AICIS dan Reaktualisasi Peradaban Kemanusiaan
loading...
A
A
A
Wildani Hefni
Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
KONFERENSI Internasional Tahunan Kajian Islam yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama dan dikenal dengan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-21 digelar di dua tempat yang berbeda, Lombok dan Bali.
Untuk perhelatan di Bali, forum yang menjadi mimbar akademik sekaligus ekspose pendidikan Islam Indonesia dalam kancah global ini berlangsung dari 1-4 November 2022. Tema yang diangkat Future Religion in G-20: Digital Transformation, Knowledge Management and Social Resilience.
Baca Juga: koran-sindo.com
Forum akademik yang menjadi ajang penyegaran pemikiran bagi pengkaji dan pemerhati studi keislaman ini berbarengan dengan perhelatan R20 (Religion of Twenty) yang juga digelar di Bali, 2-3 November 2022.
R20 merupakan gagasan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf untuk membedah secara lugas problem keberagamaan dalam kancah global. R20 menjadi forum reflektif para pemimpin agama dan sekte untuk menjadikan agama sebagai inspirasi sekaligus solusi dari pelbagai kemelut global.
Dua forum besar ini menemukan irisannya dalam altar mozaik intelektual untuk harmoni peradaban kemanusiaan.
Belenggu Teks
Realitas keberagamaan saat ini berada dalam latar modernitas. Pelbagai kemajuan mewarnai seluruh sektor kehidupan. Tapi pada sisi yang lain, kejutan ketidakpastian global juga menghantui ruang-ruang kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Di tengah kemajuan itu, tuntutan untuk terus menyemai mentalitas beragama yang humanis menjadi niscaya.
Sementara perkembangan dunia digital telah menyuguhkan pelbagai legitimasi pandangan. Perlahan, otoritas keagamaan mengalami pergeseran yang disokong oleh realitas sosial-politik hingga modernitas.
Persoalannya tidak sederhana bertumpu pada pergeseran otoritas keilmuan yang menyebabkan ketertinggalan jauh dari kemajuan modernitas, namun juga terletak pada krisis paradigmatis yang berimplikasi pada berjaraknya moralitas dan tercerabutnya nilai kemanusiaan dari kenyataan kehidupan.
Krisis paradigmatis dapat kita lihat pada persoalan keagamaan yang terjebak dalam model penalaran absolutisme dengan pendekatan harfiah yang absen dari nilai-nilai humanisme. Salah satu penyebabnya adalah keterpakuan tekstual yang cenderung tertutup, diskriminatif, dan legal-formal.
Hasil riset Jalil Roshandel dan Sharon Chadha dalam Jihad and International Security (2006) dengan sangat komprehensif menjelaskan bahwa praktik-praktik fiqhiah menjadi alat untuk memetakan ideologi dan afiliasi politik keagamaan kelompok tertentu. Bahkan, tekstualitas penalaran fikih dapat melahirkan kekerasan, radikalisme, dan diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim.
Di sinilah titik pangkal krusial di mana teks sebagai jangkar peradaban kemanusiaan, telah dikonstruksi sedemikian rupa untuk diperalat dalam kepentingan tertentu.
Jika ditelisik lebih jauh, terdapat nalar pikiran yang pincang karena hanya memperhatikan nas-nas hukum tanpa melibatkan konteks sosial yang mengitari. Pada titik ini, kejumudan berpikir mengantarkan pada kehilangan kepekaan terhadap kompleksitas kehidupan beragama. Realitas inilah yang saya maksud dengan “timpang” karena satu sisi semangat beragama menguat namun alpa dari nilai-nilai humanisme.
