaspadaan, sangat memungkinkan pemerintah melakukan pengetatan aktivitas publik tanpa harus membuat kebijakan penguncian (lockdown).
Langkah ini mungkin bagi sebagian besar masyarakat dikeluhkan karena tampak ada pembatasan sehingga mengganggu sektor kehidupan, utamanya ekonomi. Namun langkah pahit ini harus dilakukan sebagai antisipasi dini agar pandemi terus bisa terkendali.
Pengetatan-pengetatan ini jelas lebih efektif ketimbang hanya seruan dan imbauan agar publik terus taat dengan protokol kesehatan. Apalagi di tengah pelonggaran saat ini, tampaknya kebijakan yang sifatnya tidak mengikat juga tidak akan mengakar kuat. Memang pemerintah telah memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) lewat Inmendagri Nomor 47/2022. Tapi, seberapa efektif kebijakan terbaru ini?
Pembatasan ini pun tidak boleh kaku dan membabi buta. Namun harus menyesuaikan dengan situasi dan kebutuhan masyarakat. Dengan cara ini, publik akan memiliki kesadaran tinggi tanpa merasa terpaksa untuk menjalaninya.
(bmm)