AICIS dan Reaktualisasi Peradaban Kemanusiaan
loading...
A
A
A
Krisis paradigmatis dapat kita lihat pada persoalan keagamaan yang terjebak dalam model penalaran absolutisme dengan pendekatan harfiah yang absen dari nilai-nilai humanisme. Salah satu penyebabnya adalah keterpakuan tekstual yang cenderung tertutup, diskriminatif, dan legal-formal.
Hasil riset Jalil Roshandel dan Sharon Chadha dalam Jihad and International Security (2006) dengan sangat komprehensif menjelaskan bahwa praktik-praktik fiqhiah menjadi alat untuk memetakan ideologi dan afiliasi politik keagamaan kelompok tertentu. Bahkan, tekstualitas penalaran fikih dapat melahirkan kekerasan, radikalisme, dan diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim.
Di sinilah titik pangkal krusial di mana teks sebagai jangkar peradaban kemanusiaan, telah dikonstruksi sedemikian rupa untuk diperalat dalam kepentingan tertentu.
Jika ditelisik lebih jauh, terdapat nalar pikiran yang pincang karena hanya memperhatikan nas-nas hukum tanpa melibatkan konteks sosial yang mengitari. Pada titik ini, kejumudan berpikir mengantarkan pada kehilangan kepekaan terhadap kompleksitas kehidupan beragama. Realitas inilah yang saya maksud dengan “timpang” karena satu sisi semangat beragama menguat namun alpa dari nilai-nilai humanisme.
Arah keberagamaan kita sedang dalam pertaruhan. Perjuangan ke arah harmoni peradaban dunia menghadapi tantangan serius. Selain persoalan warisan klasik tentang pemahaman Islam masa lalu yang dipahami sebagai dogma paripurna, saat ini realitas keberagamaan berada pada cara pandang yang sempit dan rigid, bahkan kebenarannya dibatasi dalam kotak aliran dan mazhab semata. Implikasi dari hal itu, pertentangan antaragama dan keyakinan masih bertumpu pada persoalan “permukaan” yang menyisakan penderitaan kemanusiaan.
Tentu saja, kekakuan dan ketidakmampuan (rigidity and inability) ini tidak berakar dari konstruk tertentu atau kebetulan semata, namun telah berkelindan menjadi karakteristik dari satu sistem paradigma, landasan epistemologis dan kerangka diskursus tertentu.
Yang alpa dari realitas ini adalah sentuhan pendekatan kajian ilmu sosial untuk mereaktualisasi dan merekonstekstualisasi Islam pada jangkar kemanusiaan yang bersifat universal.
Dengan kata lain, kajian terhadap studi Islam perlu ditempatkan dalam ruang “integratif” yang mempertimbangkan ekspresi pihak lain (others). Karenanya, konstruksi nalar yang digunakan adalah konstruksi humanis untuk memperhatikan keluwesan yang dapat dipraktekkan dalam interaksi sosial. Sementara terobosan yang diperlukan adalah keberanian menyisir kembali dogma-dogma yang mencengkeram kemanusiaan tapi terlanjur dianggap sebagai ortodoksi Islam.
Konsolidasi Akademik
Pada pembukaan AICIS yang berlangsung di Lombok pada tanggal 20-22 Oktober 2022, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta agar event AICIS tidak hanya berkutat membahas persoalan kebijakan publik (public policy), melainkan menyasar pada kajian yang relevan dalam keberlangsungan kehidupan global.
Secara eksplisit, Menteri Yaqut menyinggung pentingnya rekonstekstualisasi Islam melalui wahana-wahana akademis yang argumentatif, kaya data sekaligus kaya wacana.
Hasil riset Jalil Roshandel dan Sharon Chadha dalam Jihad and International Security (2006) dengan sangat komprehensif menjelaskan bahwa praktik-praktik fiqhiah menjadi alat untuk memetakan ideologi dan afiliasi politik keagamaan kelompok tertentu. Bahkan, tekstualitas penalaran fikih dapat melahirkan kekerasan, radikalisme, dan diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim.
Di sinilah titik pangkal krusial di mana teks sebagai jangkar peradaban kemanusiaan, telah dikonstruksi sedemikian rupa untuk diperalat dalam kepentingan tertentu.
Jika ditelisik lebih jauh, terdapat nalar pikiran yang pincang karena hanya memperhatikan nas-nas hukum tanpa melibatkan konteks sosial yang mengitari. Pada titik ini, kejumudan berpikir mengantarkan pada kehilangan kepekaan terhadap kompleksitas kehidupan beragama. Realitas inilah yang saya maksud dengan “timpang” karena satu sisi semangat beragama menguat namun alpa dari nilai-nilai humanisme.
Arah keberagamaan kita sedang dalam pertaruhan. Perjuangan ke arah harmoni peradaban dunia menghadapi tantangan serius. Selain persoalan warisan klasik tentang pemahaman Islam masa lalu yang dipahami sebagai dogma paripurna, saat ini realitas keberagamaan berada pada cara pandang yang sempit dan rigid, bahkan kebenarannya dibatasi dalam kotak aliran dan mazhab semata. Implikasi dari hal itu, pertentangan antaragama dan keyakinan masih bertumpu pada persoalan “permukaan” yang menyisakan penderitaan kemanusiaan.
Tentu saja, kekakuan dan ketidakmampuan (rigidity and inability) ini tidak berakar dari konstruk tertentu atau kebetulan semata, namun telah berkelindan menjadi karakteristik dari satu sistem paradigma, landasan epistemologis dan kerangka diskursus tertentu.
Yang alpa dari realitas ini adalah sentuhan pendekatan kajian ilmu sosial untuk mereaktualisasi dan merekonstekstualisasi Islam pada jangkar kemanusiaan yang bersifat universal.
Dengan kata lain, kajian terhadap studi Islam perlu ditempatkan dalam ruang “integratif” yang mempertimbangkan ekspresi pihak lain (others). Karenanya, konstruksi nalar yang digunakan adalah konstruksi humanis untuk memperhatikan keluwesan yang dapat dipraktekkan dalam interaksi sosial. Sementara terobosan yang diperlukan adalah keberanian menyisir kembali dogma-dogma yang mencengkeram kemanusiaan tapi terlanjur dianggap sebagai ortodoksi Islam.
Konsolidasi Akademik
Pada pembukaan AICIS yang berlangsung di Lombok pada tanggal 20-22 Oktober 2022, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta agar event AICIS tidak hanya berkutat membahas persoalan kebijakan publik (public policy), melainkan menyasar pada kajian yang relevan dalam keberlangsungan kehidupan global.
Secara eksplisit, Menteri Yaqut menyinggung pentingnya rekonstekstualisasi Islam melalui wahana-wahana akademis yang argumentatif, kaya data sekaligus kaya wacana.