Arah keberagamaan kita sedang dalam pertaruhan. Perjuangan ke arah harmoni peradaban dunia menghadapi tantangan serius. Selain persoalan warisan klasik tentang pemahaman Islam masa lalu yang dipahami sebagai dogma paripurna, saat ini realitas keberagamaan berada pada cara pandang yang sempit dan rigid, bahkan kebenarannya dibatasi dalam kotak aliran dan mazhab semata. Implikasi dari hal itu, pertentangan antaragama dan keyakinan masih bertumpu pada persoalan “permukaan” yang menyisakan penderitaan kemanusiaan.
Tentu saja, kekakuan dan ketidakmampuan (rigidity and inability) ini tidak berakar dari konstruk tertentu atau kebetulan semata, namun telah berkelindan menjadi karakteristik dari satu sistem paradigma, landasan epistemologis dan kerangka diskursus tertentu.
Yang alpa dari realitas ini adalah sentuhan pendekatan kajian ilmu sosial untuk mereaktualisasi dan merekonstekstualisasi Islam pada jangkar kemanusiaan yang bersifat universal.
Dengan kata lain, kajian terhadap studi Islam perlu ditempatkan dalam ruang “integratif” yang mempertimbangkan ekspresi pihak lain (others). Karenanya, konstruksi nalar yang digunakan adalah konstruksi humanis untuk memperhatikan keluwesan yang dapat dipraktekkan dalam interaksi sosial. Sementara terobosan yang diperlukan adalah keberanian menyisir kembali dogma-dogma yang mencengkeram kemanusiaan tapi terlanjur dianggap sebagai ortodoksi Islam.
Konsolidasi Akademik
Pada pembukaan AICIS yang berlangsung di Lombok pada tanggal 20-22 Oktober 2022, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta agar event AICIS tidak hanya berkutat membahas persoalan kebijakan publik (public policy), melainkan menyasar pada kajian yang relevan dalam keberlangsungan kehidupan global.
Secara eksplisit, Menteri Yaqut menyinggung pentingnya rekonstekstualisasi Islam melalui wahana-wahana akademis yang argumentatif, kaya data sekaligus kaya wacana.
Karena itu, perhelatan AICIS menjadi relevan sebagai bagian dari konsolidasi akademis untuk terus menyuarakan pembaruan komitmen keagamaan yang relevan dengan persoalan kontemporer.
Perjalanan kehidupan keagamaan di republik ini memang harus terus dikawal secara bersama agar laju-geraknya tidak berhenti di persimpangan jalan. Stagnasi berpikir akan meruntuhkan bangunan peradaban yang selama ini tengah bergerak ke arah surplus kemanusiaan: memuliakan manusia.
Pelbagai kajian dari akademisi perguruan tinggi keagamaan yang dipresentasikan pada forum AICIS ke-21 ini menjadi sangat relevan sebagai tolok ukurnya. Lahirnya pencarian warna baru bagi pengembangan kehidupan keberagamaan dengan menggunakan pelbagai pendekatan keilmuan, dapat ditemukan pada hasil riset akademisi perguruan tinggi keagamaan.
Penelitian-penelitian yang tidak hanya berputar-putar pada persoalan teknis semata, namun memberikan ruang untuk bergeser dari tempurung akademik yang kaku menuju ijtihad yang fresh untuk menjawab persoalan pelik kemanusiaan.
Kajian akademis seperti ini harus ditransformasikan secara bertahap dan cepat. Mimbar akademik AICIS menjadi wahana yang tepat untuk membuka mata sekaligus keluar dari kungkungan eksklusivitas yang meminggirkan nalar dan logika.
Paradigma truth-claim (klaim kebenaran)perlahan digeser dan digantikan oleh paradigma berpikir yang toleran, inklusif, dan pluralistik di mana keragaman yang berbeda di muka bumi ini dianggap sebagai hukum alam yang tidak bisa dinafikan begitu saja.
Pada sisi yang lain, proses akulturasi dalam penerapan hukum Islam juga meniscayakan untuk mengakomodasi pemahaman konstekstual dengan memperhatikan aspek-aspek lokalitas yang mengitarinya.
Selamat berkonferensi. Semoga AICIS menjadi tangga awal menuju peradaban umat manusia yang unggul.
Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
KONFERENSI Internasional Tahunan Kajian Islam yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama dan dikenal dengan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-21 digelar di dua tempat yang berbeda, Lombok dan Bali.
Untuk perhelatan di Bali, forum yang menjadi mimbar akademik sekaligus ekspose pendidikan Islam Indonesia dalam kancah global ini berlangsung dari 1-4 November 2022. Tema yang diangkat Future Religion in G-20: Digital Transformation, Knowledge Management and Social Resilience.
Baca Juga: koran-sindo.com
Forum akademik yang menjadi ajang penyegaran pemikiran bagi pengkaji dan pemerhati studi keislaman ini berbarengan dengan perhelatan R20 (Religion of Twenty) yang juga digelar di Bali, 2-3 November 2022.
R20 merupakan gagasan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf untuk membedah secara lugas problem keberagamaan dalam kancah global. R20 menjadi forum reflektif para pemimpin agama dan sekte untuk menjadikan agama sebagai inspirasi sekaligus solusi dari pelbagai kemelut global.
Dua forum besar ini menemukan irisannya dalam altar mozaik intelektual untuk harmoni peradaban kemanusiaan.
Belenggu Teks
Realitas keberagamaan saat ini berada dalam latar modernitas. Pelbagai kemajuan mewarnai seluruh sektor kehidupan. Tapi pada sisi yang lain, kejutan ketidakpastian global juga menghantui ruang-ruang kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Di tengah kemajuan itu, tuntutan untuk terus menyemai mentalitas beragama yang humanis menjadi niscaya.
Sementara perkembangan dunia digital telah menyuguhkan pelbagai legitimasi pandangan. Perlahan, otoritas keagamaan mengalami pergeseran yang disokong oleh realitas sosial-politik hingga modernitas.
Persoalannya tidak sederhana bertumpu pada pergeseran otoritas keilmuan yang menyebabkan ketertinggalan jauh dari kemajuan modernitas, namun juga terletak pada krisis paradigmatis yang berimplikasi pada berjaraknya moralitas dan tercerabutnya nilai kemanusiaan dari kenyataan kehidupan.
Krisis paradigmatis dapat kita lihat pada persoalan keagamaan yang terjebak dalam model penalaran absolutisme dengan pendekatan harfiah yang absen dari nilai-nilai humanisme. Salah satu penyebabnya adalah keterpakuan tekstual yang cenderung tertutup, diskriminatif, dan legal-formal.
Hasil riset Jalil Roshandel dan Sharon Chadha dalam Jihad and International Security (2006) dengan sangat komprehensif menjelaskan bahwa praktik-praktik fiqhiah menjadi alat untuk memetakan ideologi dan afiliasi politik keagamaan kelompok tertentu. Bahkan, tekstualitas penalaran fikih dapat melahirkan kekerasan, radikalisme, dan diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim.
Di sinilah titik pangkal krusial di mana teks sebagai jangkar peradaban kemanusiaan, telah dikonstruksi sedemikian rupa untuk diperalat dalam kepentingan tertentu.
Jika ditelisik lebih jauh, terdapat nalar pikiran yang pincang karena hanya memperhatikan nas-nas hukum tanpa melibatkan konteks sosial yang mengitari. Pada titik ini, kejumudan berpikir mengantarkan pada kehilangan kepekaan terhadap kompleksitas kehidupan beragama. Realitas inilah yang saya maksud dengan “timpang” karena satu sisi semangat beragama menguat namun alpa dari nilai-nilai humanisme.
Arah keberagamaan kita sedang dalam pertaruhan. Perjuangan ke arah harmoni peradaban dunia menghadapi tantangan serius. Selain persoalan warisan klasik tentang pemahaman Islam masa lalu yang dipahami sebagai dogma paripurna, saat ini realitas keberagamaan berada pada cara pandang yang sempit dan rigid, bahkan kebenarannya dibatasi dalam kotak aliran dan mazhab semata. Implikasi dari hal itu, pertentangan antaragama dan keyakinan masih bertumpu pada persoalan “permukaan” yang menyisakan penderitaan kemanusiaan.
Tentu saja, kekakuan dan ketidakmampuan (rigidity and inability) ini tidak berakar dari konstruk tertentu atau kebetulan semata, namun telah berkelindan menjadi karakteristik dari satu sistem paradigma, landasan epistemologis dan kerangka diskursus tertentu.
Yang alpa dari realitas ini adalah sentuhan pendekatan kajian ilmu sosial untuk mereaktualisasi dan merekonstekstualisasi Islam pada jangkar kemanusiaan yang bersifat universal.
Dengan kata lain, kajian terhadap studi Islam perlu ditempatkan dalam ruang “integratif” yang mempertimbangkan ekspresi pihak lain (others). Karenanya, konstruksi nalar yang digunakan adalah konstruksi humanis untuk memperhatikan keluwesan yang dapat dipraktekkan dalam interaksi sosial. Sementara terobosan yang diperlukan adalah keberanian menyisir kembali dogma-dogma yang mencengkeram kemanusiaan tapi terlanjur dianggap sebagai ortodoksi Islam.
Konsolidasi Akademik
Pada pembukaan AICIS yang berlangsung di Lombok pada tanggal 20-22 Oktober 2022, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta agar event AICIS tidak hanya berkutat membahas persoalan kebijakan publik (public policy), melainkan menyasar pada kajian yang relevan dalam keberlangsungan kehidupan global.
Secara eksplisit, Menteri Yaqut menyinggung pentingnya rekonstekstualisasi Islam melalui wahana-wahana akademis yang argumentatif, kaya data sekaligus kaya wacana.
Karena itu, perhelatan AICIS menjadi relevan sebagai bagian dari konsolidasi akademis untuk terus menyuarakan pembaruan komitmen keagamaan yang relevan dengan persoalan kontemporer.
Perjalanan kehidupan keagamaan di republik ini memang harus terus dikawal secara bersama agar laju-geraknya tidak berhenti di persimpangan jalan. Stagnasi berpikir akan meruntuhkan bangunan peradaban yang selama ini tengah bergerak ke arah surplus kemanusiaan: memuliakan manusia.
Pelbagai kajian dari akademisi perguruan tinggi keagamaan yang dipresentasikan pada forum AICIS ke-21 ini menjadi sangat relevan sebagai tolok ukurnya. Lahirnya pencarian warna baru bagi pengembangan kehidupan keberagamaan dengan menggunakan pelbagai pendekatan keilmuan, dapat ditemukan pada hasil riset akademisi perguruan tinggi keagamaan.
Penelitian-penelitian yang tidak hanya berputar-putar pada persoalan teknis semata, namun memberikan ruang untuk bergeser dari tempurung akademik yang kaku menuju ijtihad yang fresh untuk menjawab persoalan pelik kemanusiaan.
Kajian akademis seperti ini harus ditransformasikan secara bertahap dan cepat. Mimbar akademik AICIS menjadi wahana yang tepat untuk membuka mata sekaligus keluar dari kungkungan eksklusivitas yang meminggirkan nalar dan logika.
Paradigma truth-claim (klaim kebenaran)perlahan digeser dan digantikan oleh paradigma berpikir yang toleran, inklusif, dan pluralistik di mana keragaman yang berbeda di muka bumi ini dianggap sebagai hukum alam yang tidak bisa dinafikan begitu saja.
Pada sisi yang lain, proses akulturasi dalam penerapan hukum Islam juga meniscayakan untuk mengakomodasi pemahaman konstekstual dengan memperhatikan aspek-aspek lokalitas yang mengitarinya.
Selamat berkonferensi. Semoga AICIS menjadi tangga awal menuju peradaban umat manusia yang unggul.
(bmm)